Kamis, Jepang Buang Limbah Nuklir, Bangsa Pasifik dan Nelayan Menolak
Jepang dituding sengaja mencelakai bangsa-bangsa Pasifik. Pada 1985, Jepang menyatakan tidak akan membuang limbah nuklir ke Pasifik. Bahkan, nelayan Jepang juga tidak setuju pembuangan limbah PLTN Fukushima.
PORT VILA, RABU — Mayoritas warga dan pemerintah negara-negara kepulauan Pasifik menolak rencana Jepang membuang 1,3 juta metrik ton air limbah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima. Nelayan dan sejumlah pihak di Jepang juga menolak pembuangan air tercemar radioaktif itu ke Laut Jepang dan Samudra Pasifik.
Operator PLTN Fukushima, Tokyo Electric Power Company (Tepco), tengah melakukan persiapan akhir untuk membuang air limbah nuklir ke Samudra Pasifik, Kamis (24/8/2023). Melalui pernyataan tertulis, Tepco menyebutkan, sebanyak 1 meter kubik air limbah dicairkan dengan sekitar 1.200 meter kubik air laut dan siap dialirkan melalui pipa.
Tepco menyebutkan, air tersebut akan diuji dulu dan kemudian dibuang ke laut bersama air lain yang disimpan di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima. PLTN Fukushima mengalami kerusakan berat akibat guncangan gempa dan tsunami pada Maret 2011. Sekitar 18.000 orang tewas dalam bencana tersebut.
Tepco mengumpulkan 1,34 juta meter kubik—hampir setara dengan 540 kolam renang standar Olimpiade—untuk mendinginkan air limbah reaktor yang masih sangat tercemar, dicampur dengan air tanah dan air hujan. Untuk pembuangan pertama, sebanyak 7.800 meter kubik akan dibuang selama sekitar 17 hari, mulai Kamis.
Namun, penolakan atas rencana pembuangan air limbah nuklir tersebut tetap tinggi. Unjuk rasa menolak pembuangan itu berlangsung di Jepang, Korea Selatan, hingga Selandia Baru. Pembuangan tersebut melanggar setidaknya dua traktat serta konvensi internasional dan regional.
Penolakan bangsa Pasifik akan dibahas dalam pertemuan Melanesian Spearhead Group (MSG). Perwakilan bangsa-bangsa Melanesia berkumpul pada 23-24 Agustus 2023 di Port Vila, Vanuatu. ”Menolak pencemar untuk membuang air olahan di Samudra Pasifik sampai terbukti air itu terbukti benar-benar aman,” kata Menteri Luar Negeri Vanuatu Matai Seremaiah.
Penolakan juga disampaikan Pemerintah Tuvalu. ”Samudra adalah sumber daya dan hidup kami di Pasifik. Kami akan melakukan semua hal untuk melindungi samudra dan mencegah inisiatif (pembuangan limbah PLTN Fukushima) terjadi,” demikian pernyataan Pemerintah Tuvalu.
Baca juga : Pasifik Bukan Tempat Sampah Nuklir
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengumumkan, 1,3 juta ton air tercemar radioaktif dari PLTN Fukushima akan mulai dibuang pada Kamis (24/8/2023). Jepang mengklaim, kandungan radiokatif dalam air itu jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan berbagai organisasi internasional.
Kepala Humas Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) RI Abdul Qohar Teguh Eko Prasetyo mengatakan, Bapeten tidak dalam posisi menolak atau mendukung pembuangan air itu. Bapeten konsisten pada dua syarat pokok terkait kondisi itu.
”Pertama, pengeluaran air olahan dimungkinkan selama kandungan tritium atau radionuklida lain di bawah batas yang diizinkan. Kedua, pihak yang mengeluarkan harus rutin memantau untuk memastikan kandungan tritium dan radionuklida lain di bawah batas yang diizinkan,” katanya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan, kandungan tritium dalam air minum maksimum 10.000 becquerel (Bq) per liter. Adapun Amerika Serikat menetapkan 740 Bq/liter, Kanada 7.000 Bq/liter. Pada 2012, Bapeten menetapkan kandungan tritium maksimum 100 Bq/gram.
Sikap warga Pasifik
Bukan hanya pemerintah, warga Pasifik juga menolak rencana pembuatan limbah itu. Liga Perempuan untuk Kedamaian dan Kemerdekaan (WILPF) Selandia Baru berunjuk rasa pada Selasa (22/8/2023). Mereka menyebut Jepang sengaja mencelakai bangsa-bangsa Pasifik dan penduduk Bumi yang berinteraksi dengan Pasifik.
”Air itu mengandung tritium yang tidak bisa dihilangkan. Tritium itu akan dibuang ke lautan selama beberapa dekade ke depan,” demikian pernyataan mereka.
WILPF mengingatkan, Konvensi untuk Mencegah Polusi Perairan dengan Membuang Limbah dan Material Lain melarang pembuangan limbah biasa ke laut. Karena itu, pembuangan limbah PLTN Fukushima dituding melanggar konvensi yang dikenal sebagai Konvensi London itu.
Jepang telah meratifikasi Konvensi London dan Konvensi International tentang Hukum Laut (UNCLOS). Dalam UNCLOS ada klausul untuk melindungi keanekaragaman hayati maritim. Karena itu, Koalisi HAM Fiji, Konferensi Gereja Pasifik (PCC), dan Jaringan Pasifik untuk Globalisasi (PANG) meminta Jepang tidak membuang limbah.
Mereka juga mengingatkan, di Pasifik ada Traktat Zona Bebas Nuklir Pasifik Selatan atau lebih dikenal sebagai Traktat Rarotonga. Traktat itu melarang pembuangan material nuklir. Memang, Jepang tidak meneken—apalagi meratifikasi—Traktat Rarotonga.
Mereka juga menyinggung kesimpulan panel ahli yang dibentuk Forum Kepulauan Pasifik (PIF). Tim ahli menyimpulkan, perlu penjelasan soal potensi tumpukan radioaktif dalam sistem rantai makanan di lautan. Manusia akan berada di bagian atas sistem itu dan karenanya berpeluang menerima tumpukan paling banyak.
Baca juga : Kedai Jepang Pun Terimbas Fukushima
Sekretaris Jenderal PIF Henry Puna mengatakan, PIF masih ingat pernyataan Jepang pada 1985. Kala itu, Tokyo menyatakan tidak akan membuang limbah radioaktif ke Pasifik. ”Kami tidak mendapat apa pun dari Jepang. Walakin, ada risiko besar bagi generasi masa depan kami,” katanya.
Penolakan di Jepang
Kepala Federasi Asosiasi Koperasi Perikanan Jepang Masanobu Sakamoto mengumumkan penolakan atas keputusan Pemerintah Jepang. ”Posisi kami tentang rencana pembuangan, yang tetap tidak disetujui komunitas perikanan, tidak berubah. Keamanan ilmiah dan rasa aman itu berbeda. Meskipun aman, kerusakan reputasi tetap akan terjadi,” ujarnya, sebagaimana dikutip media Jepang, Kyodo dan NHK.
Kyodo juga melaporkan, setidaknya 230 orang berunjuk rasa di depan kantor PM Jepang pada Selasa. Mereka menolak keputusan Kishida membuang limbah PLTN Fukushima. ”Pemerintah harus mendengar suara nelayan. Jangan buang limbah ke laut,” demikian pernyataan mereka.
Direktur Kongres Jepang Melawan Bom Atom dan Bom Hidrogen Masashi Tani ikut dalam unjuk rasa itu. ”Kami tidak tahu berapa lama pelepasan akan terjadi. Kami tidak tahu dampaknya pada generasi masa depan,” kata dia.
Para nelayan Jepang memang menentang keputusan Pemerintah Jepang. Para nelayan dan pekerja industri pengolahan ikan di Fukushima dan sekitarnya menyebut keputusan Kishida sebagai serangan mendadak. Mereka merasa diabaikan pemerintah. ”Suara kami tidak didengar,” kata Takashi Nakajima, pedagang boga bahari di Soma, kepada Kyodo.
Anggota Kadin Fukushima, Yoshitaka Ikarashi, mengatakan, pembuangan itu akan sangat merugikan nelayan, warga, dan pebisnis sektor perikanan Jepang. ”Saya mempertanyakan dasar PM menyatakan sudah ada kesepakatan dengan nelayan soal rencana itu. Faktanya, nelayan jelas menolak rencana itu,” katanya.
Tetangga Jepang, Korea Selatan dan China, juga menentang keputusan itu. Ketua oposisi Korsel Lee Jae-myung menyebut, Tokyo memicu bencana kemanusiaan dan lingkungan dengan keputusan itu. ”Dulu mereka menghancurkan tetangga dan kawasan lewat penjajahan. Sekarang, mereka melancarkan teror lewat air tercemar,” katanya, sebagaimana dikutip kantor berita Yonhap.
Anggota Fraksi Partai Demokrat di parlemen Korsel itu mengkritik Pemerintah Korsel yang bersikap ambigu soal rencana itu. Pemerintah seharusnya membela kepentingan warga Korsel yang terancam oleh keputusan Jepang.
Baca juga : ASEAN Tidak Bersikap Soal Limbah Nuklir Fukushima
Wakil Kepala Kantor Koordinasi Kebijakan Korsel Park Ku-yeon mengatakan, Seoul tidak menolak atau mendukung rencana Tokyo. Seoul memastikan akan meminta Tokyo serta-merta menghentikan pembuangan jika ditemukan bukti kandungan radioaktif melebihi batas yang diizinkan.
Sementara Wakil Menlu China Sun Weidong memanggil Duta Besar Jepang di Beijing, Hideo Tarumi. Sun menyampaikan protes resmi China atas rencana pembuangan itu. Jepang disebut secara sengaja mencemari tetangga dan kawasan. ”Sikap itu tidak bertanggung jawab dan egois,” kata dia, sebagaimana dikutip media China, Global Times.
Selepas pengumuman Kishida, Hong Kong dan Makao mengumumkan larangan total impor boga bahari dan produk terkait dari Jepang. Larangan ini diberlakukan untuk produk buatan seluruh prefektur di pesisir Jepang dan yang bertetangga dengan prefektur itu. Adapun impor boga bahari China daratan dari Jepang terus merosot dalam skala sekurangnya 1 juta dollar AS per bulan. (AFP/REUTERS)