China dan Korea Selatan melarang impor makanan dari Jepang. Larangan itu imbas keputusan Jepang membuang limbah radioaktif ke laut. Akibat larangan itu, kedai makanan Jepang di China kesulitan bahan baku
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
Konsumsi makanan Jepang dengan bahan yang diimpor dari Jepang bisa menjadi masalah saat ini. Keputusan Jepang membuang air tercemar radioaktif dari Fukushima jadi penyebabnya. Orang-orang khawatir makanan impor dari Jepang tercemar limbah radioaktif.
Kekhawatiran paling serius ditunjukkan dua tetangga Jepang, China dan Korea Selatan. Dilaporkan kantor berita Yonhap pada Senin (31/7/2023), Ketua Partai Demokratik Korsel Lee Jae-myung menyurati pemerintah Jepang. Lewat surat itu, sekali lagi Lee menyatakan penolakan pada rencana Tokyo membuang 1,3 juta air tercemar limbah radioaktif ke laut. Jepang melakukan itu setelah diizinkan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
“Lautan yang akan menjadi tempat pembuangan adalah lautan bagi anak cucu orang-orang masa kini dan milik semua makhluk hidup di Bumi,” demikian isi surat itu.
Sejak inti reaktor PLTN Fukushima memanas akibat gempa 2011, Korsel melarang impor boga bahari dari 10 prefektur Jepang. Larangan berlaku bagi Fukushima dan sembilan prefektur di sekitarnya.
China juga memberlakukan larangan sejenis. Sementara dari prefektur yang tidak termasuk wilayah larangan, akan terus ada pemeriksaan ketat. Pemeriksaan terutama untuk produk perikanan. Beijing menyebut, kebijakan itu terpaksa dilakukan karena Jepang mengabaikan kekhawatiran negara lain atas rencana pembuangan limbah PLTN Fukushima.
Imbas pada kedai
Keputusan itu memberatkan kedai-kedai makanan Jepang di China dan menggunakan bahan baku impor dari Jepang. Sejumlah pengelola kedai makanan Jepang di China mengeluhkan pengurangan konsumen maupun bahan baku. “Saya cemas, tidak tahu bisa terus (berdagang) atau tidak,” kata Kazuyuki Tanioka, warga Jepang yang mengelola kedai di Beijing.
Jika tidak bisa mengimpor bahan baku dari Jepang, sulit bagi Tanioka mempertahankan kedainya. Di sisi lain, kini semakin sulit mendapatkan bahan baku untuk operasi kedainya. “Pasokan bahan baku adalah soal hidup atau mati bagi kami,” ujar pria asal Kumamoto, Jepang itu.
China pasar terbesar ekspor boga bahari Jepang. Beberapa saat setelah gempa 2011, China melarang impor boga bahari dari lima prefektur di Jepang. Kini, larangan berlaku untuk 10 prefektur.
Di pelabuhan, pemeriksaan komoditas pangan asal Jepang lebih ketat lagi. Akibatnya, perlu tambahan hingga sepekan bagi aneka produk boga bahari yang diimpor dari Jepang.
Warga Jepang yang juga membuka kedai di China, Kenji Kobayashi, mengaku amat khawatir dengan perkembangan sekarang. Jepang dan China menawarkan penjelasan berbeda soal rencana pembuangan air tercemar itu. Bagi wirausaha seperti Kobayasi, dampaknya amat serius.
Pedagang besar boga bahari di Jepang, Aomori Chuosuisan Co, menyebut bahwa kini praktis tidak ada ekspor ke China. “Kami tidak siap dengan dampak biayanya,” kata direktur perusahaan itu, Tamotsu Fukuoka.
Eksportir harus membayar tambahan biaya sewa peti kemas berpendingin karena pemeriksaan lebih lama di pelabuhan. Selain itu, harus ada biaya tambahan untuk penempatan peti kemas itu di pelabuhan. “Lebih baik kami menunda saja pengirimannya,” kata dia.
Risikonya bukan hanya soal biaya semata. Ada risiko barang harus dibawa kembali ke Jepang. Kebijakan itu telah diberlakukan di Korsel. “Jika ada sedikit saja indikasi cemaran radioaktif pada contoh barang yang diperiksa, maka akan diekspor ulang,” kata Wakil Pertama Kepala Kantor Koordinasi Kebijakan Pemerintah Korsel Park Ku-yeon.
Park mengatakan, warga tidak perlu khawatir dengan impor pangan dari Jepang. Seoul memastikan kebijakan pemeriksaan paling ketat diberlakukan untuk produk pangan Jepang. Pemeriksaan rutin sepanjang 2023 tidak menemukan jejak radioaktif pada produk pangan yang diimpor dari Jepang. (REUTERS)