Di Mana-mana Suhu Makin Menyengat, Ketahanan Bekerja di Luar Ruang Hanya 15 Menit
Bekerja di luar ruang—di bawah terik panas matahari—selama 15 menit saja rasanya sudah seperti berkubang di sauna. Jika pekerja tak dilindungi, berbagai penyakit terkait sengatan panas mengintai.
Wah (63), pekerja pengendalian hama, sekarang hanya bisa bertahan maksimal 15 menit untuk menyemprotkan pestisida di sepanjang trotoar jalan Hong Kong. Sinar terik matahari di kota itu akhir-akhir ini terasa begitu menyengat. Suhu tercatat 32,2 derajat celsius, dengan tingkat kelembaban 87 persen.
Selama bekerja, Wah harus memakai pakaian pelindung, membuat seluruh badannya banjir keringat. ”Seperti berada di dalam sauna,” ujarnya. ”Semakin lama bekerja, semakin terasa seperti hujan di dalam... Kalau bekerja lebih dari setengah jam di bawah panas matahari, pasti badan tidak kuat.”
Pada Juli 2023, Hong Kong mengalami rekor terpanas ketiga dengan suhu harian maksimum mencapai 36,1 derajat celsius. Semuanya terjadi setelah tahun 2018.
Baca juga : Cuaca Ekstrem Pengaruhi Kesehatan Anak
Baru-baru ini, Pemerintah Hong Kong mengimbau para pengusaha untuk memberi waktu istirahat yang lebih lama kepada para pekerjanya saat hari-hari terasa lebih panas. Tetapi, menurut para pengusaha, imbauan dari pemerintah itu berlaku umum dan tidak spesifik mempertimbangkan kebutuhan lingkungan kerja yang berbeda.
Sementara para aktivis menilai, tanpa peraturan yang jelas dan tegas, ribuan pekerja Hong Kong rentan terhadap penyakit terkait panas. Pekerja sosial Caritas Hong Kong, Fish Tsoi, mengajak publik untuk memberikan dukungan lebih kuat dalam mengatasi masalah ini. Suhu terpanas yang mencapai rekor di Hong Kong, kata dia, tidak begitu saja terjadi. Situasi iklim ini sudah terbentuk selama bertahun-tahun dan tidak ada yang mengambil langkah proaktif untuk menanganinya.
Tsoi menjadi bagian dari tim peneliti yang mengukur suhu tubuh orang yang bekerja di bawah cuaca panas ekstrem, terutama orang tua seperti Wah dan enam rekannya.
Pada Juli 2023, ada perusahaan pengendalian hama yang kehilangan 20 pekerjanya karena berhenti akibat cuaca yang terlalu panas. Sementara 10 karyawan lainnya dirawat di rumah sakit karena sengatan panas.
Sejak Mei 2023, Hong Kong sudah memperkenalkan sistem peringatan adanya tekanan panas untuk membantu para pemberi kerja menjadwalkan ”periode waktu istirahat kerja” yang tepat untuk pekerjanya.
Juru kampanye Greenpeace, Tom Ng, menyatakan bahwa masalah terbesar di Hong Kong adalah para pengusaha mengabaikan imbauan berupa pedoman dari pemerintah. Penyebabnya, tidak ada sanksi hukum. Padahal, pekerja luar ruangan menjadi yang paling berisiko terpapar suhu panas ekstrem.
Baca juga : Suhu Dunia Mendidih, Mengancam Kehidupan dan Produksi Pangan
Pakar kesehatan masyarakat di Chinese University of Hong Kong, Emily Chan, menyambut baik pedoman itu. Tetapi, ia melihat penegakan pelaksanaan pedoman itu perlu lebih gencar. Kota-kota di China daratan, termasuk pusat teknologi Shenzhen, sudah mengamanatkan penghentian kerja dan subsidi setelah ambang suhu tercapai. ”Hong Kong agak terlambat menyiapkan perlindungan,” kata Chan.
Menteri Tenaga Kerja Hong Kong, Chris Sun, berjanji akan meningkatkan pengawasan dan memperingatkan para pemberi kerja jika tidak melindungi pekerjanya. Meski sistem baru itu tidak memiliki kekuatan hukum, pemerintah masih bisa menuntut majikan yang tidak peduli pada pekerjanya. Menurut catatan pemerintah, kurang dari dua kasus cedera kerja terkait sengatan panas dan tidak ada kematian.
Meski demikian, para aktivis meragukan fakta tersebut. ”Kenyataannya, kasus sengatan panas tidak dilaporkan. Entah para pekerja tidak tahu mereka bisa melaporkannya atau perusahaan mungkin tidak tahu,” kata Fay Siu dari Perhimpunan Hak Korban Kecelakaan Industri.
Korban sengatan suhu panas
Siu ingat, pernah ada kasus tahun 2018 ketika seorang laki-laki berusia 39 tahun tewas setelah sebelumnya pingsan di lokasi konstruksi bangunan. Dari hasil investigasi, diketahui pekerja itu tewas karena rhabdomyolysis atau jenis kerusakan otot yang berpotensi mengancam jiwa. Ini disebabkan oleh suhu tinggi dan sengatan panas.
Baca juga: Gelombang Panas yang Memanggang Asia Kemungkinan karena Perubahan Iklim
Namun, perusahaan asuransi dan majikannya hanya menyebutkan dia meninggal karena kondisi kesehatan pribadinya sehingga tidak dikategorikan sebagai kecelakaan kerja. Setidaknya ada empat kasus pekerja luar ruangan yang meninggal pada hari-hari yang sangat panas selama satu tahun terakhir.
Menanggapi pernyataan Siu, Departemen Tenaga Kerja Hong Kong menyatakan bahwa tidak ada informasi yang menunjukkan pekerja tidak dapat melaporkan cedera kerja terkait sengatan panas. Hanya saja, mereka mengakui kasus dengan ”gejala ringan” kemungkinan tidak dilaporkan pekerja. Oleh karena itu, jumlah kasus yang tercatat kemungkinan lebih rendah dari jumlah kasus yang sebenarnya.
”Berdasarkan pengalaman kami dalam memproses cedera kerja yang diduga terkait dengan serangan panas, pengusaha pada umumnya tidak mempersoalkan kewajiban mereka dan akan memberikan kompensasi,” ujar pernyataan dari departemen itu.
Bagi para pekerja seperti Wah, mereka hanya menunggu praktik pelaksanaan sistem peringatan itu karena sampai sekarang belum juga terlihat. Wah dan rekan-rekannya tidak melihat banyak perubahan pada rutinitas mereka, terutama karena risiko gaji bisa dipotong jika ketahuan mengambil waktu istirahat yang lama.
”Kami biasanya lanjut bekerja setelah istirahat minum air selama lima menit,” kata Chuen (70). Seperti Wah, Cheun bermandi keringat saat istirahat di tempat teduh.
Timur Tengah makin panas
Bukan hanya Hong Kong yang kepanasan. Warga di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara yang ”sudah terbiasa” dengan cuaca panas saja juga merasa suhu sudah terlalu panas. Meski demikian, banyak pekerja di Irak, Suriah, Tunisia, dan Arab Saudi masih harus bekerja di bawah sengatan terik matahari. Mereka tidak punya pilihan dan harus bekerja di luar ruang demi mencari nafkah.
Murad Haddad (30), tukang pandai besi di kota Idlib, Suriah, misalnya. Ia sehari-hari harus bekerja di depan api untuk menempa besi. Agar tak terlalu panas, Murad dan lima saudara laki-lakinya harus bangun lebih pagi. Mereka bekerja di dekat api selama lima atau enam jam, dari pagi sampai jam dua atau tiga sore.
Angin sepoi-sepoi dari kipas tua yang digantung di langit-langit tidak cukup ampuh mengeringkan keringat yang mengucur. ”Panas ini membunuh kami. Kalau saya tidak bekerja, keluarga saya tidak bisa makan. Saya punya enam anak dan kesulitan untuk menghidupi mereka,” kata Murad.
Nasib Maoula al-Tai (30) hampir setali tiga uang. Ia bekerja sebagai pengantar makanan dan setiap hari harus keliling menjelajahi kota dengan mopednya. Ketika suhu di atas 50 derajat celsius, Maoula mau tak mau harus terus bekerja. Tidak banyak orang yang berani keluar ke jalanan dan kondisi jalanan sepi.
Baca juga : Asia Terpanggang Panas Ekstrem, Suhu Tertinggi Indonesia Tercatat di Ciputat
Untuk melindungi diri dari sengatan panas, Maoula mengenakan kain penutup hidung dan mulut. ”Kadang-kadang lebih panas lagi, bisa sampai 52, 53, dan 54 derajat celsius. Itu tidak normal dan tidak akan ada yang bisa tahan,” ujarnya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan, Irak adalah salah satu dari lima negara yang paling terdampak perubahan iklim. Negara itu kini mengalami kekeringan. Sudah empat tahun berturut-turut Irak kekeringan.
Di tempat lain, Munjia Deghbouj (40), warga Desa El Hababsa, Siliana, Tunisia utara, menceritakan bahwa dia harus mengubah jam kerjanya. Ia kini bangun subuh setiap hari untuk bekerja di ladang agar tidak kepanasan.
Pada akhir Juli 2023, Tunisia mengalami gelombang panas yang intens dan tidak biasa dengan suhu sampai 50 derajat celsius. ”Saya bangun pukul 04.00 pagi dan menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Pukul 05.00 baru berangkat dan pulang pukul 14.00 karena sudah terlalu panas,” ujar Deghbouj .
Dia masih harus berjalan kaki sekitar 7 kilometer sekali jalan dari rumah ke ladang cabai dan semangkanya.
Baca juga : Suhu Dunia Mendidih, Mengancam Kehidupan dan Produksi Pangan
Atheer Jassim (40), pengantar tabung gas di Nasiriyah, Irak, juga tak punya pilihan lain selain harus menghadapi cuaca panas ekstrem seekstrem 51 derajat celsius pada awal pekan ini. Dia tak mau anak-anaknya putus sekolah hanya karena tidak ada biaya.
Sesampainya di rumah setelah bekerja di bawah terik matahari sepanjang hari, dia sering mendapati rumahnya mati listrik. Di Irak sering terjadi pemadaman listrik sampai bisa selama 12 jam sehari. ”Karena tidak ada AC, saya sirami kepala saya dengan air saja, lalu istirahat,” ujar Jassim. (AFP)