Ketegangan China-Filipina di Laut China Selatan Terus Berulang
Insiden di antara pasukan penjaga pantai kembali terjadi di Laut China Selatan. Konflik itu bisa dijadikan alasan Amerika Serikat mengerahkan pasukannya untuk terlibat perang di kawasan.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
MANILA, MINGGU — Ketegangan antara penjaga pantai China dan Filipina di Laut China Selatan terus berulang. Amerika Serikat mengancam akan terlibat jika sampai terjadi perang antara China dan Filipina. Insiden itu terjadi kala ASEAN dan China masih terus membicarakan panduan tata perilaku di Laut China Selatan.
Ketegangan terbaru terjadi pada 5 Agustus 2023 di barat Pulau Palawan, Filipina. Kapal penjaga pantai Filipina yang mendekati Karang Ayungin atau Karang Thomas Kedua disemprot oleh kapal penjaga pantai China. Penyemprotan dengan meriam air itu terjadi kala kapal Filipina sedang mengawal perahu yang mengantar logistik untuk pasukan di Karang Ayungin.
”Tindakan penjaga pantai China tidak hanya membahayakan keselamatan anggota penjaga pantai Filipina, melainkan juga melanggar aturan internasional,” demikian pernyataan Angkatan Bersenjata Filipina, sebagaimana dikutip sejumlah media Filipina, Minggu (6/8/2023).
Penjaga Pantai China, sebagaimana dilaporkan media China, Global Times, membenarkan insiden itu. Beijing menyebut, dua kapal dan dua perahu Filipina mendekati Karang Ren’ai yang diklaim termasuk Kepulauan Nansha. Pengusiran dilakukan karena kapal-kapal Filipina diklaim mendekati wilayah teritorial China. Beijing menuding kapal-kapal itu membawa bahan bangunan untuk proyek konstruksi ilegal di wilayah China.
Insiden pada 5 Agustus 2023 disikapi dengan cepat oleh Washington. Departemen Luar Negeri AS menyiratkan kesiapan Washington berperang jika Manila diserang pihak lain. AS mengklaim berkewajiban membantu Filipina karena ada perjanjian pertahanan pada 1951. Seperti Filipina, AS juga menuding tindakan China melanggar hukum internasional. Sementara tindakan Filipina disebut Washington sudah sesuai hukum.
Lokasi dan dasar hukum
Lokasi kejadian berada di perairan yang diperebutkan Beijing-Manila. Dengan konsep sembilan garis putus-putus, China mengklaim sebagian besar Laut China Selatan. Filipina menolak klaim itu. Salah satu upayanya termasuk menempatkan pasukan dan berusaha membuat pos di Karang Ayungin.
Selain sembilan garis putus-putus, China mengklaim perairan di sana lewat pulau-pulau buatan. Mahkamah Arbitrase Internasional telah memutuskan, pulau-pulau buatan itu tidak bisa dipakai sebagai dasar klaim perairan teritorial. Keputusan pada 2016 itu tentu saja ditolak oleh China sampai sekarang.
Karena itu, pakar hukum pada University of Philippines, Jay Batongbacal, mempertanyakan dasar hukum tindakan China. Lokasi kejadian berada di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Filipina. Dari segi jarak, tempat itu berada 100 mil laut dari Pulau Palawan dan 610 mil laut dari pesisir China. Tindakan Beijing jelas bentuk ancaman kepada negara lain dan karena itu melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa.
Tindakan China juga diklaim tidak sesuai dengan deklarasi tata perilaku (DoC) yang disepakati ASEAN-China lebih dari 20 tahun lalu. Sebab, tindakan itu tidak sesuai dengan prinsip saling menahan diri yang disepakati dalam DoC.
Berulang dan berbahaya
Insiden pada 5 Agustus 2023 bukan satu-satunya ketegangan antara Filipina dan China sepanjang 2023. Setiap bulan, paling tidak ada satu insiden di antara penjaga pantai kedua negara. Bentuknya mulai dari penghadangan, pengarahan sinar laser ke anjungan dan ruang kemudi, hingga penyemprotan dengan meriam air. Bahkan, lokasi insiden terakhir nyaris sama dengan lokasi insiden pada 30 Juni 2023.
Dalam setiap insiden, kapal-kapal Filipina nyaris selalu dalam posisi lebih lemah. Reaksi Manila pun terbatas pada protes diplomatik. Filipina menyebut tindakan China membahayakan keselamatan pelaut. Pengulangan insiden menunjukkan, protes-protes itu diabaikan China.
Insiden berulang itu terjadi kala ASEAN-China tidak kunjung merampungkan pembahasan CoC di Laut China Selatan. Setelah 21 tahun berunding, tidak ada tanda perundingan akan selesai.
Bahkan, sejumlah pakar keamanan di Asia Tenggara menyebut, tidak ada kemajuan dari proses itu. Hal positif dari perundingan itu hanyalah kesediaan ASEAN-China terus berbicara, walau tidak jelas apa hasil pembicaraannya. ”Saya pikir sudah waktunya meminta penghentian perundingan CoC ASEAN-China. Tidak ada gunanya membahas mekanisme CoC dalam situasi ancaman tiada henti. Terus berunding hanya menunjukkan ASEAN tidak berguna,” kata Batongbacal.
Sebagai ketua bergilir ASEAN 2023, Indonesia berusaha mendorong kemajuan dalam perundingan CoC. Jakarta mau setidaknya ada kesepakatan yang praktis dan dapat diterapkan dalam waktu dekat.
Insiden itu membuat peringatan Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen semakin relevan. Ia menyebut konflik di Laut China Selatan lebih mungkin dipicu perselisihan penjaga pantai. Sebab, kapal penjaga pantai sejumlah negara semakin banyak di perairan tersebut. Di sisi lain, nyaris tidak ada mekanisme apa pun untuk mengelola konflik di antara penjaga pantai.
Sementara di antara angkatan laut, sudah ada mekanisme pengelolaan konflik. Meski insiden masih terus terjadi, potensi konflik di antara AL masih ada mekanisme pengelolaannya. (AFP/REUTERS)