Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sejumlah negara mendesak agar Mali kembali ke pemerintahan sipil pascakudeta militer pada 18 Agustus lalu.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
NEW YORK, RABU — Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak kelompok pengudeta di Mali untuk segera membebaskan para pejabat pemerintahan yang disandera, termasuk Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita dan Perdana Menteri Mali Boubou Cisse. Kelompok pengudeta juga didesak secepatnya kembali ke barak supaya situasi keamanan pulih kembali.
DK PBB menyesalkan pemberontakan yang telah terjadi dan meminta semua pihak berkepentingan di Mali menahan diri serta memprioritaskan dialog untuk menyelesaikan krisis. Sikap ini diungkapkan melalui pernyataan tertulis, Kamis (20/8/2020).
Keita mengundurkan diri dan membubarkan parlemen, Selasa lalu, setelah didesak mundur. Selama tujuh tahun kekuasaannya, Keita kerap diprotes pengunjuk rasa yang marah karena berbagai persoalan, seperti kondisi perekonomian yang stagnan, korupsi, dan kelompok perlawanan Islam yang brutal. Ia mengaku memilih mundur karena tidak mempunyai pilihan lain dan untuk menghindari pertumpahan darah di negerinya.
Kudeta Mali ini dikecam komunitas internasional. Komunitas Ekonomi untuk Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS), yang mengecam kudeta militer Mali, akan segera menjatuhkan sanksi keuangan. Ketua Uni Afrika Moussa Faki Mahamat juga meminta kelompok pengudeta segera menghentikan kekerasan. Menteri Luar Negeri Kanada Francois-Philippe Champagne juga mengecam kudeta Mali dan mengingatkan rakyat Mali untuk menghormati konstitusi Mali.
”Kami minta pasukan keamanan Mali dan mereka yang terlibat kudeta untuk mematuhi konstitusi dan menghormati hak asasi seluruh rakyat Mali,” kata Champagne.
Kanada berkomitmen bekerja sama dengan negara-negara di kawasan regional dan PBB untuk memastikan implementasi Pakta Aljazair, kesepakatan perdamaian antara Bamako dan kelompok bersenjata dari Mali utara pada 2015. Kanada pernah mengerahkan 250 pasukan penjaga perdamaian dan delapan helikopter ke Mali sejak Juli 2018. Misi ini berakhir Agustus 2019.
Mundur
Salah satu tokoh ulama Salafi yang berpengaruh di Mali, Mahmoud Dicko, menyatakan akan mundur dari politik setelah bertemu dengan para pemimpin kudeta militer. Mereka menjanjikan pemilu dalam waktu dekat. Sehari setelah kudeta, ibu kota Bamako kembali tenang. Para pemimpin junta militer meminta masyarakat untuk kembali beraktivitas seperti biasa.
Para pengudeta bertemu Dicko yang berhasil menggelorakan protes puluhan ribu orang anti-Keita selama beberapa pekan terakhir. Seusai pertemuan, Dicko memutuskan menarik diri dari politik. Tidak ada penjelasan alasan keputusan itu, tetapi diduga kelompok oposisi sudah cukup puas dengan janji-janji akan kembalinya praktik-praktik demokrasi di Mali.
Juru bicara para pengudeta yang menyebut diri mereka sebagai Komite Nasional untuk Keselamatan Rakyat, Kolonel Ismael Wague, menegaskan, pihaknya tidak mengincar kekuasaan, tetapi hanya menginginkan kestabilan Mali supaya pemilu bisa segera terselenggara ”dalam batas waktu yang wajar”.
Mantan pejabat di CIA yang kini bergabung di Rand Corporation, Michael Shurkin, menilai pergolakan yang terjadi di Mali itu berisiko mengganggu upaya pasukan keamanan Mali melawan kelompok-kelompok jihadis yang terkait dengan kelompok Al-Qaeda dan Negara Islam Irak dan Suriah. ”Sudah miliaran dollar dikeluarkan misi pelatihan Uni Eropa dan PBB untuk Mali. Apakah ini akan dibiarkan sia-sia,” ujarnya.
Sejak pemberontakan Tuareg yang kemudian diambil alih kelompok militan Islam pada 2012, Mali berjuang memulihkan stabilitas keamanan. Keita (75) terpilih pada 2013 setelah kudeta tahun 2012. Pada waktu itu ia menjanjikan stabilitas keamanan dan perdamaian serta melawan korupsi. Karena janji-janjinya itu, ia kembali berkuasa untuk periode kedua pada 2018.