Mali Alami Kekacauan Politik, Perang terhadap Teroris Terhambat
Kekacauan politik di Mali berpotensi memicu memburuknya situasi keamanan di Sahel. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sejumlah negara, seperti Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat, mendesak pemulihan pemerintah sipil.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
BAMAKO, KAMIS — Kekacauan politik di Mali, yang ditandai dua kudeta dalam sembilan bulan ini, membuat milisi loyalis Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan Al Qaeda di wilayah Sahel menguat. Dua kelompok teror ini tidak saja mengacaukan Mali, tetapi juga negara tetangganya, yakni Burkina Faso dan Niger.
Kantor berita AFP, Kamis (27/5/2021), melaporkan, dua pemimpin pemerintahan transisi Mali, yakni Presiden Bah Ndaw dan Perdana Menteri Moctar Ouane, telah ditangkap dan ditahan di kamp militer, 24 Mei 2021. Insiden tersebut membuat keduanya mengundurkan diri, Rabu kemarin.
Kevin, seorang guru berusia 32 tahun di Bamako, ibu kota Mali, mengatakan, Mali saat ini menjadi negara yang kacau dan tak menentu serta sama sekali tidak memiliki masa depan. ”Orang Mali tidak pantas menerima kenyataan ini,” tambah Kevin, seperti dilaporkan The Economist.
Pada pertengahan September 2020, duet Ndaw dan Ouane ditunjuk untuk memimpin pemerintahan transisi. Tugas mereka ialah mempersiapkan pemilu, yang telah ditetapkan untuk digelar antara Februari dan Maret 2022 serta menegakkan pemerintahan sipil.
Pemerintahan peralihan dibentuk setelah tentara yang dipimpin Kolonel Assimi Goita mengudeta Presiden Ibrahim Boubacar Keita, 18 Agustus 2020. Boubacar turun takhta akibat demo berbulan-bulan yang dipicu dugaan korupsi, dan kegagalan memerangi kelompok teror. Goita menjadi pemimpin junta militer.
Kurang dari setahun kemudian, tepatnya di bulan ke sembilan sejak penggulingan Keita, Kolonel Goita yang menjabat sebagai wakil presiden malah mengklaim bahwa Ndaw dan Ouane tidak menghormati piagam transisi dan tidak berkonsultasi dengannya tentang perombakan kabinet.
Goita mengatakan, karena tindakan itu, jabatan Ndaw dan Ouane telah dibekukan dan mereka ditahan di barak militer di luar Bamako. Menurut penasihat khusus pemimpin junta, Baba Cisse, dua hari setelah ditahan, Ndaw dan Ouane mengumumkan mengundurkan diri dari pangkalan militer tempat mereka ditahan.
Namun, seorang anggota Komunitas Ekonomi Negara Afrika Barat (ECOWAS), Uni Afrika dan tim mediasi misi PBB di Mali (MINUSMA) mengatakan, Ndaw dan Ouane sudah mengundurkan diri sebelum mereka ditahan.
Delegasi kemudian berbicara dengan Goita, yang menjabat wakil presiden dalam pemerintahan transisi, Selasa malam. Cisse mengatakan, presiden, perdana menteri, dan pemimpin transisi lainnya segera dibebaskan, tetapi ini akan terjadi ”secara bertahap untuk alasan keamanan”. Dia tidak memberikan batas waktu.
Di New York, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) ”mengecam keras” penggulingan dan penahanan Presiden Bah Ndaw dan Perdana Menteri Moctar Ouane. DK PBB juga menyerukan junta militer untuk memulihkan pemerintahan sipil, tetapi tidak menyebut tindakan hukum apa yang akan diambil jika junta militer Mali tidak menggubris seruan dewan.
DK PBB telah menggelar pertemuan darurat atas permintaan bekas negara penjajah, Perancis, dan beberapa negara lain. Dewan juga menyerukan ”pembebasan yang aman, segera, dan tanpa syarat semua pejabat yang ditahan. Kami mendesak elemen pertahanan dan keamanan kembali ke barak.”
Dewan tersebut mendesak pemulihan kembali pemerintahan transisi yang dipimpin sipil, yang bertugas untuk menggelar pemilu sesuai konstitusional dalam jangka waktu 18 bulan mendatang.
Sementara ECOWAS, selaku mediator, bertemu dengan Ndaw dan Ouane di kamp militer di Kati, sekitar 15 kilometer dari ibu kota Bamako. Delegasi dipimpin oleh mantan Presiden Nigeria Goodluck Jonathan. Seorang anggota delegasi memperingatkan, ECOWAS ”dapat dengan cepat mengumumkan sanksi” jika krisis tidak segera diselesaikan.
Presiden Perancis Emmanuel Macron menegaskan, negaranya siap menjatuhkan sanksi kepada tokoh tertentu di Mali. Macron menyebut penangkapan Ndaw dan Ouane sebagai ”kudeta dalam kudeta yang tidak dapat diterima”. Perancis telah mengerahkan lebih dari 5.000 tentara ke Mali untuk memerangi kelompok jihadis di wilayah Sahel.
Washington menyatakan mempertimbangkan langkah-langkah ”tertentu” terhadap para pemimpin politik dan militer yang menghalangi transisi Mali menuju pemerintahan yang demokratis dan dipimpin oleh sipil. AS telah menangguhkan bantuan untuk aparat keamanan di Mali.
Pada awal pekan ini, PBB, Uni Afrika, ECOWAS, Uni Eropa, dan AS telah mengeluarkan pernyataan bersama. Mereka mengecam penahanan dan menuntut Ndaw dan Ouane dibebaskan. Permintaan serupa diserukan oleh Inggris dan Jerman pada Selasa kemarin.
Seorang anggota tim junta militer, dalam pertemuan dengan mediator ECOWAS, menjelaskan alasan mereka mencopot Ndaw dan Ouane. Junta bersikeras bahwa pemilu baru akan digelar pada 2022.
Mali seharusnya tidak membiarkan kekacauan politik itu terjadi. Stabilitas politik akan menentukan keberhasilan negara itu dalam memerangi milisi atau kelompok bersenjata loyalis Al Qaeda dan NIIS yang mengancam sebagian besar Mali, Burkina Faso, dan Niger.
Pasukan Perancis yang telah ada Mali sejak 2013 kini memiliki 5.100 tentara di wilayah Sahel. Lebih dari 13.000 personel penjaga perdamaian PBB, termasuk 300 tentara Inggris.
Uni Eropa juga memiliki misi besar untuk melatih tentara Mali. Meski demikian, sejak 2016, kekerasan terus meningkat. Tahun lalu konflik di Mali, Burkina Faso, dan Niger menewaskan sekitar 6.200 orang. Kini kekacauan politik telah membuat negara itu tidak dapat berkonsentrasi memerangi kelompok teroris. (AFP/AP/REUTERS)