Konten ”Apa Adanya” dan ”Intim”, Daya Pikat Jual-Beli di Tiktok
Aplikasi jejaring sosial dan platform video Tiktok atau Douyin—nama yang digunakan di China—memiliki kekuatan besar untuk menggerakkan konsumen berbelanja di fitur pembuat produk. Kenapa daya pikatnya begitu kuat?
Barangkali Tiktok bukan tempat pertama yang terlintas dalam pikiran untuk mencari alat-alat pembersih yang terbaik. Meski begitu, #cleantok tetap saja berjaya di dunia Tiktok seperti halnya #dogtok, #beautytok, dan lain-lain.
Itu contoh kecil saja betapa semakin banyak konsumen yang beralih ke media sosial untuk mencari produk dan berbelanja berdasarkan rekomendasi dari pemengaruh terkenal dan ”orang-orang biasa”.
Di #booktok, misalnya, pembuat konten membagikan resensi dan rekomendasi bukunya. Data menunjukkan pengguna yang mempromosikan buku tertentu dengan memakai tagar berhasil mendorong penjualan buku yang ditampilkan.
Baca juga: Tiktok Tawarkan Ruang Beriklan untuk UMKM Indonesia
Popularitas #booktok juga menginspirasi pameran khusus pengecer buku multinasional besar. Hal ini sekaligus mengubah desain sampul buku dan cara pemasar mencari judul-judul baru.
Salah satu artikel di laman BBC per 21 Agustus 2023 menyebutkan, rekomendasi bukan satu-satunya pendorong naluri konsumen untuk membeli. Ada hubungan psikologis antara pengguna dan pembuat konten Tiktok. Ada pula mekanisme yang berperan penting dalam menggerakkan pengguna untuk membeli suatu produk yang mereka lihat di Tiktok.
”Platform berbasis video seperti Tiktok dan Instagram sudah sangat mengubah cara konsumen membuat keputusan untuk membeli sesuatu,” kata asisen profesor pemasaran di Northern Illinois University, Amerika Serikat, Valeria Penttinen.
Platform besutan ByteDance ini menggunakan cara penawaran produk dan layanan yang berbeda. Tidak lagi panjang bertele-tele karena pengguna mengonsumsi konten dalam jumlah besar dan dalam rentang waktu yang singkat.
Ada beberapa elemen yang menggerakkan pengguna untuk menerima rekomendasi pembuat konten. Hal ini, menurut para ahli, semata-mata karena faktor kredibilitas sumber atau pembuat konten.
Guru Besar Pemasaran di Wilbur O dan Ann Powers College of Business di Clemson University, South Carolina, AS, Angeline Scheinbaum, mengatakan, orang cenderung tergerak untuk membeli produk yang ditampilkan di layar jika mereka menganggap pembuat konten itu kompeten dan kredibel. Apalagi jika ada rasa ”kedekatan” atau kesamaan pengalaman dengan pembuat konten.
Baca juga: Tiktok-Instagram Berebut Perhatian Kreator
Seperti, misalnya, ibu rumah tangga yang sedang memakai sekaligus memamerkan produk pembersih. Pembuat konten itu akan memiliki pengikut yang berpikiran sama.
Ketika orang yang mirip dengan kita mengatakan sedang lelah dan larutan pembersih tertentu membantu mempermudah pekerjaan mereka di rumah, maka ada tingkat koneksi dan kepercayaan yang dirasakan.
”Ini terbukti berguna untukku dan pasti akan berguna juga buatmu”, kira-kira begitu pesan yang hendak disampaikan pembuat kontennya.
Kredibilitas pembuat konten meroket ketika mereka, termasuk pemengaruh organik atau pembuat konten, yang merekomendasikan sesuatu tanpa sponsor atau dibayar siapa pun. Pemengaruh organik, kata Scheinbaum, jauh lebih otentik karena motivasi mereka semata-mata tulus hanya mau berbagi informasi tentang barang atau jasa yang sudah memberi mereka kegembiraan dan kenyamanan dalam hidup mereka.
Keaslian ini bisa sangat berguna untuk mendorong pembelian. Apalagi jika pembuat kontennya sangat bersemangat. ”Konsumen merasa lebih percaya diri karena mereka membeli dari seseorang yang juga menggunakan produk itu. Mereka jadi punya hubungan emosional yang lebih kuat,” kata Scheinbaum.
Baca juga: Tiktok Jadi Andalan Mencari Hiburan, Edukasi, dan Komedi
Unggahan video juga cenderung meningkatkan kredibilitas pemirsa, lebih dari sekadar gambar diam atau teks saja. Penttinen mengatakan, video lebih menciptakan suasana ”pengungkapan pribadi” tertentu yang menarik pengguna.
Bahkan hal-hal kecil seperti melihat wajah, gerakan tangan, atau mendengar cara mereka berbicara saja bisa membuat pengguna menganggapnya lebih dapat dipercaya.
Banyak penelitian yang sudah menunjukkan para pemengaruh di kanal YouTube memasukkan informasi pribadi ke dalam ulasan mereka agar tampak seperti teman dekat atau anggota keluarga. Hasilnya, semakin banyak pemirsa yang merasa mengenal pembuatnya dan mereka menjadi semakin percaya.
Unggahan dengan isyarat aksi dan verbal, terutama demonstrasi dan transformasi dalam video TikTok -yang hampir berfungsi sebagai mikro-infomersial berdurasi 30-60 detik- bisa menjadi persuasi yang sangat efektif.
Emosional
Salah satu elemen terbesar yang mendorong konsumen untuk membeli adalah hubungan emosional dengan pembuat konten. Fenomena yang disebut hubungan parasosial ini membuat penonton percaya mereka memiliki hubungan dekat atau bahkan persahabatan dengan seseorang.
Padahal hubungan itu sebenarnya hanya bertepuk sebelah tangan. Kerap kali pembuat konten tidak tahu sama sekali urusan para penontonnya.
Hubungan non-timbal balik ini kerap terlihat di media sosial, terutama dengan pemengaruh dan selebritas. Apalagi ketika semakin banyak pengguna yang melihat konten mereka. Fenomena ini juga berperan dalam perilaku konsumen. “Hubungan parasosial begitu kuat sehingga orang tergerak untuk membeli,” kata Scheinbaum.
Masalahnya, kata Penttinen, semakin jatuh cinta dengan pembuat konten tertentu, semakin takut orang untuk tidak memanfaatkan hubungan itu atau menunjukkan pengabdiannya pada hubungan.
Baca juga: Tiktok Lampaui Google, Dinamika Tren Konten Digital 2022
Ketika mengetahui preferensi dan nilai-nilai pembuat konten dan melihat mereka mengungkapkan informasi pribadi, konsumen mulai memperlakukan rekomendasi mereka dengan cara yang sama seperti memperlakukan teman-teman mereka di dunia nyata.
Hubungan parasosial ini sering mendorong pengguna untuk melakukan pembelian berulang, terutama di TikTok. Algoritme platform sering memberi makan konten pengguna dari akun yang sama dan paparan berulang dapat berkontribusi pada hubungan sepihak. Hubungan parasosial di TikTok juga dapat menimbulkan rasa takut ketinggalan yang kemudian memicu perilaku membeli.
TikTok juga memiliki cara untuk membuat belanja seperti menjadi bagian dari gaya hidup atau tren tertentu. Jika tak membeli atau memiliki maka akan bisa ketinggalan.
Genre konten TikTok tertentu bisa sangat persuasif dengan kalimat-kalimat seperti “hal-hal yang anda tidak tahu anda butuhkan”, “holy grails”, atau “hal-hal yang menyelamatkan saya”. Sifat intim video TikTok yang pendek membuat rekomendasi terasa lebih alami dan membuka jalur bagi pengguna untuk memercayai pembuat konten.
Berbeda dengan pemengaruh Instagram yang kerap tampil “berkilau”, pembuat konten TikTok justru akan semakin dipercaya kontennya jika tidak dipoles atau tampil apa adanya. Akibat tampil apa adanya dan “seperti saya”, pengguna akan merasa seperti membuat keputusan sendiri untuk membeli sesuatu yang direkomendasikan.
Baca juga: Larangan Penggunaan Tiktok
Hanya saja, ada sisi tidak baiknya. Konsumen seringkali menemukan diri mereka terbungkus dalam pembelian emosional hingga merugikan diri sendiri.
Scheinbaum, yang juga penulis The Dark Side of Social Media: A Consumer Psychology Perspective, mengatakan, dalam beberapa kasus, efek parasosial dan keintiman yang ditimbulkan oleh media sosial bisa begitu kuat. Dampaknya, pengguna tidak menyelidiki apakah produk yang direkomendasikan itu disponsori atau tidak.
Khususnya pengguna muda atau konsumen yang kurang paham, mungkin tidak mengetahui perbedaan antara konten yang betul-betul iklan dan konten rekomendasi organik. Bahkan pengguna yang terburu-buru bisa juga rentan. Sifat klip video yang cepat di TikTok membuat iklan lebih sulit dikenali.
Selain itu, kata Penttinen, keterikatan emosional yang mendorong pembelian ini bisa membuat orang cenderung mengeluarkan uang terlalu banyak. Di TikTok, banyak produk yang sebenarnya harganya tidak mahal sehingga membuat orang ketika membeli merasa tidak akan rugi banyak jika misalnya produknya tak sebagus yang dibicarakan.
Baca juga: ”Project S” Tiktok Akan Datang, Seberapa Besar Ancamannya?
Ini sangat mungkin terjadi karena apa yang dianggap baik atau bagus oleh seorang pembuat konten, belum tentu baik juga bagi orang lain. Saking percayanya dengan pembuat konten, biasanya konsumen merasa tidak perlu lagi harus meneliti setiap produk yang dibeli dari TikTok. Ini berisiko merugikan konsumen.
Kepercayaan yang tinggi pengguna pada pembuat konten bisa berguna untuk mendorong pembelian tetapi di sisi lain juga bisa berisiko bahaya jika terkait dengan informasi atau berita hoaks. Apalagi ketika anak muda zaman sekarang lebih memilih mengakses berita melalui media sosial, termasuk dari TikTok.
Orang sudah jarang mengakses berita melalui situs web atau aplikasi sejak 2018. Menurut laporan Institut Reuters untuk Studi Jurnalisme dalam Laporan Berita Digital tahunan, audiens lebih memerhatikan selebritas, pemengaruh, dan tokoh media sosial di platform seperti TikTok, Instragram, dan Snapchat, ketimbang wartawan.
TikTok tumbuh cepat dan digunakan oleh 20 persen generasi muda usia 18-24 tahun untuk mendapatkan berita. Kurang dari separuh responden menyatakan minatnya terhadap berita.
Direktur Reuters Institute, Rasmus Nielsen, menjelaskan, laporan yang didasarkan pada survei online terhadap 94.000 orang dewasa di 46 negara termasuk Amerika Serikat itu menemukan 56 persen responden mengaku khawatir tidak bisa mengidentifikasi mana yang berita atau informasi benar dan mana yang hoaks di internet.
Baca juga: ”Shoppertainment” di Media Sosial Melejit, Perlindungan Konsumen Perlu Dijaga
Gara-gara informasi hoaks ini, pemerintah Somalia melarang rakyatnya menggunakan TikTok, Telegram, dan situs taruhan daring, 1XBet. Tujuan larangan ini untuk membatasi penyebaran konten dan propaganda.
Ini semua gara-gara ada kelompok teroris yang menyebarkan gambar mengerikan dan informasi yang keliru kepada publik. Menteri Komunikasi Somalia, Jama Hassan Khalif, mengatakan, anggota kelompok pemberontak al Shabaab sering mengunggah aktivitas mereka di TikTok dan Telegram.
Pihak Telegram mengatakan Telegram konsisten menghapus propaganda teroris di Somalia dan seluruh dunia. TikTok secara aktif memoderasi konten berbahaya di dalamnya.
Para pengguna TikTok di Somalia yang menghasilkan uang dari mengunggah video atau mempromosikan dagangan mereka melalui TikTok menentang larangan pemerintah itu. Alasan mereka, kebijakan pemerintah itu merugikan rakyat.
Ini misalnya diungkapkan Halimo Hassan yang berjualan emas di TikTok. “Saya meminta pemerintah mengizinkan TikTok untuk publik tetapi mengontrol penggunaannya dalam konteks budaya Somalia. Dibatasi boleh, dilarang jangan. Darimana kita bisa hidup?” ujarnya. (REUTERS/AFP)