Perang, Senjata, dan Pangan
Situasi di Ukraina menjadi bumerang bagi semua pihak. Di Eropa, BSGI membantu Ukraina, tapi menyakitkan bagi sebagian petani Eropa. Penghentian BSGI bak malaikat pencabut nyawa rakyat Afrika.
Sejak awal April, dua pekan berturut-turut, Valdis Dombrovskis bolak-balik berbicara dengan kolega-koleganya, menteri pertanian dan menteri perdagangan Polandia, Hungaria, SLovakia, Bulgaria dan Rumania. Melalui telekonferense dari ruang kerjanya di Brussels, Belgia, dia mencari cara memecahkan situasi pelik yang tengah dialami para petani, pemilik lahan di lima negara itu yang memprotes masuknya produk biji-bijian Ukraina ke negara mereka.
Ke lima negara anggota Uni Eropa itu secara tiba-tiba melarang masuknya impor produk biji-bijian dari Ukraina. Dombrovskis, anggota Komisi Eropa yang membidangi masalah perdagangan, harus mencari cara agar di satu sisi solidaritas UE terhadap Ukraina tetap berjalan. Di sisi lain, dia dan koleganya harus memastikan bahwa nasib para petani dan pemilik lahan di ke lima negara anggota UE itu juga tidak terpuruk akibat anjloknya harga.
Turunnya harga komoditas para petani ke lima negara, tidak terlepas dari banjirnya produk biji-bijian Ukraina. Tak hanya bersaing dalam hal jumlah, produk biji-bijian Ukraina juga mendapat dukungan keringanan tarif dari UE. Akibatnya, produk petani lokal, khususnya di Polandia, tak terserap pasar dengan baik karena kalah bersaing.
Baca juga: Pemimpin Afrika Tekan Putin Akhiri Perang Ukraina
Peringatan soal kemungkinan dampak banjirnya produk Ukraina, yang didukung oleh UE, telah disampaikan jauh hari oleh sejumlah petani Polandia. Para petani di Provinsi Pordkarcpackie, sebelah tenggara Polandia yang berbatasan dengan Ukraina, marah karena produk biji-bijian Ukraina masuk ke pasar domestik dan menyebabkan turunnya harga di kawasan termiskin negara itu.
Jan Bieniasz, Direktur Pelaksana Koperasi Petani SAN di Desa Laka, Juli 2022 lalu, dikutip dari laporan kantor berita Jerman Deutsche Welle, sejak invasi Rusia berlangsung, 80 persen produk biji-bijian Ukraina masuk melalui Polandia. “Banyak yang bocor ke pasar lokal dan membuat harga turun,” katanya.
Dia skeptis bahwa produk biji-bijian Ukraina pascapenandatanganan Inisiatif Biji-bijian Laut Hitam (Black Sea Grain Initiative) atau lebih dikenal sebagai Kesepakatan Laut Hitam, seluruhnya terangkut dengan kapal dari Laut Hitam. Dia meyakini hanya 10-20 persen produk biji-bijian Ukraina yang bisa diangkut oleh kapal barang dari berbagai pelabuhan di Laut Hitam. Sisanya, harus melalui darat dan sebagian terbesar adalah melalui Polandia.
Prediksi Bieniasz terbukti.
Setelah membuka perbatasannya untuk biji-bijian Ukraina, menurut laporan Reuters, Polandia mengimpor 2,08 juta ton jagung dan 579.315 ton gandum tahun lalu. Angka ini naik dari hanya 6.269 ton jagung dan 3.033 ton gandum pada tahun 2021.
Kondisi serupa terjadi di Rumania. Para petani mengeluhkan pabrik dan pengolah lokal tidak tertarik membeli gandum dan jagung mereka. Sementara, ribuan truk berisi biji-bijian Ukraina mengantre di gerbang mereka dan siap diolah.
Baca juga: Tanpa Konsesi Konkret, Rusia Tak Mau Kembali ke Kesepakatan Laut Hitam
Di Hungaria, kondisnya setali tiga uang. Hongaria mengimpor 1,7 uta ton jagung setelah invasi Rusia terjadsi. Angka ini naik lebih dari 50 kali lipat dibanding angka impor sebelum perang.
“Pedagang tidak mencari (jagung Hungaria) karena tidak yakin kualitasnya, dan produk Hungaria lebih mahal,” kata Andras Pasztor, seorang petani Hungaria.
Bieniasz mengatakan, setiap konsumen, khususnya perusahaan, bisa membeli produk Ukraina yang melalui perbatasan mereka dengan legal karena produk tersebut “didatangkan” oleh UE. Berbagai keuntungan yang diberikan oleh UE pada produk Ukraina itu, seperti kuota, bea masuk dan sejenisnya, membuat harganya lebih murah 20 persen dibanding produk petani Polandia. “Ini menciptakan perang harga. Pasar bebas sekarang bisa diartikan tidak ada lagi yang ingin membeli produk pertanian Polandia dari Podkarpackie dan Lubelskie,” kata Bieniasz.
Alia Cretu, Direktur Eksekutif Forum Petani Profesional Rumania, mengatakan, produk biji-bijian Ukraina seharusnya menyasar negara-negara yang membutuhkan. Tapi, yang terjadi sebaliknya. “Hal ini menyulitkan negara-negara, seperi Rumania, yang merupakan pengekspor serealia. Lebih dari setengah produk serealia kami adalah untuk ekspor,” kata Cretu, dikutip dari Al Jazeera.
Cretu, seperti halnya Bieniasz, khawatir terhadap dampak lanjutannya, yaitu ketidakmampuan petani untuk menyiapkan dana bagi musim tanam berikut. “Jika pedagang lokal membeli sereal ini dari Ukraina, alih-alih membeli dari petani lokal, seperti yang sudah terjadi sekarang, petani kami akan menghadapi kebangkrutan karena kami tidak dapat bersaing dengan harga sereal Ukraina,” katanya.
Bagi para petani di negara-negara garis depan UE, yang berbatasan dengan Ukraina, kondisi ini mengkhawatirkan. Apalagi, menurut catatan The Economist, masih ada 8-10 juta ton produk biji-bijian atau serealia Ukraina yang belum terkirim. Yang jauh lebih besar adalah panen mereka di masa depan.
Instabilitas Eropa
Sejak Kesepakatan Laut Hitam ditandatangani pada Juli 2022, menurut catatan Pusat Koordinasi Bersama (Joint Coordination Center), total 32,8 juta ton produk biji-bijian telah dikirim dari Ukraina. Data memperlihatkan, sejumlah negara maju dan berpenghasilan tinggi, menjadi konsumen produk biji-bijian Ukraina, termasuk anggota UE. Diantaranya adalah Spanyol, Italia, Jerman, Belanda, dan Perancis. Di Asia, China menjadi konsumen terbesar.
Baca juga: Gandum Ukraina Cegah Kelaparan Dunia selama 60 Hari
Turki, yang merupakan anggota NATO tapi belum menjadi anggota UE, juga termasuk negara pengimpor produk biji-bijian Ukraina. Jika melihat data, Turki menjadi pengimpor ke tiga terbesar setelah China dan Spanyol.
Masuknya produk serealia Ukraina ke Eropa membantu mengurangi tekanan terhadap perekonomian kawasan tersebut. Mengutip data laporan Bank Investasi Eropa, angka inflasi kawasan Eropa mengalami kenaikan tajam sejak Februari 2022. Sempat berada di kisaran 3,9 persen pada Februari, angka itu terus terkoreksi menjadi 6,8 persen pada April, 9,1 persen pada Agustus dan 10,7 persen pada November 2022. Gonjang-ganjing rencana keluarnya Rusia dari BSGI telah membuat harga bahan makanan naik. Bersama dengan harga energi, makanan menjadi faktor penyumbang tingginya inflasi Eropa.
Mengutip data Badan Pangan Dunia (FAO), harga indeks bahan makanan mengalami penurunan signifikan, hingga 11,6 persen dari sebelumnya mencapai puncak pada Maret 2022, yang mencapai lebih dari 30 persen. Catatan kantor statistik Uni Eropa, Eurostat, angka inflasi pada Januari menurun menjadi 8,5 persen, menyusul turunnya angka inflasi di sejumlah negara Eropa.
Akan tetapi, sejak awal, Rusia menyatakan, tidak sepenuhnya sepakat dengan BSGI atau Kesepakatan Laut Hitam tersebut. Dikutip dari kantor berita Rusia TASS dan RIA Duta Besar Rusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa Vasily Nebenzya, pada Mei tahun lalu, menuding bahwa upaya negara-negara Barat untuk mengeluarkan serealia Ukraina bukan untuk membantu negara-negara miskin yang terancam kelaparan. Upaya mengirim produk serealia Ukraina adalah bagian dari upaya Barat, dalam hal ini UE, untuk membiayai pembelian senjata militer Ukraina selama perang.
"Sejauh yang kami pahami, Ukraina membayar senjata yang dipasok oleh Barat," kata Nebenzya.
Hal itu kembali ditekankan Rusia dalam sesi pertemuan di Dewan Keamanan PBB, 29 Juni 2023. Tidak hanya soal pangan untuk membayar persenjataan, Rusia juga mengingatka bahwa pasokan persenjataan dari negara-negara Barat yang terus menerus memiliki risiko besar untuk disalahgunakan.
UE membantah keras soal ini. Mereka menilai, tudingan ini sebagai cara Rusia untuk memutarbalikkan fakta bahwa seharusnya Kremlin-lah yang disebut menggunakan pangan sebagai senjata (food for war). SItus EU vs Disinfo, laman resmi EU yang dikhususkan untuk menangkan disinformasi dan misinformasi dari Rusia selama invasi berlangsung menyebut penyebarluasan disinformasi oleh Kremlin sebagai bagian dari upaya mereka untuk menjadikan Ukraina sebagai kambing hitam
Baca juga: Jelang Berakhirnya Perjanjian Gandum Ukraina-Rusia, PBB Serukan Perpanjangan
Tak hanya menyoal soal pangan untuk senjata, Rusia juga menyebut bahwa dari total produk serealia Ukraina yang diekspor keluar, tidak banyak yang dikirim ke negara-negara yang membutuhkan. Salah satu buktinya adalah situasi yang terjadi di Polandia, Hungaria, Rumania, Slovakia dan Bulgaria. Dan, ini yang dikhawatirkan akan menyebabkan pergolakan di dalam negeri, terutama Polandia dan SLovakia, yang sebentar lagi akan melaksanakan pemilu.
Dikutip dari jurnal SIPRI nomor 11, November 2020, tim penulis Jiayi Zhou, Lisa Maria Dellmuth, Kevin M Adams, Tina-Simone Neset, dan Nina von Uexkull menyebutkan, kerawanan pangan yang dimulai dengan konflik bersenjata bisa berujung pada kerusuhan sosial, hingga akhirnya memiliki dampak geopolitik. Brasil, Meksiko hingga Timur Tengah dan Afrika Utara pernah merasakannya. Musim SEmi Arab 2010-2011 menjadi bukti.
Keputusan Warsawa untuk memblokir masuknya serealia Ukraina tidak terlepas dari jadwal pemilihan parlemen, yang akan berlangsung antara akhir Oktober hingga pertengahan November mendatang. Partai penguasa, yaitu Partai Keadilan dan Hukum (Pis) yang saat ini memegang kursi mayoritas di parlemen, tidak ingin mengecewakan basis pendukungnya, yang mayoritas adalah petani dan peternak di kawasan pedesaan, dengan kebijakan yang merugikan mereka.
Ben Stanley, profesor di Universitas Ilmu Sosial dan Kemanusiaan Warsawa, mengatakan, kebijakan yang merugikan para petani dan peternak Polandia akan menimbulkan bahaya elektoral bagi PiS. “PiS harus mewaspadai para petani yang marah karena tidak hanya terorganisir tetapi juga karena mereka mampu melakukan protes yang mengejutkan — seperti membuang kotoran atau berparade dengan kepala babi yang terpenggal — yang dapat dengan mudah menimbulkan kesan bahwa PiS telah kehilangan kendali atas pedesaan,” kata Stanley.
Slamowir Sierakowski, penelitia senior pada Pusat Penelitian Geopolitik, Geoekonomi dan Teknologi Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman, dikutip dari laman DGAP mengatakan, partai berkuasa akan memilih kebijakan yang bisa menenangkan para calon pemilih, meski mengabaikan anggaran, angka inflasi bahkan hubungan mereka dengan Ukraina dan UE, jelang pemilihan. “Apakah akan menyelamatkan PiS? Kita akan lihat musim gugur ini,” kata Sierakowski.
Nestapa Rakyat Afrika
Terhentinya Kesepakatan atau Prakarsa Laut Hitam (BSGI) pertengahan bulan ini, memunculkan masalah baru yang lebih luas. BSGI yang dimediasi oleh Turki dan PBB intinya adalah menyediakan koridor bagi pengangkutan produk serealia Ukraina ke pasar internasinal. Di saat yang sama, BSGI memberikan jaminan bagi Rusia untuk mengekspor produk pertanian dan pupuknya ke pasar.
Akan tetapi, sanksi unilateral Barat, dalam hal ini AS dan UE, membuat Rusia kesulitan untuk mendapatkan haknya berdasar isi kesepakatan itu.
Dikutip dari laman Kementerian Luar Negeri Rusia, Kremlin telah beberapa kali mengingatkan hal ini dan mendesak agar para pihak menjalankan isi kesepakatan itu. Kremlin, dalam keterangannya, menyebut, satu paragraf dalam kesepakatan itu berisi tentang normalisasi ekspor produk pertanian dan pupuk mereka. Dalam pandangan Kremlin, ketika pengiriman serealia Ukraina ke pasar internasional berjalan lancar, tidak ada halangan bagi Rusia untuk melepas produk mereka ke pasar internasional. “Paket yang diusulkan oleh Antonio Guterres (Sekjen PBB) dirancang untuk dilaksanakan bersamaan,” tulis Kemlu Rusia.
Salah satu upaya pengiriman pupuk sebanyak 262 ribu ton ke beberapa negara termiskin, menurut Rusia, terhambat di Latvia, Estonia, Belgia dan Belanda. Mereka mencontohkan pupuk untuk para petani Malawi sebanyak 20000 ton, jelang musim tanam, yang telah dikirim sejak September 2022, baru tiba di Mozambik pada akhir Desember. “Kami hanya dapat menebak berapa lama waktu yagn diperluka untuk membuka blokade pengiriman 242 ribu ton pupuk sisanya?,” kata Kemlu Rusia dalam pernyatannya.
Perjanjian ini telah beberapa kali diperpanjang. Namun, pada 17 Juli 2023, Rusia menolak melanjutkan perjanjian itu. Alasan Kremlin, mengutip laporan kantor berita Rusia, TASS, pihak-pihak lain tidak memenuhi kewajibannya.
Alexandra Prokopenko, mantan kolumnis ekonomi di Vodomosti, media ekonomi di Moskwa, yang saat ini tengah menjadi peneliti tamu di lembaga pemikir Carnegie Endowment for International Peace mengatakan, meski secara resmi keberatan Rusia adalah karena komposisi serealia Ukraina yang sampai ke negara miskin, jauh dari harapan, Kremlin juga berharap kewajiban AS dan sekutu baratnya, bersikap fair setelah kesepakatan itu ditandangani.
Data JCC yang berkantor di Istanbul menyebut, dari total 32,8 juta ton serealia Ukraina, yang dikirimkan ke negara-negara miskin dan berada dalam kondisi darurat pangan hanya sebesar 725000 ton. Afghanistan, Ethiopia, Kenya, Somalia, Sudan dan Yaman adalah negara-negara yang menjadi prioritas FAO dan PRogra Pangan Dunia (WFP) untuk mendapatkan pasokan serealia dari BSGI.
Terhentinya kesepakatan Laut Hitam membuat puluhan juta warga di Afrika terancam kelaparan. Michael Dunford, Direktur WFP Wilayah Afrika Timur, dikutip dari kantor berita DW, menyebut 80 juta warga di Afrika, terancam rawan pangan dan bahkan kelaparan. Wilayah timur Afrika, menurut Dunford, menjadi wilayah yang paling rawan terdampak.
Presiden Rusia Vladimir Putin, saat berbicara dalam KTT BRICS secara virtual, Kamis, berjanji untuk mengirimkan serealia mereka ke Afrika. "Dalam beberapa bulan mendatang kami akan dapat memastikan pasokan gratis 25.000 hingga 50.000 ton biji-bijian ke Burkina Faso, Zimbabwe, Mali, Somalia, Republik Afrika Tengah, dan Eritrea," kata Putin.
Jumlah ini jauh lebih dari cukup. Dengan puluhan juta warga yang harus diberi makan, tidak hanya untuk mencegah kelaparan tapi juga kematian, tidak ada jalan lain selain menambah jumlah pasokan bahan pangan ke Afrika. Jika tidak, menurut juru bicara WFP Brenda Kariuki, organisasi itu berada pada posisi untuk memprioritaskan warga yang benar-benar paling membutuhkan.
Perang di Ukraina kini telah menyandera semua dan bahkan menjadi penentu hidup dan matinya rakyat, termasuk anak-anak di Afrika. (AP/AFP/Reuters)