Disingkirkan ”rekan perjalanannya” seharusnya tak membuat MFP lemah. Hanya, perjuangan untuk memperbaiki demokrasi di Thailand akan panjang.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
Langkah Partai Pheu Thai yang memilih tidak mengikutsertakan partai pemenang pemilihan umum Thailand, Partai Bergerak Maju (MFP), dalam kabinet mendatang boleh dikatakan mengejutkan walau sebenarnya bisa diprediksi. Masalah dukungan yang tidak cukup dari Senat menjadi kendala terbesar. Senat didominasi individu yang ditunjuk militer dan dinilai memiliki kedekatan dengan kelompok konservatif dan pendukung monarki.
Kegagalan kerja sama delapan partai oposisi berawal dari kegagalan MFP dan Pheu Thai mengusung Pita Limjaroenrat duduk di kursi perdana menteri. Koalisi partai oposisi, yang sebagian besar didukung anak muda yang haus perubahan, hanya mampu mendulang simpati segelintir senator.
Dari 250 senator di parlemen, hanya 13 orang yang mendukung gerakan perubahan ini. Jumlah itu tak cukup untuk menjungkirbalikkan kelompok yang dipandang konservatif dalam politik Thailand.
Keinginan MFP untuk mengamendemen dan menghapus Undang-Undang Lese Majeste menjadi kambing hitam bagi Pheu Thai untuk memutuskan kerja sama. UU itu berisi ancaman hukuman bagi penghina Raja Thailand dan keluarganya.
Skenario lain, dengan membuka kemungkinan Pita menjadi wakil PM menemani PM dari Pheu Thai, juga gagal. Partai-partai baru yang coba digandeng Pheu Thai menolak sama sekali kehadiran Pita di kabinet sebagai syarat utama jika mereka diajak bekerja bersama. Posisi Pita sebagai wakil PM dinilai masih berbahaya bagi pendukung militer dan monarki. Mengutip Tajuk Rencana Kompas, 21 Juli 2023, bagi kelompok promonarki, Pita harus dihadang karena masih tetap menjadi ancaman.
Jalan berliku
Langkah Pheu Thai ”menyingkirkan” MFP dari koalisi memiliki efek bagi citranya. Pheu Thai, yang berusia hampir dua dekade, selama ini dikenal sebagai partai yang memperjuangkan demokrasi dan pemerataan akses ekonomi bagi semua kalangan. Saat Thailand dan Pheu Thai dipimpin mantan PM Thaksin Shinawatra, sejumlah kebijakan populis dan menguntungkan bagi rakyat dibuat, seperti akses kesehatan universal.
Setelah mendepak MFP serta berkoalisi dengan sejumlah partai konservatif dan condong dekat dengan militer, hampir dipastikan citra Pheu Thai sebagai partai yang memperjuangkan demokrasi luntur. Anak-anak muda Thailand mungkin jengah dan menolak untuk mengikatkan diri dengan platform yang selama ini dibangun oleh para pendiri partai karena keputusan tersebut. Ini dibuktikan dengan protes mereka ke kantor Pheu Thai.
Mengutip tulisan Joshua Kurlantzik, peneliti senior Council on Foreign Relation di laman lembaga tersebut, secara umum kondisi demokrasi di Asia Tenggara tidak mengalami kemajuan. Optimisme sempat mencuat dengan catatan oposisi di Thailand bisa berkuasa. Namun, yang terjadi sebaliknya. Jika Timor Leste diterima secara penuh dalam Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), mungkin akan sedikit membawa kegembiraan.
Tinjauan politik dan demokrasi di Asia Pasifik tahun 2023 yang diluncurkan IDEA pun menyoroti hal senada. Militer dan elite politik berkelindan, dengan berbagai upaya, mempertahankan kekuasaan yang telah diraih. Lebih jauh melalui kontrol, atau paling tidak pengaruh politik, penguasa militer dan kelompok oligarki mengamankan akses ke sumber daya negara.
Pandemi Covid-19 yang membuat pemerintah atau penguasa, baik sipil maupun militer, harus membatasi gerak individu atau kelompok di ruang publik, berlanjut hingga sekarang. Atas nama stabilitas, penguasa terus membatasi dan mengawasi gerak-gerik rakyatnya yang kritis.
Contoh paling jelas adalah keberadaan para senator di parlemen Thailand. Di negara lain, mereka menempatkan kembali anggota militer aktif di jabatan-jabatan yang seharusnya dipegang oleh sipil, termasuk lembaga penelitian.
Thailand beruntung masih memiliki para aktivis, mahasiswa, dan kelompok menengah yang masih mau turun ke jalan, mendesak dikembalikannya supremasi sipil. Kamboja, seperti dikatakan tokoh oposisi senior Sam Rainsy saat di Jakarta, tidak bisa terlalu banyak berharap.
Jalan bagi MFP dan pendukungnya untuk menegakkan demokrasi masih panjang. Seperti yang dikatakan Sekretaris Jenderal MFP Chaitawat Tulanon, mereka akan mencoba untuk mendorong kebijakannya meski dari bangku oposisi. Semoga tidak masuk angin.