Militer Tahan Presiden Bah Ndaw, Krisis Politik Dera Negara Mali
Kekacauan tak putus mendera Mali, negara miskin di Afrika Barat. Setelah kudeta militer, pemimpin sipil kini kembali ditahan militer. Kestabilan kawasan menjadi pertaruhan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BAMAKO, SENIN — Pejabat militer Mali pada Senin (24/5/2021) menahan presiden, perdana menteri, dan menteri pertahanan pemerintah sementara negara itu. Peristiwa itu menjadi babak terbaru atas krisis politik yang mendera Mali. Negara itu sudah berada dalam kekacauan politik setelah presiden sebelumnya digulingkan lewat kudeta militer pada Agustus tahun lalu.
Sumber diplomatik dan pemerintah mengungkapkan, Presiden Bah Ndaw, Perdana Menteri Moctar Ouane, dan Menteri Pertahanan Souleymane Doucoure dibawa ke pangkalan militer di Kati di luar ibu kota Bamako. Langkah militer itu diduga dipicu oleh pemecatan dua anggota militer dari pemerintahan sementara Mali. Pemecatan dilakukan hanya beberapa jam sebelum penahanan atas para pejabat pemerintahan sementara.
Perkembangan tersebut dinilai dapat memperburuk ketidakstabilan di negara yang berada di kawasan Afrika Barat itu. Di kawasan Afrika Barat, kelompok-kelompok yang terkait dengan Al Qaeda dan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) menguasai sebagian besar wilayah gurun di bagian utara. Khusus di Mali, situasi cukup pelik. Praktis penahanan para pejabat pemerintahan sementara kembali membuat kosong pemerintahan.
Presiden sebelumnya, Ibrahim Boubacar Keita, digulingkan lewat kudeta militer pada paruh kedua tahun lalu. Ketidakstabilan politik dan pertikaian militer telah mempersulit upaya kekuatan Barat dan negara-negara tetangga untuk menopang Mali. Berstatus sebagai negara yang miskin, ketidakstabilan Mali dikhawatirkan mengganggu kestabilan regional di Afrika Barat.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres langsung menyerukan agar para pemimpin sipil di Mali segera dibebaskan. ”Saya sangat prihatin dengan berita penahanan para pemimpin sipil transisi Mali,” kata Guterres melalui media sosial Twitter. ”Saya menyerukan ketenangan dan pembebasan mereka tanpa syarat.” Misi PBB di Mali sebelumnya mengeluarkan seruan serupa. Seruan itu juga mencakup penuntutan tanggung jawab atas militer yang diduga menangkap dan menahan mereka.
Saya sangat prihatin dengan berita penahanan para pemimpin sipil transisi Mali. (Antonio Guterres)
Delegasi dari badan pembuat keputusan regional 15 negara anggota blok Afrika Barat—ECOWAS—mengunjungi Bamako pada Selasa (25/5/2021) untuk membantu menyelesaikan ”percobaan kudeta” itu. Hal itu menjadi bagian dari pernyataan bersama ECOWAS, PBB, Uni Afrika, Uni Eropa, dan beberapa negara Eropa lain dalam sebuah pernyataan bersama. ”Komunitas internasional sebelumnya menolak setiap tindakan yang dilakukan dengan paksaan, termasuk pengunduran diri secara paksa,” kata kelompok itu.
Melawan
Ndaw dan Ouane telah ditugaskan untuk mengawasi transisi 18 bulan kembali ke pemerintahan sipil setelah pengambilalihan pemerintahan secara paksa oleh militer tahun lalu. Namun, mereka tampaknya telah bergerak melawan kendali militer atas sejumlah posisi kunci. ”Pencabutan pilar-pilar kudeta merupakan kesalahan penilaian yang sangat besar,” kata seorang mantan pejabat senior pemerintah Mali kepada Reuters. ”Tindakan itu mungkin ditujukan untuk mengembalikan mereka ke posisi mereka (sebelumnya).”
Tujuan akhir militer masih belum jelas. Seorang pejabat militer di Kati mengatakan tindakan yang dilakukan militer itu bukanlah sebuah penangkapan. ”Apa yang mereka lakukan tidak bagus,” kata sumber itu merujuk pada perombakan kabinet oleh pemerintahan sipil sementara. ”Kami memberi tahu mereka, keputusan akan dibuat.”
Pangkalan militer Kati terkenal karena menjadi pusat pengendali tindakan pengambilalihan kekuasaan para pemimpin Mali. Pada Agustus tahun lalu militer membawa Presiden Keita ke Kati dan memaksanya mundur. Pemberontakan di sana juga membantu menggulingkan presiden pendahulunya, Amadou Toumani Toure, pada tahun 2012.
Mali pun terus bergejolak sejak saat itu. Tersingkirnya Toure telah memicu pemberontakan etnis Tuareg untuk merebut dua pertiga bagian utara negara itu, yang dibajak oleh kelompok-kelompok yang terkait dengan kelompok Al Qaeda. Pasukan Perancis menekan kelompok pemberontak itu pada tahun 2013. Namun, selanjutnya kelompok itu mampu berkonsolidasi dan menggelar aksi serangan rutin terhadap tentara dan warga sipil. Mereka bahkan telah mampu memperluas pengaruh mereka ke negara-negara tetangga, khususnya Burkina Faso dan Niger. Serangan-serangan sporadis di dua negara itu meroket pada tahun 2017.
Meskipun demikian, tetap ada peluang dan alasan untuk mencoba bersikap optimistis di Mali. Pemerintah transisi pada bulan lalu mengatakan akan mengadakan pemilihan legislatif dan presiden pada Februari 2022 untuk memulihkan pemerintahan yang demokratis. ”Hal ini cukup disesalkan, tetapi tidak mengherankan: pengaturan yang disetujui setelah kudeta tahun lalu tidak sempurna, tetapi hal itu adalah kompromi yang disepakati oleh semua pemangku kepentingan utama di Mali dan internasional,” kata J Peter Pham, mantan utusan khusus AS untuk wilayah Sahel yang kini duduk di Dewan Atlantik. (AP/AFP/REUTERS)