Federal Reserve memproyeksikan, inflasi bisa diredam tanpa harus sangat membatasi laju pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, kenaikan suku bunga acuan tetap diperlukan. Indonesia tidak terlalu terpengaruh.
WASHINGTON DC, KAMIS - Bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve memastikan masih ada peluang suku bunga acuan naik lagi. Padahal, suku bunga acuan sekarang sudah mencapai aras tertinggi dalam 22 tahun terakhir. Inflasi yang masih di atas target Federal Reserve jadi alasan peluang kenaikan masih terbuka. Apalagi, peluang resesi semakin mengecil.
Ketua Dewan Gubernur Federal Reserve Jerome Powell mengumumkan, inflasi berulang kali terbukti lebih tinggi dari yang diproyeksikan. “Kita harus siap mengikuti data dan mempertimbang sejauh ini, kita bisa sedikit lebih sabar sembari tetap teguh menanti semua ini selesai,” kata dia, Rabu (26/7/2023) siang waktu Washington DC atau Kamis dini hari WIB.
Pernyataan itu disampaikan kala ia mengumumkan kenaikan suku bunga acuan (SBA) Federal Reserve. Dari 5,25 persen, kini SBA AS menyentuh 5,5 persen. Seluruh anggota Dewan Gubernur Federal Reserve sepakat pada kenaikan itu. Federal Reserve mulai menaikkan SBA sejak Maret 2022 untuk menanggapi lonjakan inflasi. Dari 0,25 persen, SBA menyentuh 5,25 persen pada Mei 2023. Lewat 10 kali penyesuaian, Fed menaikkan SBA total 5,25 persen pada periode Maret 2022-Juli 2023.
Pada Juni 2023, Fed menaikkan SBA. Meski demikian, kala itu Dewan Gubernur Federal Reserve mengindikasikan kenaikan SBA akan dilakukan setidaknya dua kali lagi pada 2023. Satu dari kenaikan itu sudah diambil pada akhir Juli 2023. Sementara satu lagi berpeluang dilakukan pada September 2023.
“Kami menanti permintaan dan pasokan dalam perekonomian lebih berimbang, termasuk khususnya di pasar tenaga kerja. Kami akan bertanya pada diri kami, apakah seluruh data, yang diperiksa, menunjukkan suku bunga perlu dinaikkan lagi?” kata Powell.
Ekonom JP Morgan, Michael Ferolli, menyebut pernyataan Powell menenangkan. Powell cenderung optimistis pada perkembangan ke depan. “Pesannya sangat jelas : semua tergantung data,” kata dia.
Powell menekankan, inflasi inti masih tinggi. Indeks Harga Belanja Personal (PCE) Inti Mei 2023 naik 3,8 persen dibandingkan Mei 2022. PCE inti April 2023 masih 4,8 persen dibandingkan April 2022. Ada pun inflasi inti turun dari 4,7 persen ke 4,6 persen di periode yang sama.
Padahal, Federal Reserve menargetkan inflasi maksimum dua persen. Karena itu, kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi tetap diperlukan. “Usaha mengembalikan inflasi ke dua persen masih masih panjang,” kata dia.
Powell mengatakan, tim Federal Reserve tidak lagi memproyeksikan AS akan dilanda resesi. Meski pertumbuhan melambat dan lebih rendah dari proyeksi, perekonomian AS dinilai lebih liat dan tahan. Tim Fed memproyeksikan, inflasi bisa diredam tanpa harus sangat membatasi laju pertumbuhan ekonomi.
Pada November 2022, Fed memproyeksikan perekonomian AS akan memasuki periode resesi pada 2023. Kebangkrutan sejumlah bank di AS dan Eropa menguatkan kekhawatiran pada resesi. Kondisi itu memaksa para pengambil keputusan sektor fiskal dan moneter AS, Eropa, dan berbagai negara lain berkoordinasi ketat. Di AS, hasil koordinasi itu antara lain proyeksi lebih optimistis atas peluang inflasi.
Indonesia
Keputusan Bank Sentral AS menaikkan kembali tingkat suku bunga acuan diyakini tidak akan berdampak signifikan kepada Indonesia. Kenaikan yang sudah diprediksi dan kondisi perekonomian dalam negeri yang stabil membuat risiko arus modal keluar (capital outflow) serta efek pelemahan nilai tukar rupiah bisa ditekan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Kamis (27/7/2023), berpendapat, kenaikan suku bunga The Fed kali ini hanya akan memicu gejolak sesaat di pasar keuangan. ”Dampaknya minimal. Memang ada kemungkinan pelemahan nilai tukar rupiah, tetapi hanya short term. Masih di batas wajar. Ada gejolak sesaat, lalu normal kembali,” kata Faisal.
Menurut dia, ada beberapa faktor yang membuat langkah The Fed tak banyak memberatkan perekonomian dalam negeri. Pertama, kenaikan itu sesuai ekspektasi pasar. Kedua, kondisi perekonomian dalam negeri relatif kuat.
Berhubung sudah bisa diprediksi, kenaikan diyakini tidak membuat investor beramai-ramai menarik modal keluar dari Indonesia. Potensi arus modal keluar pun bisa ditekan dan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terjaga.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, fundamental ekonomi RI yang positif membuat gejolak eksternal seperti langkah The Fed bisa diredam.
Kenaikan SBA adalah salah satu cara bank sentral mengendalikan inflasi. Kenaikan harga atau inflasi terjadi saat konsumsi meningkat. Sebaliknya, saat konsumsi diredam, inflasi melambat atau bahkan turun.
Konsumsi berpeluang turun saat SBA naik. Sebab, biaya dana akan naik sehingga perusahaan menunda menambah kredit untuk menambah kegiatan usaha. Bagi rumah tangga, kenaikan SBA akan membuat kredit kepemilikan rumah atau kendaraan juga lebih mahal. Bila belanja perusahaan dan rumah tangga berkurang, maka kenaikan harga bisa diredam pula.
Di sisi lain, para pembuat kebijakan tidak mau belanja berkurang drastis. Sebab, Salah satu unsur pertumbuhan adalah konsumsi. Jika konsumsi terlalu terpangkas, pertumbuhan ekonomi bisa ikut melambat pula. Jika pertumbuhan terus menurun, perekonomian dalam kondisi resesi. (AFP/REUTERS)