Denmark Siapkan UU untuk Melarang Pembakaran Al-Qur'an
Kebebasan berekspresi berbeda dengan ujaran kebencian. Denmark ingin menegaskan hal itu dengan merevisi KUHP, antara lain memasukkan pelarangan penistaan simbol keagamaan, termasuk pembakaran Al-Quran.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
KOPENHAGEN, JUMAT – Denmark berencana mengamandemen kitab hukum pidana mereka dengan memasukkan pasal pelarangan penistaan benda ataupun simbol penting bagi umat beragama, termasuk kitab suci Al-Quran. Langkah ini diambil setelah negara di Skandinavia itu menghadapi protes besar-besaran, bahkan sudah dianggap menjadi ancaman keamanan nasional yang serius, terkait pembakaran Al-Qur'an beberapa bulan lalu.
“Klausul itu akan dimasukkan dalam Pasal 12 KUHP Denmark. Hukuman penistaan obyek dan simbol keagamaan ini adalah denda atau penjara hingga dua tahun,” kata Peter Hummelgaard, Menteri Kehakiman Denmark, seperti dikutip oleh surat kabar The Local di Kopenhagen, Jumat (25/8/2023).
Menurut Hummelgaard, Pasal 12 KUHP Denmark telah melarang penistaan bendera-bendera negara lain. Kalimat pada pasal itu akan ditambah dengan benda-benda religius. Selain untuk Al-Quran, juga dicantumkan larangan penistaan terhadap Injil, Taurat, dan hingga pada batasan tertentu mencakup tanda salib.
Sejatinya, Denmark telah menghapus Undang-Undang Penistaan Agama pada tahun 2017 sebagai perlindungan kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan mengkritik. Meskipun begitu, Denmark tetap memiliki aturan pelarangan penghinaan terhadap raja dan ratu, rasisme dan diskriminasi, serta pelarangan dukungan terbuka terhadap kelompok teroris.
“Persoalannya, aksi penistaan Al-Quran antara lain menginjak dan membakar ini bukan lagi bertujuan menyampaikan kritik. Ini sudah aksi kebencian terhadap agama dan kelompok etnis tertentu. Tujuannya ialah menciptakan keterbelahan dan kekacauan di masyarakat,” tutur Hummelgaard.
Hummelgaard menambahkan, pembakaran Al-Quran merupakan tindakan penghinaan dan tidak simpatik yang mengancam Denmark dan kepentingan-kepentingannya. Ia menegaskan, keamanan nasional menjadi motivasi utama pelarangan tersebut. Pasal 12 KUHP, antara lain, mencakup keamanan nasional.
Meski demikian, menurut Hummelgaard, UU baru nanti tidak akan mencakup "ungkapan verbal atau tertulis" yang bisa ditafsirkan menyerang pada komunitas-komunitas keagamaan, termasuk melalui karikatur. Ia menekankan, Denmark tetap berpegang pada UU kebebasan berekspresi.
Penegasan itu untuk menjawab partai-partai oposisi yang khawatir bahwa amandemen UU akan mengurangi kebebasan berekspresi.
Dibahas, 3 Oktober
Rencana revisi KUHP ini akan diserahkan kepada parlemen untuk dibahas dalam sidang. Jadwal pembahasannya dimulai pada 3 Oktober 2023. Saat ini, koalisi pemerintahan menguasai mayoritas kursi parlemen, yaitu 179 kursi.
Juru Bicara Partai Sosial Liberal Friis Bach mengatakan, ada permasalahan di sebagian masyarakat bahwa menafsirkan kebebasan berekspresi sama dengan menghalalkan ujaran kebencian. Jika tidak dikelola, hal itu justru menyakiti demokrasi di Denmark.
Menlu Denmark Lars Lokke Rasmussen mengungkapkan, gara-gara aksi pembakaran Al-Quran, ada 170 unjuk rasa di kedutaan-kedutaan besar Denmark di negara-negara Muslim.
Pemerintah Denmark mencatat ada 100 aksi pembakaran Al-Qur'an pada tahun 2023, di antaranya oleh aktivis sayap kanan Rasmus Paludan; pengungsi asal Irak, Salwan Momika yang pernah menjadi anggota milisi pro-Iran; dan kelompok ultranasionalis Danske Patrioter.
Menteri Luar Negeri Lars Lokke Rasmussen mengungkapkan, gara-gara aksi tersebut, ada 170 unjuk rasa di kedutaan-kedutaan besar Denmark di negara-negara Muslim. Irak dan Turki adalah negara-negara yang memprotes dengan keras. Pada akhir Juli 2023, hampir seribu pengunjuk rasa "mengepung" Kedubes Denmark di Baghdad, Irak, atas seruan ulama Syiah, Moqtada Sadr.
Selain di Denmark, aksi pembakaran Al-Quran juga sering terjadi di Swedia. Gara-gara aksi itu, Baghdad bahkan mengusir duta besar Swedia untuk Irak dan menangguhkan kontrak kerja perusahaan teknologi asal Swedia, Ericsson.
Separah ancaman PD II
Tidak hanya itu, Perdana Menteri Denmark Mette Frederikksen dan Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson sampai melakukan rapat darurat. Ini karena ancaman keamanan di negara mereka semakin meningkat. Bahkan, Kristersson menyebut situasi di Swedia hampir separah ancaman semasa Perang Dunia II.
Kemungkinan Denmark dan Swedia bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) juga terancam. Pasalnya, Turki, yang semula keberatan karena kedua negara memberi suaka kepada orang-orang yang oleh Ankara dituduh sebagai pemberontak Kurdi, sangat keras mengecam aksi pembakaran Al-Quran.
“Pemerintah Denmark dalam posisi sulit. Mereka harus bisa menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi, melarang ujaran kebencian, dan pada saat yang sama meyakinkan rakyat bahwa pemerintah tidak bertekuk lutut di bawah tekanan asing,” ucap Dino Krause, peneliti dari Institut Kajian Internasional Denmark (DIIS), kepada majalah Time.
Sementara itu, Guru Besar Teologi dan Filsafat Islam di Universitas Uppsala, Swedia, Mohammad Fazlhashemi menjelaskan bahwa aksi pembakaran Al-Qur'an hanya mewakili pandangan kelompok minoritas ekstrem di Skandinavia. Akan tetapi, kelompok-kelompok ekstrem oposisi di luar negeri bisa mengartikannya sebagai sentimen anti-Islam atau anti-etnis Timur Tengah. Ini bisa menjadi dalih pembenaran mereka melancarkan aksi kekerasan sehingga kekerasan bakal menjadi lingkaran setan yang tidak akan terputus.
Menurut Fazlhashemi, para pemimpin di Skandinavia juga tidak bisa sebatas mengecam pembakaran Al-Quran atau atribut keagamaan lain. Mereka juga harus angkat bicara mengenai berbagai pelanggaran hak asasi manusia di dunia. Ia mencontohkan, politikus-politikus di Denmark dan Swedia selama ini bungkam terkait tuduhan genosida kelompok etnis Uighur di China. (AP/AFP)