Kenaikan Suku Bunga The Fed Tidak Berdampak Signifikan
Bank sentral AS, The Federal Reserve, menaikkan suku bunga 0,25 persen menjadi 5-5,25 persen. Dengan kondisi perekonomian dalam negeri yang positif, kenaikan ini diyakini tidak akan berpengaruh besar ke Indonesia.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA, SIMON P SARAGIH S
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve atau The Fed, sebesar 0,25 persen menjadi 5-5,25 persen, Rabu (3/5/2023) waktu setempat, diyakini tidak berdampak signifikan terhadap stabilitas nilai tukar. Sebab, kenaikan tersebut sudah sesuai ekspektasi pasar.
”Karena sesuai ekspektasi, para pemilik modal pun tidak lantas serta-merta menarik modalnya dari Indonesia atau capital outflow sehingga tidak memicu gejolak nilai tukar rupiah,” ujar Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual saat dihubungi pada Kamis (4/5/2023).
David menjelaskan, berbagai indikator perekonomian Indonesia yang dalam kondisi positif juga memberikan keyakinan para pemilik modal bahwa risiko investasi di Indonesia cenderung menurun.
Alih-alih melemah setelah The Fed mengumumkan kenaikan suku bunga, nilai tukar rupiah justru menguat terhadap dollar AS. Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), pada perdagangan Kamis, kurs rupiah ditutup di level Rp 14.632, menguat dibandingkan perdagangan Rabu yang sebesar Rp 14.706. Sejak awal tahun hingga Kamis (4/5/2023), nilai tukar rupiah telah menguat 6,15 persen.
Penguatan nilai tukar rupiah itu ditopang oleh derasnya arus modal masuk ke dalam negeri. Mengutip data Bank Indonesia (BI), sejak awal tahun hingga 27 April 2023, tercatat nonresiden melakukan beli neto Rp 60,73 triliun di pasar surat berharga negara (SBN) dan beli neto Rp 13,63 triliun di pasar saham.
Menurut David, merespons kenaikan suku bunga The Fed, BI tidak akan serta-merta ikut menaikkan suku bunga acuan. Sebab, tingkat inflasi Indonesia, yang menjadi indikator utama pengambilan keputusan perubahan suku bunga acuan oleh BI, dalam posisi melandai. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi umum per April 2023 tercatat 4,33 persen secara tahunan, menurun dibandingkan Maret 2023 yang sebesar 4,97 persen.
”Dengan posisi inflasi terkendali dan nilai tukar yang cenderung menguat, saya melihat BI belum memiliki kecenderungan untuk menaikkan suku bunga acuan dan tetap mempertahankan suku bunganya saat ini,” ujar David.
Hal senada juga dikemukakan oleh Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman. Ia memperkirakan, BI tidak akan ikut menaikkan suku bunga acuannya dari posisi saat ini yang sebesar 5,75 persen. Bahkan, ia memperkirakan suku bunga acuan BI saat ini akan tetap bertahan hingga akhir tahun.
Perkiraan ini, lanjut Faisal, ditopang dari data inflasi yang terus melandai dan mendekati rentang target inflasi BI tahun ini, yakni 2-4 persen.
Posisi tertinggi
Dalam siaran pers yang dilansir dari situs resmi The Fed, Rapat Komite Pasar Terbuka (FOMC) mengatakan, keputusan menaikkan suku bunga acuan bertujuan untuk mengembalikan inflasi ke target 2 persen.
Suku bunga The Fed di level 5,25 persen saat ini adalah yang tertinggi sejak Agustus 2007. Belum ada tanda-tanda penghentian kenaikan suku bunga ke depan karena inflasi masih jauh dari target 2 persen.
Gubernur The Fed Jerome Powell di Washington, Rabu waktu setempat, mengatakan, inflasi sudah menurun, tetapi sulit turun menuju target 2 persen. Dengan demikian, di depan tetap ada potensi kenaikan suku bunga. ”Penghentian kenaikan suku bunga di depan tidak kita nyatakan sekarang,” kata Powell.
Inflasi pada Maret 2023 di AS, berdasarkan indeks harga konsumen (consumer price index/CPI) yang diumumkan Departemen Tenaga Kerja AS, sebesar 5 persen. Angka ini turun dari 9,1 persen pada Juni 2022. The Fed lebih memilih ukuran inflasi berdasarkan indeks pengeluaran personel konsumen (personal consumption expenditures/PCE).
Inflasi berdasarkan PCE di AS pada Maret telah turun menjadi 4,2 persen. Akan tetapi, jika komponen bahan pangan dan energi tidak dimasukkan dan disebut inflasi inti, angka inflasi di AS pada Maret 2023 sebesar 4,6 persen. Dua ukuran inflasi itu, CPI dan PCE, sama-sama menunjukkan inflasi masih jauh dari target 2 persen. ”Sudah menurun, tetapi tidak cepat menuju target 2 persen,” kata Powell.