Junta Kurangi Masa Hukuman Aung San Suu Kyi
Junta militer Myanmar mengurangi masa hukuman Aung San Suu Kyi dan U Win Myint masing-masing enam dan empat tahun. Tindakan ini dipandang sebagai kosmetik belaka.
NAYPIDAW, SELASA — Junta militer Myanmar mengurangi hukuman penjara pemimpin sipil Aung San Suu Kyi sebanyak enam tahun, dari total hukuman 33 tahun yang telah dijatuhkan kepadanya. Meski mendapatkan pengurangan masa hukuman, pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) tersebut masih menghadapi 14 kasus pidana lainnya.
Selain dikurangi masa hukumannya, peraih Nobel Perdamaian 1991 itu juga akan menjalani sisa tahanannya di rumah setelah dipindahkan dari penjara milik pemerintah. ”Enam tahun masa penjaranya dikurangi,” kata juru bicara junta, Kolonel Zaw Min Tun, Selasa (1/8/2023), kepada wartawan.
Dia mengatakan, junta mengampuni Suu Kyi dalam lima kasus. Ia tidak secara detail menjelaskan kasus mana yang dimaksud. Menurut sumber, seperti dilaporkan kantor berita Reuters, pengurangan masa hukuman Suu Kyi terkait dengan pelanggaran Undang-Undang Mitigasi Bencana Alam, khususnya aturan pembatasan kegiatan saat pandemi Covid-19 karena menggelar kampanye pemilu.
Selain Suu Kyi, mantan Presiden Myanmar U Win Myint yang digulingkan lewat kudeta militer mendapat pengurangan hukuman empat tahun. Dewan Administrasi Negara (SAC), sebutan bagi junta militer Myanmar pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing, juga memberikan amnesti terhadap lebih dari 7.000 tahanan, termasuk 125 warga negara asing yang sempat ditahan.
Baca juga: Penyelesaian Krisis Myanmar Buntu, Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?
Disebutkan pula, sejumlah tahanan yang telah dijatuhi hukuman mati mendapatkan pengurangan hukuman menjadi pidana penjara seumur hidup. Junta menyatakan, pemberian grasi dan amnesti ini tidak memiliki motif politik, tetapi untuk memperingati masa Vassa, jelang peringatan hari raya Kathina, yang biasanya jatuh pada Oktober.
Suu Kyi, putri perintis kemerdekaan Myanmar, ditangkap ketika Hlaing melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil, 1 Februari 2021. Bersama sejumlah pemimpin NLD, dia didakwa atas berbagai kasus, mulai dari impor dan kepemilikan walkie-talkie ilegal, pelanggaran protokol pandemi Covid-19, pelanggaran undang-undang kerahasiaan negara, penghasutan, kecurangan pemilu, hingga korupsi.
Belasan kasus korupsi mendominasi dakwaan terhadap Suu Kyi, termasuk menerima suap 550.000 dollar AS (sekitar Rp 8,31 miliar) dari Maung Weik, pengusaha properti. Pengakuan Maung itu disampaikan saat yang bersangkutan menjalani interogasi oleh junta tak lama setelah kudeta.
Maung mengaku menyuap para menteri di pemerintahan untuk melancarkan bisnisnya. Dalam rekaman video pengakuan yang disiarkan melalui stasiun televisi pemerintah, dia mengatakan, suap itu mencakup 100.000 dollar AS yang diberikan kepada Suu Kyi tahun 2018 untuk yayasan amal serta 450.000 dollar AS yang diserahkan tahun 2019 dan 2020 untuk tujuan yang tidak diperinci (Kompas.id, 12 Oktober 2022).
Baca juga: Isu Myanmar Belah ASEAN
Sejak ditahan pada malam kudeta berlangsung, Suu Kyi hampir tidak pernah bisa ditemui oleh siapa pun. Sosok Suu Kyi hanya bisa dilihat dari sejumlah foto yang beredar pada saat dirinya dan Win Myint menjalani persidangan.
Ada kabar bahwa Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai bertemu dengan Suu Kyi setelah mendapat izin dari junta. Jika klaim itu benar, Don adalah pejabat asing pertama yang diberikan akses untuk bertemu sejak Suu Kyi ditahan. Don juga mengklaim Suu Kyi dalam keadaan sehat dan mendukung dialog untuk membantu menyelesaikan krisis negaranya. Akan tetapi, tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut.
Salah satu sumber diplomatik menyebut, pengurangan masa hukuman itu sebagai langkah kosmetik semata. ”Ini adalah sinyal kepada masyarakat internasional-tanpa melakukan sesuatu yang substantif,” kata sumber yang menolak disebutkan namanya itu.
Penjabat Presiden Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) Duwa Lashi La, dikutip dari akun media sosialnya, menyatakan, junta militer harus membebaskan Suu Kyi dan WIn Myint serta seluruh tahanan politik sesegera mungkin dan tanpa syarat. ”Junta harus bertanggung jawab atas kesehatan mereka,” katanya.
Pengurangan masa tahanan Suu Kyi dan kepindahannya dari penjara milik pemerintah ke tahanan rumah disebut-sebut karena masalah kesehatan. Akan tetapi, juru bicara junta tidak menjelaskan secara lebih rinci soal alasan pemindahan tersebut.
Baca juga: Myanmar Stagnan, Jokowi Ajak ASEAN Rumuskan Langkah Baru
David Mathieson, analis independen di Myanmar, menilai pengurangan masa tahanan adalah taktik untuk memberi tahu dunia bahwa mungkin ada semacam resolusi atas situasi politik dan keamanan di negara itu. Padahal, katanya, sebenarnya hal itu tidak ada. ”Semua tuduhan terhadap Suu Kyi tidak masuk akal. Mengurangi masa tahanan hanya enam tahun bukanlah belas kasihan,” katanya.
Wakil Direktur Human Rights Watch untuk Asia Phil Robertson menyebut, tindakan junta mengurangi masa tahanan Suu Kyi dan Win Myint tidak lain untuk menciptakan kesan adanya keinginan mediasi dan dialog. Seperti halnya Mathieson, Robertson menilai hal itu sama sekali tidak ada dalam kamus junta.
Kyaw Zaw, juru bicara NUG, mengatakan, tindakan junta hanyalah tipuan politik. ”Tujuannya untuk menghilangkan tekanan,” kata Zaw.
Perpanjangan darurat militer
Sehari sebelumnya, junta mengumumkan perpanjangan masa darurat militer hingga enam bulan ke depan. Menurut laporan televisi pemerintah, perpanjangan masa darurat militer ini sekaligus secara resmi menunda rencana pemilihan umum pada Agustus 2023.
Pengumuman itu disampaikan Hlaing seusai rapat dengan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (NDSC), Senin (31/7/2023). Hadir dalam rapat Penjabat Presiden SAC Myint Swe dan wakilnya, Henry Van Thio. Menurut kantor berita independen Myanmar, Mizzima, ini untuk pertama kalinya Henry hadir dalam pertemuan resmi junta.
”Dalam melaksanakan pemilu, agar pemilu yang bebas dan adil serta dapat memberikan suara tanpa rasa takut, tetap diperlukan pengaturan keamanan sehingga masa darurat perlu diperpanjang,” demikian pernyataan junta.
Baca juga : Pelapor Khusus PBB Desak Indonesia-ASEAN Ubah Pendekatan dalam Krisis Myanmar
Rencana penyelenggaraan pemilu oleh junta tidak disinggung dalam Konsensus Lima Poin yang dibicarakan para pemimpin ASEAN dan Hlaing di Jakarta pada April 2021. Konsensus itu meliputi penghentian kekerasan di Myanmar secepatnya, dialog para pemangku kepentingan terkait, penunjukan utusan khusus ASEAN untuk penyelesaian krisis Myanmar, bantuan kemanusiaan ASEAN, dan pertemuan utusan khusus ASEAN dengan semua pihak di Myanmar.
Dalam pertemuan dengan jurnalis di sela-sela Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) di Jakarta, pertengahan Juli lalu, Staf Khusus Menteri Luar Negeri Bidang Diplomasi Kawasan I Gede Ngurah Wijaya mengatakan, dalam dialog dengan perwakilan junta, tidak pernah ada pembicaraan mengenai pemilu. Meski demikian, dia mengakui SAC secara sepihak terus melakukan persiapan, termasuk verifikasi partai politik.
”(Sikap) kita di ASEAN jelas. Sebelum pemilu harus ada dialog inklusif. Bukan pemilu dulu baru dialog,” kata Ngurah yang sehari-hari bertugas di kantor Utusan Khusus Ketua ASEAN untuk Myanmar.
Pemerintah AS, salah satu mitra dialog ASEAN, menyatakan keprihatinan terhadap keputusan junta memperpanjang masa darurat militer. ”Amerika Serikat sangat prihatin dengan perpanjangan keadaan darurat rezim militer Burma, yang terjadi ketika rezim menjerumuskan negara itu lebih dalam ke kekerasan dan ketidakstabilan,” kata juru bicara Gedung Putih, Matthew Miller.
Baca juga: Bayang-bayang Perpecahan dan Ketertutupan ASEAN
Dikutip dari laman Myanmar Now, serangan pasukan militer Myanmar di sepanjang Sungai Chindwin di wilayah Sagaing mengakibatkan ribuan warga mengungsi dan mencari tempat yang lebih aman. Serangan terbaru militer berlangsung Senin (31/7/2023) pagi ketika tujuh kapal pengangkut barang, dikawal dua kapal milik militer Myanmar yang bersenjata lengkap, bergerak dari Pelabuhan Sit Pin di Monywa menuju ke utara.
”Kami berasumsi mereka akan pergi ke kota praja Homalin dan Mawlaik dengan perbekalan, senjata, dan amunisi. Pasukan darat menyerang Desa Say Thu, yang tepat berada di sisi sungai,” kata seorang penduduk.
Desa-desa lain yang terkena serangan baru-baru ini termasuk Than Po, Sithu, Pan Tein Pyin, dan Kyauk Hmaw, menurut pekerja bantuan setempat. Militer Myanmar sering menggunakan Sungai Chindwin untuk mengangkut perbekalan ke bagian-bagian terpencil di wilayah Sagaing utara. Rezim tersebut menghadapi perlawanan sengit dari kelompok sipil yang kini tergabung dalam Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), yang terafiliasi dengan NUG. (AFP/Reuters)