Pemungutan suara parlemen untuk menentukan PM ditunda lagi. Partai Bergerak Maju ”ditendang” Pheu Thai dari aliansi. Wajah muram pendukung reformasi memenuhi Thailand yang dikenal sebagai negeri senyuman itu.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
BANGKOK, KAMIS — Nasib pemerintahan baru Thailand tak kunjung ada kejelasan. Pemungutan suara di parlemen untuk memilih perdana menteri baru Thailand yang sedianya dilakukan pada Jumat (4/8/2023) ini ditunda lagi. Ini karena Mahkamah Konstitusi Thailand menunda keputusan dalam kasus yang melibatkan Ketua Partai Bergerak Maju Pita Limjaroenrat yang memenangi pemilihan umum, 14 Mei lalu.
Kebuntuan politik Thailand tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir dalam waktu dekat. Situasi politik yang tidak stabil ini membangkitkan ketakutan akan terjadinya lagi kudeta militer. Banyak pemilih—mayoritas anak muda—yang mendukung Partai Bergerak Maju (MFP) yang progresif karena sudah tak mau lagi hidup di bawah pemerintahan militer atau pemerintah yang didukung militer.
Ketua Parlemen Thailand Wan Muhamad Noor Matha, Kamis (3/8/2023), menjelaskan, pemungutan suara untuk memilih perdana menteri (PM) yang ketiga kalinya di parlemen hanya bisa dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan menerima pengajuan banding dari MFP terhadap upayanya untuk menunjuk seorang PM. ”Kami harus menunggu keputusan MK keluar pada 16 Agustus sebelum menentukan kapan akan diselenggarakan pemungutan suara lagi,” ujarnya.
Setelah langkah Pita menuju kursi PM dua kali dijegal parlemen gara-gara kasus kepemilikan saham media, semua mata kini tertuju pada Partai Pheu Thai yang berada di urutan kedua peraih suara terbanyak di pemilu. Pheu Thai, yang merupakan reinkarnasi dari partai yang didirikan mantan PM Thaksin Shinawatra, termasuk salah satu dari enam partai mitra MFP dalam aliansi untuk membentuk pemerintahan.
Namun, Pheu Thai justru memutus koalisi dengan MFP, Rabu, dan mencalonkan pengusaha Srettha Thavisin sebagai kandidat PM. Pheu Thai akan membentuk aliansi baru tanpa MFP. Akan tetapi, tanpa 151 kursi dari MFP, Pheu Thai harus berbicara dengan partai-partai lain untuk menguasai kursi mayoritas di parlemen.
”Setelah berbicara dengan partai dan senator lain, sikap MFP terhadap monarki—institusi penting negara kita—menjadi hambatan besar bagi koalisi dalam mengumpulkan dukungan di parlemen. Kami akan mengumumkan mitra koalisi yang baru,” kata Ketua Pheu Thai Chonlanan Srikaew, yang membacakan pernyataan Pheu Thai, Rabu.
Sekretaris Jenderal MFP Chaithawat Tulathon mengatakan, Pheu Thai tidak meminta mereka mundur dari kebijakan reformasi monarki, tetapi semua pihak yang diajak bicara tidak menginginkan MFP berada dalam pemerintahan. MFP sudah mengajukan petisi di parlemen yang berusaha mengubah konstitusi untuk menghapuskan kekuasaan Senat yang tidak terpilih untuk memveto kandidat PM. Soal tersebut juga akan dibahas pada Jumat ini.
MFP akan menjadi oposisi dan tetap yakin akan bisa membuat perubahan di Thailand meski tidak memegang kekuasaan. Para pendukung MFP kecewa dan marah serta menuding Pheu Thai berkhianat. Perkembangan terbaru ini mengecewakan rakyat karena Pheu Thai dianggap sebagai kendaraan bagi klan politik Shinawatra yang pernah dua kali digulingkan dalam kudeta militer tahun 2006 dan 2014. Thaksin dikabarkan akan kembali ke Thailand pada 10 Agustus setelah selama 15 tahun mengasingkan diri di Dubai.
Meski MFP dan Pheu Thai sama-sama menentang kekuasaan militer, keduanya mewakili dua sisi masyarakat Thailand yang sangat berbeda. Pendukung MFP lebih menginginkan perubahan radikal, sementara pendukung Pheu Thai yang cenderung lebih berusia tua dan mayoritas berbasis di perdesaan lebih bertindak hati-hati dan tidak menginginkan perubahan radikal.
Isu yang membuat MFP ditolak dan ”ditakuti” adalah keinginannya mengubah undang-undang pencemaran nama baik kerajaan yang melindungi Raja Maha Vajiralongkorn atau UU Lese Majeste. Barang siapa yang melanggar UU ini, hukuman penjara hingga 15 tahun menanti.
Aim Sinpeng dari Departemen Pemerintahan dan Hubungan Internasional Universitas Sydney, Australia, kepada ABC mengungkap, Pheu Thai mau tak mau harus menelan gengsi serta semua janjinya kepada rakyat dan membentuk aliansi dengan partai-partai yang mendukung militer. Hanya itu cara agar Pheu Thai bisa membentuk pemerintahan. Meski terpaksa menggandeng militer, setidaknya pemerintahan baru Thailand nantinya akan ”terlihat” lebih demokratis karena kemungkinan ada Pheu Thai yang dikenal antimiliter.
”Tetapi, banyak anak muda yang kecewa dan marah di media sosial. Kenapa mereka harus ikut memilih kalau pada akhirnya hasil pemilihannya tidak ada gunanya? Suara mereka tidak dipedulikan,” ujarnya.
Kekecewaan rakyat kepada Pheu Thai yang dianggap berkhianat kepada MFP ditunjukkan dengan minuman dingin ramuan es cokelat-min yang kini populer. Minuman yang menjadi simbol perpecahan ini menjadi viral karena sebelumnya beredar foto para pemimpin Pheu Thai yang terlihat sedang berbicara dengan tokoh-tokoh partai promiliter sambil minum es cokelat-min. Media-media lokal menyebutnya ”minuman pengkhianat teman”.
Minuman seharga 90 baht (sekitar Rp 39.000) itu dijual di kafe ThinkLab yang berada di kantor pusat Pheu Thai di Bangkok. Akan tetapi, banyak kafe yang tidak mau lagi membuat minuman es cokelat-min itu karena dianggap sebagai minuman yang menyakiti teman. ”Saya curiga dengan Pheu Thai waktu melihat foto mereka dengan partai militer,” kata pemilik kafe di Samut Songkhram, Bangkok, Sasichom Krudhnark Pongphrom. (REUTERS/AFP/AP)