Generasi Muda China Tolak Tekanan Kehidupan dan Pekerjaan
Lying flat juga menggambarkan pemahaman dan kontemplasi yang mendalam tentang kehidupan oleh kaum muda saat ini. Mereka lebih menghargai pemenuhan atau kepuasan diri, termasuk kepuasan spiritual, dan kebebasan memilih.
Pada dekade 1990-an, para pekerja di China terbiasa hidup berdesak-desakan di sebuah bangunan sempit. Mereka berpendidikan rendah tetapi senang bisa bekerja di sektor manufaktur perkotaan. Mereka saksi kepahitan ekonomi dan kehidupan serta tidak menuntut banyak. Mereka rela bergaji apa adanya walau bisa menghasilkan produk ekspor murah.
Xu Zongquan, kelahiran awal 1970-an dan kini pebisnis di sektor pertanian berkisah. “Dulu, kami adalah para pekerja migran. Hanya bergaji beberapa dollar AS, tidak sebanding dengan gaji sekarang,” kata Xu. Chinese Migrant Workers: Post-70s generation returns home for better opportunities - CGTN
Xin Dayao juga pekerja migran dan menghabiskan delapan tahun sebagai pekerja manual sektor konstruksi di Hubei, Provinsi Hubei. “Saya bergaji 700 yuan per bulan (87,5 dollar AS). Tanpa pendidikan, tanpa keterampilan, hanya mengandalkan otot. Aku merasakan orang-orang memincingkan mata,” kata Xin pada 2006. Migrant workers born in 1980s shun hard labor in cities (chinadaily.com.cn)
Baca juga: Susah Cari Kerja, Anak-anak Muda di China Memilih Jadi ”Anak Purnawaktu”
Keluhan mereka tidak terdengar. Namun mereka merasa mendapatkan sesuatu yang berguna, termasuk tempat tinggal gratis dan makan gratis dari majikan. Idiom terkenal di China hingga pada awal reformasi ekonomi 1978 adalah “Bagi rakyat, makanan adalah surga.” China's 80's Generation: Working for the Future | China Research Center (chinacenter.net)
Para balinghou, generasi kelahiran 1980-an juga masih sempat menjalani pekerjaan kasar, yang penting bisa menabung sedikit dan membantu keluarga. Generasi balinghou masih mendengar kegelisahan generasi lebih tua. Jatah makanan yang kurang, pilihan hidup sempit. Warga hingga generasi balinghou tidak masalah dengan jam kerja panjang dan upah rendah.
Kelompok ini umumnya tidak berharap banyak akan peningkatan karir. Kelompok balinghou ini penikmat lagu Michael Jackson tetapi tidak melupakan tradisi lama dan nilai-nilai Konfusius. Mereka berpikir tentang generasi tua dan generasi berikutnya, termasuk pendidikan anak-anaknya. Di hari tua, mereka menjadi pengasuh bagi para cucu, atau ada yang kembali ke desa, dengan kesempatan ekonomi yang lebih besar.
Baca juga: Milenial Jepang Hidup Pasrah
Ada sedikit beda dengan para pekerja generasi kelahiran 1980-an dibandingkan dengan kelahiran generasi 1970-an dan sebelumnya. Para balinghou lebih leluasa mencari pekerjaan. Pertumbuhan ekonomi tinggi memunculkan sektor jasa. Pilihan kerja bukan lagi di pabrik-pabrik manufaktur tetapi juga di restoran, pengawas apartemen-apartemen dan lainnya.
Bukan hanya urusan gaji
Generasi kelahiran 1990-an (generasi jiulinghou), hingga kelahiran 2000-an (generasi linglinghou) menikmati hasil keringat generasi sebelumnya. Mereka menjalani pendidikan universitas, belajar keras dengan pantauan ketat orangtua.
Hasilnya, para generasi jiulinghou dan linglinghou tidak hanya menjadi angkatan kerja cerdas tetapi juga memiliki aspirasi berbeda. Mereka mulai memprotes pola kerja ketat, lingkungan kerja toxic. Mereka menolak nilai kelompok ken lao zu, generasi tua yang hidup dengan pola lama, penurut dan tahan pada tekanan dan penderitaan.
Aspirasi generasi terbaru berkembang dan kehidupan bukan lagi tentang gaji. The Hong Kong Post, 8 Oktober 2021 menyebutkan mereka menolak budaya kerja toxic. Mereka menolak jam kerja 996, bekerja jam 9 pagi, berakhir jam 9 malam dan berlangsung enam hari dalam seminggu.
Hukum ketenagakerjaan di China menolak praktik 996, dan mengatur jam kerja 8 jam per hari dan 40 jam per minggu. Akan tetapi banyak perusahaan yang masih menerapkannya. Berdasarkan data Biro Statistik Nasional China, rata-rata jam kerja di China per Desember 2022 adalah 47,9 jam per minggu, lebih tinggi dari 34,7 jam di AS.
Pola jam kerja ini membuat China dijuluki memiliki sisi budaya kerja buruk. Isu ini begitu berat hingga kelompok aktivis di China menciptakan sebuah proyek bernama “996.ICU” di GitHub dan menyusun daftar perusahaan dengan praktik toxic.
Li Chuang, kini berusia 33 tahun, meninggalkan pekerjaan serta memulai usaha baru dengan usaha toko. Alasannya, ia bosan dengan lingkungan kerja toxic. “Saya bekerja sangat lama dan seperti mesin,” kata Chuang.
Mark Liu pada 2014 pernah bekerja pada sebuah bank pemerintah. Ia dituntut kerja ekstra di luar jam kerja rutin dan total jam kerja per minggu 50 jam. “Jika tidak bisa mencapai minimal 46 jam kerja per minggu, pada tahun kedua jam kerja harus 50 jam per minggu,” kata Liu.
Baca juga: Hidup Lebih Santai Jadi Pilihan Sebagian Anak Muda di China
Majikan juga berharap karyawan mengikuti seminar wajib setelah jam kerja. “Perusahaan berupaya memanipulasi, mengendalikan Anda. Amat terasa bahwa perusahaan bukan lagi mitra dan pendukung sebagai majikan yang memperbudak,” kata Liu. China’s bid to lure overseas tech talent home hits a snag: the sector’s toxic work culture | South China Morning Post (scmp.com)
Terminologi toxic di China, bukan hanya soal jam kerja. Di dalamnya juga termasuk perlakuan kasar para bos. The South China Morning Post, 17 Mei, menuliskan kisah Melody Tan (22) yang pernah bekerja di sebuah perusahaan kendaraan elektrik. Ia melaporkan kepada bosnya cara kerja perusahaan yang tidak efisien, melaporkan pelecehan seksual atas dirinya. Efeknya, Melody Tan tidak diberi tugas, didiamkan. Ini menjadi alasan baginya untuk mundur.
Mengutamakan kenyamanan
Sebuah survei atas lebih dari 7.000 karyawan linglinghou (generasi Z) yang diselenggarakan BOSS Zhipin, sebuah badan perekrut pekerja online di China, ditemukan bahwa linglinghou mengutamakan kenyamanan dan karir yang jelas. Generasi ini juga mengutamakan budaya kerja bersahabat, berharap karir mereka lancar dan sesuai keinginan. Mereka tidak sembarangan memilih pekerjaan.
“Para pekerja kelahiran 2000 itu bukan tipe diam. Mereka tipe beropini dan individualistik sekaligus,” kata Zac Wang, Direktur Randstad, perusahaan konsultan wilayah China Selatan. “Mereka bisa meledak tetapi juga belajar cepat. Mereka memperjuangkan hak dan kreatif. Ini merupakan langkah mereka untuk memperbaiki iklim kerja demi kepentingan mereka sendiri,” lanjut Zac.
Generasi baru China adalah generasi juga yang bangga pada dirinya, bangga pada negaranya. Menurut VOA, 27 Oktober 2022, 90 persen generasi muda China bahkan memandang AS rendah. Generasi ini tidak lagi melihat dominasi produk made in USA tetapi made in China di seluruh dunia.
Baca juga: Memilih Gaya Hidup Melambat demi Mengejar Hidup Berkualitas
Hal ini menjadi hipotesa di balik angka pengangguran 20 persen bagi angkatan kerja muda (usia 16-24 tahun). Salah satu penyebab tingginya tingkat pengangguran pekerja muda ini, kemungkinan karena tidak mau asal bekerja, meski masih ada kesempatan.
Kisah generasi muda China yang lain adalah isu lying flatt dan tersebar di dunia maya. Fenomena lying flat merujuk pada perilaku kehidupan minimalis, menghilangkan ambisi pribadi, tidak memburu standard sukses lewat kepemilikan materi. Ini kontras dengan etos sebelumnya, yang tidak jenuh dengan ambisi tinggi.
Di China bermunculah penolakan pernikahan, tidak mau punya anak, dan tidak berambisi memiliki rumah. Dokumen hasil survei Communist Youth League of Guangzhou City, memperlihatkan 8 persen mahasiswa menyatakan penolakan tersebut (Time, 6 Juni 2023).
Penghuni dunia maya
Di sisi lain, generasi ini juga memang memiliki kesempatan berimprovisasi tentang pekerjaan dan kehidupan. The South China Morning Post, edisi 17 Agustus 2018, menyebutkan generasi pasca-milenial memang berbeda. Kelompok ini adalah motor utama di balik gairah internet.
Mereka bersedia membayar konten online dan jasa lain lewat dunia maya. Mereka mencari penghasilan dan menikmati kehidupan lewat dunia internet, berdasarkan laporan dari Sequoia Capital China. Di Beijing dan Shanghai, satu dari 10 orang dewasa, mencari pendapatan dari internet. Sekitar 15 persen dari generasi muda China berharap bisa memulai bisnis sendiri lewat online, ketimbang berprofesi sebagai dokter, akuntan dan ahli hukum.
Dari total 1,4 miliar penduduk China, sebanyak 772 menjadi pengguna internet. China memiliki komunitas online terbesar di dunia. China memiliki jumlah pengguna telepon cerdas tiga kali lebih banyak dari AS. Pembayaran transaksi online di China sebelas kali lebih banyak dari AS.
Baca juga: Produktivitas Kerja: Jam Panjang atau Pendek?
Tentu China juga menjadi negara dengan generasi muda yang bermain game online, yang diberangus pemerintah. Belajar tutorial online yang juga marak di China, telah diberangus pemerintah. Generasi muda diarahkan untuk bekerja di pedesaan dan agar efektif memakai waktu. Hal ini turut ditolak, termasuk menjadi penyebab fenomena lying flat.
Mencari identitas
Menjelaskan fenomena ini DR Ye Zhang Pogue, seorang psikolog pakar identitas manusia, bertutur di situs Psycology Today, 2 Agustus 2023. Ye Zhang menyatakan, semua ini bagian efek persaingan mendapatkan pekerjaan yang ketat di tengah pertumbuhan ekonomi yang mulai menurun sejak 2008.
Hal lain, persaingan di antara perusahaan-perusahaan begitu kuat untuk meraih kinerja keuangan tinggi. Kerja lembur menjadi tradisi. Generasi muda China menyatakan penolakan.
Tekanan tambahan muncul dari nilai-nilai lama di Tengah arus modernitas. Mereka didikan keras para orang tua, tetapi juga menolak keras apa yang pernah dirasakan para orangtua, termasuk tuntutan belajar keras. Mereka sejak kecil tidak lagi merasakan zaman kekurangan.
Nilai-nilai lama meminta generasi muda menikah. Namun, tingginya biaya hidup di zaman modern, termasuk biaya perumahan, pendidikan dan Kesehatan yang tinggi, sering membuat generasi muda mengutang demi menolong keluarga.
China dengan jargon kemakmuran bersama bukanlah negara dengan distribusi pendapatan yang merata. Pendapatan di China tidak dinikmati secara merata. Generasi muda mempertanyakan pola hidup konvensional.
Hal ini menjadi alasan di balik trend penurunan kesuburan di China, dengan angka 1,07 atau kedua terrendah di dunia setelah Jepang. Generasi muda menolak harapan masyarakat lama. Mereka memegang pola pikir “hidup itu singkat, nikmati selagi ada kesempatan”.
Generasi muda tidak merasa terdesak untuk bekerja, tidak mau berkompetisi lewat kepemilikan materi, dan enggan memburu status sosial. Mereka memilih menikmati kehidupan apa adanya.
Itu semua mewakili pemikiran generasi muda yang muncul tentang nilai kehidupan ala mereka sendiri. Ada kritikan bahwa lying flat merupakan perilaku negatif. Akan tetapi lying flat juga menggambarkan pemahaman dan kontemplasi yang mendalam tentang kehidupan oleh kaum muda saat ini. Mereka lebih menghargai pemenuhan atau kepuasan diri, termasuk kepuasan spiritual, dan kebebasan memilih. The Phenomenon of 'Lying Flat' Among Chinese Youth | Psychology Today
Tidak jelas, bagaimana kecenderungan generasi muda ini, bisa disesuaikan dengan impian Presiden Xi Jinping. Impian China adalah negara yang harus maju dengan peluh atau rasa pahit dalam perjuangan, yang pada akhirnya pasti berujung manis. Namun demikian, di China tetap ada generasi muda dengan kecenderungan bekerja keras tetapi aksi lying flat bisa menulari. (AFP/AP/REUTERS)