Gelar Sarjana Tak Jamin Mudah Cari Kerja, di AS atau China Sama Saja
Memiliki gelar sarjana tak menjamin bisa mendapatkan pekerjaan keren dan bergaji tinggi. Padahal, biaya kuliah sudah mahal. Lalu, buat apa kuliah?
”Sekolahlah sampai perguruan tinggi biar dapat pekerjaan bagus dan gaji tinggi”, ”Orang harus kuliah biar bisa kerja kantoran”, ”Sekolahlah setinggi-tingginya supaya hidup bisa lebih baik”.
Nasihat-nasihat seperti itu sering terdengar. Bahkan, sampai sekarang pun meski ternyata sekolah setinggi-tingginya di zaman sekarang tidak lantas menjamin akan memberikan pekerjaan keren atau hidup yang lebih baik, nasihat-nasihat itu terus didengungkan.
Meski demikian, seperti ditunjukkan hasil jajak pendapat oleh harian Amerika Serikat, Wall Street Journal, 31 Maret 2023, krisis kepercayaan orang terhadap perguruan tinggi menurun. Sebanyak 56 persen warga Amerika Serikat sekarang menganggap gelar sarjana tidak lagi sebanding dengan waktu dan uang yang sudah banyak dihabiskan untuk kuliah.
Lalu, majalah Inggris, The Economist, edisi April 2023, mengajukan pertanyaan yang menggugat: is university worth it? Apakah kemudian kuliah atau pendidikan tinggi itu ada gunanya?
Baca juga : Susah Cari Kerja, Anak-anak Muda di China Memilih Jadi ”Anak Purnawaktu”
Selama puluhan tahun, orang berbondong-bondong berjuang masuk ke perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri (PTN). Segala cara dilakukan. Di Indonesia dulu bahkan ada yang membayar joki agar bisa lulus dalam ujian masuk perguruan tinggi.
Di China, ujian masuk ke pendidikan tinggi bagaikan masalah hidup dan mati. Jika tak masuk PTN, selesailah hidup karena itu artinya seseorang dianggap tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan yang terbaik. Pemerintah dan masyarakat selama ini juga menggembar-gemborkan perguruan tinggi sebagai cara untuk memperbaiki kehidupan dan menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Hanya saja, ketika biaya pendidikan semakin mahal dan tingkat pendapatan lulusan perguruan tinggi tidak juga sesuai harapan, mulai timbul rasa kecewa. Kekecewaan ini muncul di banyak negara, termasuk di China atau Amerika Serikat sama saja. ”Masalahnya bukannya saya tidak bekerja keras, tetapi kerja tidak juga menghasilkan upah baik,” kata seseorang di China, seperti dikutip situs Asia Times, 13 Juli 2023 (Kompas, 1 Agustus 2023).
Baca juga : ”Linglinghou” Tantangan bagi China
Ledakan penghasilan lulusan perguruan tinggi dimulai pada tahun 1980-an di negara-negara kaya. Pada waktu itu kesenjangan gaji antara orang-orang yang memiliki gelar sarjana dan yang tidak bergelar sarjana melambung tinggi. Pada tahun 1970-an, warga AS yang berpendidikan universitas berpenghasilan rata-rata 35 persen lebih banyak ketimbang orang lulusan sekolah menengah. Pada tahun 2021, kesenjangan pendapatan itu meningkat menjadi 66 persen.
Biaya kuliah melonjak
Namun, baru-baru ini premi upah di banyak negara mengalami stagnasi atau bahkan mulai turun. Premi upah adalah jumlah rata-rata upah kelompok tertentu yang lebih besar daripada populasi secara keseluruhan. Di negara-negara yang benar-benar memungut biaya untuk pendidikan, biaya pendidikan melonjak tinggi. Seperti biaya kuliah di Inggris, misalnya, melonjak dari nol pada akhir 1990-an menjadi 11.000 dollar AS atau Rp 166 juta setahun. Biaya ini paling tinggi di antara negara-negara kaya lainnya.
Baca juga: Sesusah-susahnya Hidup, Lebih Susah Ikut "Gaokao"
Menurut Jaison Abel dan Richard Deitz di Bank Sentral AS di New York, AS, biaya yang harus dikeluarkan oleh rata-rata mahasiswa sarjana strata 1 (S-1) meningkat dari 2.300 dollar AS atau Rp 35 juta setahun pada tahun 1970-an menjadi sekitar 8.000 dollar AS atau Rp 121 juta setahun pada tahun 2018. Mahasiswa di PTN sering kali membayar jauh lebih sedikit, sementara di perguruan tinggi swasta (PTS) bisa membayar lebih banyak.
Di negara-negara yang benar-benar memungut biaya untuk pendidikan, biaya pendidikan melonjak tinggi.
Meski biaya kuliah semakin mahal, memiliki gelar sarjana S-1 atau yang setara tetap berharga. Pada tahun 2019, Abel dan Deitz membuat perhitungan kasar tentang pengembalian keuangan tahunan atas seluruh uang yang diinvestasikan oleh warga AS untuk mendapatkan gelar sarjana S-1 atau yang setara. Mereka menyimpulkan rata-rata ”pengembalian uang” untuk gelar sarjana adalah sekitar 14 persen. Itu sudah turun dari sebelumnya 16 persen pada awal tahun 2000-an.
Angka ”pengembalian uang” tersebut jauh di atas 8-9 persen yang diperoleh kembali oleh lulusan AS pada tahun 1970-an sebelum gaji lulusan dan biaya sekolah melonjak. Perhitungan ini tidak hanya mencakup biaya, tetapi juga uang yang diharapkan diperoleh individu jika mereka bekerja penuh waktu.
Menurut badan penelitian, Institut untuk Studi Fiskal (IFS), di Inggris, sebanyak 25 persen lulusan laki-laki dan 15 persen perempuan yang bergelar sarjana akan membawa pulang lebih sedikit uang selama karier mereka dibandingkan teman-teman mereka yang tidak memiliki gelar sarjana. AS tidak memiliki data yang komprehensif, tetapi sudah mulai menerbitkan data siswa pada ribuan institusi yang tidak berhasil mendapatkan penghasilan lebih besar daripada rata-rata lulusan SMP.
Baca juga : Lulusan Perguruan Tinggi Mulai Diserap Pasar
Para peneliti di Georgetown University di Washington DC, AS, menyebutkan bahwa enam tahun setelah kuliah, 27 persen mahasiswa yang kuliah selama empat tahun tidak berhasil mendapatkan penghasilan lebih besar daripada rata-rata lulusan SMP. Ini juga terjadi pada 30 persen mahasiswa lulusan institusi pendidikan 2-4 tahun.
Putus kuliah jelas akan lebih rugi lagi. Kuliah lebih lama dari yang seharusnya atau tidak lulus-lulus juga merugikan. Kurang dari 40 persen orang yang belajar untuk mendapatkan gelar sarjana bisa menyelesaikan masa kuliah mereka sesuai waktu yang ditetapkan.
Jurusan-jurusan laku
Memilih jurusan atau bidang keilmuan dan keterampilan yang tepat juga sangat penting untuk meningkatkan penghasilan. Profesi-profesi yang dianggap tidak akan menguntungkan di masa depan di Inggris (karena gajinya tidak akan besar) adalah seni kreatif, kepedulian sosial, dan pertanian. Sedangkan bidang-bidang keilmuan, seperti teknik, ilmu komputer, dan bisnis, akan mendatangkan penghasilan yang terbaik di AS. Adapun musik dan seni visual juga dianggap tidak akan menguntungkan.
Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa apa yang kita pelajari umumnya lebih penting daripada di mana kita kuliah. Meski demikian, rata-rata orang yang mendaftar di PTN di AS mendapatkan pengembalian yang lebih baik selama hidup mereka dibandingkan mahasiswa yang kuliah di PTS yang lebih bergengsi sekalipun. Salah satu alasannya adalah biaya tinggi kuliah di PTS.
Memilih jurusan atau bidang keilmuan dan keterampilan yang tepat juga sangat penting untuk meningkatkan penghasilan.
Jack Britton dari IFS mengatakan, banyak anak muda mengambil bidang studi yang tampaknya paling mudah hanya untuk bisa kuliah. Bahkan, itu termasuk bukan bidang-bidang studi yang biasanya bisa menghasilkan penghasilan tinggi. Bagi mereka ini, yang penting bisa dapat gelar sarjana saja.
Orangtua yang selama ini memimpikan anaknya masuk ke Oxford University atau Cambridge University atau kampus-kampus tersohor lainnya harus memerhatikan hal ini. Di Inggris, keuntungan memiliki gelar umumnya lebih tinggi bagi mahasiswa Asia Selatan ketimbang orang kulit putih karena para mahasiswa Asia Selatan cenderung mempelajari bidang studi bisnis.
Baca juga : Pengangguran Masih Didominasi Lulusan Pendidikan Tinggi
Meski demikian, analisis Britton tak sesuai dengan fakta di AS di mana jumlah gelar yang diberikan setiap tahun dalam bidang studi ”relatif mudah”, seperti bahasa Inggris dan sejarah, justru turun hingga sepertiga antara tahun 2011 dan 2021. Sementara jumlah gelar dalam ilmu komputer meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu yang sama.
Karena kecenderungan tersebut, banyak institusi pendidikan kemudian menghilangkan ilmu-ilmu humaniora. Universitas Marymount di Virginia, AS, misalnya, menghapus sembilan mata kuliah, antara lain, yaitu Bahasa Inggris, Sejarah, Filsafat, dan Teologi.
Pemerintah Australia masih menganggap ilmu-ilmu sosial dan humaniora itu penting. Mereka menggandakan biaya kuliah ilmu sosial, ilmu politik, dan komunikasi. Pada saat yang sama, Australia mengurangi separuh biaya untuk keperawatan dan pendidikan pengajaran.
Utamakan keterampilan
Pihak pengusaha juga beradaptasi dengan tren ”gelar tak lagi penting” ini. Menurut analisis Joseph Fuller dari Harvard Business School, perusahaan belakangan mulai cenderung tak lagi menuntut pelamar kerja memiliki gelar sarjana. Pasar tenaga kerja yang ketat dan kebutuhan akan pekerja yang lebih beragam menjadi sebagian penyebabnya.
Beberapa tahun lalu, sekitar 80 persen dari pekerjaan yang diiklankan oleh perusahaan teknologi IBM masih mensyaratkan gelar sarjana. Tetapi, sekarang paling tersisa 40 persen. ”Gelar sarjana bukan satu-satunya indikator keterampilan yang mungkin dimiliki seseorang,” kata Kelli Jordan, salah satu Wakil presiden IBM.
Sue Duke, Wakil Presiden Kebijakan Publik Global dan Ekonomi di LinkedIn, kepada majalah Forbes, 2 Mei 2023, juga mengatakan bahwa dunia terus berubah dan semakin banyak perusahaan mengadaptasi strategi pencarian bakat mereka untuk lebih melihat pelamar kerja dari perspektif yang mengutamakan keterampilan. Pada tahun lalu, lebih dari 45 persen perekrut kerja di LinkedIn secara eksplisit mensyaratkan keterampilan. Ini naik 12 persen dari tahun lalu.
Baca juga : Peluang Baru Pencari Kerja di Tengah Dunia yang Berubah
Saat ini, kira-kira satu dari lima lowongan pekerjaan (19 persen) di AS tidak lagi membutuhkan gelar. Ini naik dari 15 persen pada 2021. ”Untuk mendemokratisasi akses ke pekerjaan, pemerintah dan bisnis bisa mulai dengan menghapus persyaratan gelar dan mendorong perekrutan yang mengutamakan keterampilan,” ujar Duke.
Tetap penting
Dengan persoalan yang ada, bagi banyak pemerintah, pendidikan tinggi tetap dianggap penting. Agar anak muda tetap mau kuliah, Pemerintah Australia menawarkan ketentuan pembayaran utang pendidikan siswa yang mudah. Pemerintah Inggris juga memberikan informasi jumlah uang tunai maksimum yang bisa dipinjam siswa dari negara bagian untuk kuliah. Dengan mengetahui jumlah total uang pinjaman untuk kuliah, para lulusan perguruan tinggi bisa hidup lebih hemat agar bisa mengangsur pinjaman kuliah mereka.
Presiden AS Joe Biden berharap Mahkamah Agung akan segera menyetujui rencana untuk menghapus sebagian besar pinjaman mahasiswa AS. Biden juga menginginkan sistem pelunasan yang lebih lunak. Ia juga menjanjikan daftar resmi bidang-bidang studi yang ”bernilai finansial rendah”.
Baca juga : Mahalnya Biaya Kuliah di AS, Penghapusan Utang Kuliah Pun Tak Cukup
Bagi banyak orang, isu keuntungan finansial dari pendidikan tinggi ini krusial. Mahasiswa lulusan bidang studi terkait pelayanan publik biasanya tidak bisa mendapatkan penghasilan sebanyak mereka yang bekerja di Wall Street.
Banyak lulusan perguruan tinggi juga pada akhirnya tidak bekerja sesuai bidang studi yang dipelajari. Bagi mereka, meningkatkan daya penghasilan adalah yang terpenting, apa pun caranya. Pengembalian biaya pendidikan yang baik sangat penting terutama bagi mahasiswa dari keluarga miskin—khususnya di AS—yang beban keuangannya paling tinggi.
Meski demikian, pemerintah dan swasta di berbagai negara perlu membuka lebih banyak lapangan pekerjaan untuk menampung lulusan pendidikan tinggi dengan mendorong perekonomian pasca-pandemi Covid-19. Dengan lapangan kerja yang luas, para lulusan perguruan tinggi bisa segera bekerja dan dapat melunasi utang pendidikannya.
Hal itu juga berlaku di berbagai negara, termasuk di China yang saat ini kebanjiran 11,6 juta lulusan baru perguruan tinggi dan akan masuk ke pasar kerja tahun ini. Dengan lapangan kerja yang memadai, mereka tidak perlu menatap masa depan yang kosong.