King memang prajurit badung. Tiba di Korsel pada Februari 2022, tentara Amerika Serikat itu berulang kali terlibat masalah. Baru-baru ini, ia kabur dari Korea Selatan ke Korea Utara.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Sudah tiga hari berlalu sejak Selasa (18/7/2023), nasib Prajurit Satu Travis King, belum juga diketahui. Kabar terakhir soal prajurit Amerika Serikat yang ditempatkan di Korea Selatan itu adalah King sengaja lari menuju wilayah Korea Utara.
Bukan hanya nasibnya, pemerintah dan militer AS pun belum paham mengapa King lari ke Korut. Keluarganya di AS juga tidak tahu apa alasan pemuda itu memilih lari ke Korut. ”Saya tidak paham Travis melakukan itu,” kata ibunya, Claudine Gates.
Tidak jelas bagaimana cara AS akan menangani King. AS tidak punya kedutaan di Pyongyang. Hubungan AS-Korut diwakilkan oleh Kedutaan Besar Swedia di Pyongyang. Komunikasi militer AS-Korut pun praktis tertutup.
Selain itu, hubungan AS-Korut nyaris selalu dalam tensi tinggi. Korut baru saja menembakkan rudal setelah kapal selam AS merapat ke Korsel. Kapal selam itu bisa menembakkan rudal dengan hulu ledak nuklir. Persoalan King ini menambah masalah AS yang tensinya makin tegang dengan Korut di Semenanjung Korea.
Pekan lalu, King mengirim pesan ke Gates. Kepada warga Negara Bagian Wisconsin itu, King menginformasikan rencana penarikannya dari Korsel. King memang tidak pulang dengan kondisi normal.
Alih-alih naik pesawat militer AS bersama rekan-rekan sekelompoknya, ia naik pesawat komersial dari Bandara Incheon, Korsel. Saat tiba di AS, ia direncanakan akan dibawa ke Fort Bliss, Texas, untuk ditahan.
King memang prajurit badung. Tiba di Korsel pada Februari 2022, ia berulang kali terlibat masalah. Pada September 2022, ia terlibat keributan. Oleh kepolisian Korsel, kasusnya dilimpahkan ke Polisi Militer AS. Ternyata, kasus itu ditutup tanpa ada kejelasan lebih lanjut.
Pada Oktober 2022, ia kembali berulah. Kali ini, ia memukuli orang di salah satu tempat hiburan malam. Ia juga merusak mobil polisi. ”Kasusnya sama dengan kasus lain yang melibatkan pemuda mabuk,” kata mantan pengacara King dalam kasus Oktober itu.
Tiba di Korsel pada Februari 2022, ia berulang kali terlibat masalah.
Pengacara yang tidak diungkap identitasnya itu menyebut King terlihat seperti halnya pemuda awal usia 20-an. Kadang mereka berulah dan dapat masalah.
Kepolisian Korsel memilih memproses kasus King dan tidak menyerahkannya ke PM AS. Belakangan, King dikenai hukuman kerja paksa selama 50 hari. Sebelum itu, ia ditahan selama proses persidangan.
Akibat masih menjalani masa tahanan di Korsel, ia tidak ikut pulang ke AS kala brigadenya selesai penugasan. Ia baru direncanakan pulang pada pekan ini. Dengan pengawalan prajurit lain, ia menuju Bandara Incheon. Sayangnya, pengawalan hanya bisa sampai pos pemeriksaan imigrasi.
King melewati pemeriksaan itu. Di dalam kompleks bandara, alih-alih menuju ruang tunggu keberangkatan, ia malah bergabung dengan kelompok pelancong asing yang menuju perbatasan Korsel-Korut. Otoritas Korsel masih mencari tahu cara King keluar bandara. Saat kelompok pelancong itu berada di Panmunjon, King kabur ke Korut.
”Semua terjadi begitu cepat. Kami hanya tahu, tiba-tiba ada keriuhan,” kata salah seorang peserta lawatan itu, Sarah Leslie.
Di dalam kompleks bandara, alih-alih menuju ruang tunggu keberangkatan, ia malah bergabung dengan kelompok pelancong asing yang menuju perbatasan Korsel-Korut.
Kunjungan ke DMZ salah satu paket wisata yang ditawarkan Korsel ke pelancong asing. Di sebagian area itu, ada yang tidak dibatasi pagar. King sedang berada di sana kala memutuskan lari ke Korut.
King mengikuti jejak sejumlah seniornya. Pada 1965, Sersan Charles Robert Jenkins lari dari Vietnam ke Korut. Selama di sana, ia mengajarkan bahasa Inggris kepada para taruna akademi militer Korut. Ia juga tampil dalam materi proganda Korut. Selain Jenkins dan King, ada banyak tentara AS sengaja lari ke Korut.
Korut memang menarik untuk sebagian warga AS. Banyak warga AS bertandang ke sana dengan beragam alasan. Sebagian bernasib merana seperti dialami antara lain oleh Roberk Park. Warga AS-Korsel itu masuk Korut dari China. Ia ke sana pada Desember 2009 sambil berteriak ”Yesus cinta Korea Utara”. Ulahnya berujung penahanan 43 hari oleh Korut.
Masa tahanan yang sama dialami Merrill Edward Newman. Dalam kunjungan pada 2013, Newman dituding melakukan tindakan permusuhan. Oleh karena itu, Pyongyang menahannya selama 43 hari.
Nasib lebih buruk dialami Otto Warmbier, mahasiswa University of Virginia. Ia ditangkap karena mencuri poster dari hotel di Pyongyang. Pengadilan Korut memvonisnya 15 tahun kerja paksa.
Hukumannya itu baru dijalani selama 17 bulan saat ia dibebaskan pada 2017 lalu dipulangkan ke AS. Tidak lama setelah pulang, ia meninggal karena kondisi kesehatan yang amat buruk. (AFP/REUTERS)