Masyarakat masih berhemat secara besar-besaran. Perputaran uang di pasar menjadi minim. Biro Statistik Nasional China mengeluarkan data bahwa Indeks Harga Konsumen turun 0,3 persen dibandingkan dengan Juli 2022.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
BEIJING, RABU – China mengalami deflasi atau penurunan nilai barang dan jasa akibat minimnya perputaran uang di pasaran. Sikap masyarakat yang masih menghemat dan tidak mau berbelanja ini memang baik secara individual, tetapi berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi. Pemerintah berusaha memberi paket stimulus moneter guna menggenjot belanja masyarakat.
“Mental pandemi Covid-19 masih sangat kental di China sehingga masyarakat tidak mau berbelanja di luar kebutuhan pokok. Ini bisa mematikan perekonomian,” kata Richard Koo, ekonom utama firma Nomura di Jepang kepada Bloomberg edisi Rabu (9/8/2023).
Biro Statistik Nasional China mengeluarkan data bahwa Indeks Harga Konsumen turun 0,3 persen dibandingkan dengan Juli 2022. Adapun Indeks Harga Produsen turun 4,4 persen dibandingkan tahun lalu, ini berarti harga barang yang keluar dari pabrik turun. Tidak hanya itu, ekspor juga turun 14,2 persen dibandingkan periode serupa di tahun lalu.
Pemerintah China masih berpikir positif. Bulan Juni, Bank Rakyat China─bank sentral di negara tersebut─mengumumkan sejumlah kebijakan untuk melawan risiko deflasi. Pertama-tama, mereka memotong suku bunga jangka pendek dari 2 persen menjadi 1,9 persen.
Kedua, Bank Rakyat China menggelontorkan dana sebesar 2 miliar yuan ke sistem perbankan nasional untuk menggerakkan likuiditas. Ketiga, ada paket stimulus moneter, terutama di sektor properti agar masyarakat mau lagi berbelanja rumah.
“Deflasi ini diperkirakan bukan sesuatu yang bersifat jangka panjang. Pemerintah mematok target per akhir tahun 2023, kita bisa mencapai inflasi 3 persen,” kata Wakil Gubernur Bank Rakyat China Liu Guoqiang dalam pengumuman resmi. Bahkan, hingga akhir Juli, Bank Rakyat China masih mengeluarkan pernyataan bahwa mereka optimistis pertumbuhan pendapatan domestik bruto bisa naik hingga 5 persen di tahun ini.
Namun, para ahli ekonomi internasional meragukan hal itu. Pasalnya, belajar dari pengalaman deflasi di China maupun di negara-negara lain, harga turun tidak serta-merta masyarakat langsung berbelanja. Justru, dengan sikap hemat orang Asia, umumnya mereka menunggu sampai harga turun ke titik terendah. Sambil menunggu itu, perekonomian kadung terluka.
Salah satu contoh negara yang mengalami deflasi berkepanjangan adalah Jepang. Deflasi telah berlangsung selama 20 tahun pada periode tahun 1990-an hingga pertengahan 2000-an dan mengakibatkan perekonomian negara itu stagnan. Kini, ancaman deflasi itu juga ada mengingat populasi Jepang yang terus menua dan berarti konsumsi juga berkurang.
China mengalami deflasi pada akhir 2020 hingga awal 2021 karena turunnya harga daging babi yang merupakan daging paling populer di masyarakat. Harga daging kembali normal pada pertengahan tahun 2021. Sebelumnya, deflasi terjadi pada tahun 2009. Di tahun 2023, ekonom dari firma Gavekal Dragonomics Andrew Batson berpendapat, penyumbang utama deflasi adalah sektor properti.
“Properti ini penyumbang seperempat PDB China. Gara-gara pandemi, masyarakat tidak mau lagi membeli rumah ataupun apartemen, termasuk menyewa. Padahal, pembangunan properti berlangsung secara masif di seantero negeri,” tuturnya.
Hal lain yang mengkhawatirkan dari deflasi ini ialah pabrik-pabrik mengurangi produksi karena mereka tidak mau menumpuk produk. Apabila itu terjadi, bisa-bisa terjadi pemutusan hubungan kerja berskala besar atau setidaknya perusahaan dan pabrik berhenti membuka lowongan pekerjaan. Padahal, angka pengangguran pemuda di China sudah mencapai 20 persen. (AP)