ECOWAS siap menurunkan pasukan, sementara junta Niger siap melawan. ECOWAS telah memberi tenggat pada junta militer dan tenggat telah dilewati. Para pemimpin negara-negara ECOWAS tengah melakukan rapat darurat di Abuja.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
ABUJA, RABU – Diplomasi tetap merupakan metode utama penanganan krisis politik di Niger pascamakar oleh militer. Akan tetapi, Masyarakat Ekonomi Negara-negara Afrika Barat atau ECOWAS menegaskan bahwa mereka tetap bersiaga dan siap sedia apabila harus menurunkan pasukan untuk mengembalikan Presiden Niger Mohamed Bazoum ke tampuk kepemimpinan.
Demikian pernyataan Presiden Nigeria Bola Tinubu yang dikeluarkan secara resmi melalui Kantor Kepresidenan Nigeria di Abuja, Rabu (8/8/2023). Nigeria merupakan negara tetangga Niger dan saat ini, Nigeria tengah menjabat sebagai Ketua ECOWAS.
Organisasi kerja sama kawasan ini beranggotakan 15 negara dan empat di antaranya mengalami makar oleh kekuatan militer. Ini menghadirkan tren yang mengkhawatirkan bagi negara-negara di Afrika Barat karena mereka berusaha mempertahankan demokrasi di tengah berbagai tantangan perekonomian dan pembangunan.
ECOWAS memberi tenggat kepada junta militer Niger untuk mengembalikan Bazoum ke kursi kepresidenan pada Minggu (6/8). Tenggat telah dilewati. Akan tetapi, imbauan itu tidak digubris oleh junta Niger yang dipimpin Jenderal Abdourahamane Tiani. Ia melakukan makar terhadap Bazoum─presiden sipil yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum─pada 26 Juli.
Para pemimpin negara-negara ECOWAS tengah melakukan rapat darurat di Abuja. Selain itu, Nigeria juga mengirim delegasi yang dipimpin oleh purnawirawan Panglima Militer Nigeria Jenderal Abubarkar Abdulsalam dan Khalifah Sokoto Abubarkar Saadu. Kekhalifahan Sokoto adalah wilayah Nigeria yang berbatasan dengan Niger. Kekhalifahan Sokoto dengan status sebagai pusat kebudayaan dan kajian Islam Nigeria menjadikan Khalifah Saadu pemimpin spirirual umat Islam di Nigeria.
Harapannya, kombinasi antara purnawirawan pejabat militer dan tokoh agama ini bisa membuka pintu dialog dengan junta Niger. Akan tetapi, hal itu tidak terwujud karena begitu delegasi tiba di Niamey, ibu kota Niger, mereka harus angkat kaki. Junta mengatakan tidak bisa menjamin keselamatan delegasi dari ECOWAS karena rakyat Niger marah kepada mereka dengan alasan terlalu pro kepada Perancis yang merupakan mantan penjajah di Benua Afrika.
Rusia
Pihak lain yang terus memantau perkembangan di Niger adalah Amerika Serikat yang memiliki 1.000 tentara. Mereka ditugaskan di Niger untuk memerangi kelompok teroris Islam, antara lain Boko Haram. Tentara AS bekerja sama dengan 1.500 tentara Perancis di wilayah Sahel─wilayah Afrika di sepanjang Gurun Sahara─melawan berbagai kelompok ekstrem.
Washington mengutus diplomat senior Victoria Nuland ke Niamey. Akan tetapi, ia tidak bisa bertemu dengan Tiani maupun Bazoum. “Susah sekali membuka komunikasi, tetapi kita terus berusaha sesempit apapun, komunikasi tetap ada,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan, sejauh ini, tidak tampak ada tanda-tanda campur tangan Rusia maupun kelompok tentara bayaran Wagner dalam kudeta di Niger. Di jalan-jalan di Niamey, warga melakukan unjuk rasa dengan membakar bendera Perancis, tetapi mengusung bendera Rusia dan mengatakan bahwa Rusia adalah sahabat Niger.
Kelompok Wagner memiliki posisi dan jaringan yang kuat di Sahel, terutama di Mali dan Burkina Faso. Meskipun begitu, Blinken mengatakan bahwa Wagner belum terlibat di pemerintahan de facto junta. “Kita terus waspada dan memastikan kudeta ini tidak ditunggangi pihak-pihak lain yang bisa membuat masalah semakin runyam,” katanya.
Pemimpin Wagner, Yevgheny Prigozhin memiliki keterlibatan di berbagai proyek penambangan sumber daya alam di negara-negara Sahel. Hal ini membuat posisi Prigozhin masih diperhitungkan di Rusia, meskipun ia tersingkir dari lingkaran dalam Presiden Rusia Vladimir Putin setelah Wagner sempat berniat "melawan" Kremlin pada Juni lalu.
Ahli kajian Afrika di Centre for Strategic and International Studies Cameron Hudson menuturkan, AS salah perhitungan dengan Niger dan menganggap mereka menyukai AS secara sukarela. Padahal, militer Niger berpikir strategis. Mereka tetap menjaga kedekatan dengan AS dan di saat yang sama membangun hubungan dengan Rusia. Mereka memahami bahwa di tengah sangsi dari Uni Afrika, ECOWAS, dan Barat, hanya Rusia yang bisa memberi alternatif ekonomi.
Di Afrika Barat, secara total, makar di Niger ini adalah yang ketujuh di dalam tiga tahun belakangan. Sebelumnya, terjadi makar di Mali (Agustus 2020), Chad (April 2021), Guinea (September 2021), Sudan (Oktober 2021), dan Burkina Faso (2021).
“Semua dilakukan oleh militer yang merebut kekuasaan dari pemerintahan demokratis pemenang pemilu. Alasannya selalu karena pemerintah dianggap tidak cakap menangani isu keamanan dan kemiskinan,” kata pernyataan dari Badan Pengawas Nasional Nigeria (NO), lembaga masyarakat sipil pemantau kinerja pemerintah, kepada media Sahara Report.
Menurut Ketua NO Debo Adeniran, demokrasi di Afrika Barat belum sepenuhnya kuat untuk melakukan tata kelola pemerintahan yang baik. Selain itu, banyak pemerintahan demokrasi yang terlalu dekat ke perusahaan asing. “Niger ini salah satu contohnya. Uranium mereka ditambang oleh Perancis dan dijual seharga 218 dollar AS per kilogram. Akan tetapi, pekerja Niger hanya diupah 11 dollar AS. Demokrasi adalah pemerintahan terbaik, tetapi harus disertai dengan keadilan,” katanya. (AFP)