China Akan Dominan di Laut China Selatan, AS Kemungkinan Menyerah
Laut China Selatan, salah satu titik panas konflik di muka bumi, semula lautan bebas tanpa ada yang mendaulat sebelum tahun 1800-an. Kini, cengkeraman ”Negeri Tirai Bambu” di perairan itu sulit dilumpuhkan.
”Kami menolak tegas upaya mengaburkan putusan pengadilan internasional,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Filipina Theresa Lazaro dalam sebuah forum tentang Laut China Selatan. ”Setelah putusan final diluncurkan, hal itu tidak lagi dapat dikompromikan,” katanya, seperti diberitakan Reuters, 12 Juli 2023.
Ucapan Lazaro merujuk pada putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration/PCA) pada 12 Juli 2016 di Den Haag, Belanda. Isinya menyatakan, hak China atas seluruh wilayah Laut China Selatan tidak sah. Putusan PCA tak perlu diperdebatkan lagi, tegas Lazaro.
Putusan PCA tersebut dulu langsung disanggah China dan Taiwan. China bahkan terus melakukan militerisasi di Laut China Selatan. Lazaro menentang hal yang terjadi di Laut China Selatan.
Suara terbaru Filipina itu didukung AS. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, Selasa (11/7/2023), mendesak Beijing agar menyesuaikan tindakannya di Laut China Selatan sesuai putusan PCA. Ia juga menegaskan agar China berhenti mengganggu kapal-kapal non-China di Laut China Selatan.
Baca juga: Ekspansionisme China dan Matinya Diplomasi di Laut China Selatan
Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa Hayashi, Jumat (14/7/2023), di Jakarta, seusai pertemuan ke-56 para menlu ASEAN (AMM), juga bersuara. Ia menegaskan, agar hukum internasional diindahkan, termasuk di wilayah Laut China Timur. Ucapannya merujuk pada sengketa antara China dan Jepang atas Kepulauan Senkaku (Diaoyu).
Sejarah tak mendukung
AS dan sekutunya mengeroyok China beramai-ramai. Namun, seperti diberitakan Reuters, 12 Juli 2023, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbing, menyatakan, China tak menerima atau mengakui tuntutan Filipina. Ada beberapa faktor yang mungkin menjadi alasan China untuk menolak. Wang menyatakan putusan PCA melanggar hak negara (China) dan PCA telah bertindak di luar wewenangnya.
Tentu Filipina juga bisa dikatakan plin-plan. Pada era Presiden Rogrigo Duterte, Filipina ”bersahabat” dengan China. Kini, pada era Presiden Ferdinand Marcos Jr, posisi negara itu relatif berubah. Ada dugaan, efek dukungan AS sangat kuat di balik tuntutan terbaru Filipina itu.
Gregory Poling, peneliti dan Direktur Program Asia Tenggara dan Inisiatif Maritim Asia di Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington, 28 September 2022, menyatakan relasi AS-Filipina sejak era kolonialisme (1898) tetap berlangsung hingga sekarang. AS sebagai penjajah Filipina sejak dulu berkepentingan mencegah asing mendaulat wilayah terdekat Filipina. Relasi itu dipelihara lagi dengan menjanjikan bantuan jika ada serangan asing pada Filipina. China sangat anti dengan keterlibatan AS di wilayah dekat China.
Namun, kepentingan besar AS di Laut China Selatan sepanjang kehadirannya di Asia adalah mempertahankan kebebasan navigasi. AS tidak pernah mendaulat wilayah di Laut China Selatan, kecuali Scarborough Shoul, mewakili Filipina. Hal terpenting secara historis bagi AS adalah semua pihak tidak saling menembak.
China menjamin kebebasan navigasi di Laut China Selatan, tetapi navigasi bebas bukan berarti wilayah tanpa kepemilikan. Berbeda dengan AS, China bertindak lebih jauh dengan mendaulat kepemilikan, militerisasi dan secara hipotetis tidak akan melepaskannya.
Namun, masalahnya adalah China bukan pemilik sah secara historis. Ini didasarkan pada temuan Poling yang intensif mendalami sejarah tuntutan kepemilikan di wilayah Laut China Selatan dan menuangkannya dalam buku berjudul On Dangerous Ground: America’s Century in the South China Sea terbitan 29 Juli 2022.
Baca juga: Laut China Selatan Tak Otomatis Milik China
Menurut Poling, Dinasti Qing dengan jelas menyebutkan wilayah paling selatan China adalah Hainan. Adalah Vietnam yang pertama kali mendaulat kepemilikan atas beberapa wilayah di Kepulauan Paracel, yakni sekitar tahun 1816, tetapi langsung melupakannya.
Selebihnya wilayah Laut China Selatan adalah lautan bebas dan tidak ada yang saling mendaulat sebelum 1800-an. Wilayah yang didaulat semua negara di kawasan hanya 3 mil dari garis pantai, selebihnya wilayah bebas. Dengan kata lain, tidak ada pemilik Laut China Selatan dan diakui oleh para pakar China.
Warisan kolonial
Masalah muncul ketika negara-negara kolonial, seperti Inggris, Perancis, dan Jepang, mulai saling mendaulat. Namun, Inggris lebih membiarkan wilayah itu tanpa tuntutan kepemilikan. Pihak yang turut mendaulat adalah Jepang, sebagai penjajah Taiwan, dan Perancis sebagai penjajah Vietnam. Namun, hingga akhir Perang Dunia II tetap tidak ada pemilik resmi yang sah di Laut China Selatan.
”Ketika Jepang meneken Traktat San Francisco pada 8 September 1951, Jepang menyerahkan seluruh wilayah Laut China Selatan, tetapi tidak disebutkan akan diserahkan ke siapa,” kata Poling. Ini menunjukkan Laut China Selatan masih wilayah abu-abu.
Jika ditelisik ke belakang, kata Poling, jejak tuntutan China di Laut China Selatan muncul saat pebisnis Jepang, Nishizawa Yoshizi, menjejakkan kaki dan menguasai Kepulauan Pratas pada 1907. Pemerintahan Kanton memprotes pendudukan Pratas oleh Jepang. Tuntutan Kanton ini kemudian diakui Jepang.
Kemudian seorang laksamana Jepang beranjak ke daerah lebih selatan, ke wilayah Paracel, yang tidak pernah didaulat China, tetapi sudah duluan didaulat Perancis mewakili Vietnam. Persoalan di Paracels adalah lebih pada aksi ganggu-menganggu antara Jepang (mewakili Taiwan) dan Perancis (mewakili Vietnam) di wilayah serupa. Hanya saja, setelah pendudukan oleh Perancis berlangsung di Paracel, China kemudian turut mendaulat kepemilikan.
Baca juga: Laut China Selatan, dari Kepentingan Kawasan Menjadi Global
Dalam kesempatan lain, Perancis mewakili Vietnam pada 1933 menganeksasi tujuh pulau di Spratly. Taiwan tidak menentang tindakan ini, tetapi juga tidak menolak langkah China yang mulai melirik Spratly.
Peta berubah
Masalah muncul ketika Chiang Kai Sek, seorang tokoh nasionalis China, pada 1934 membentuk komisi untuk menyusun batas maritim Taiwan dan China dalam rangka satu China. Namun, China saat itu juga sudah mulai mendaulat dan mendalami wilayah Paracel dan Spratly. Kemudian muncul nama-nama versi China di Paracel dan Spratly.
Sebelum dekade 1930-an, semua pulau masih memakai nama-nama yang sudah ditentukan Inggris. ”Sebelum dekade 1930-an, tidak ada nama-nama versi China atas seluruh wilayah di Laut China Selatan,” ujar Poling.
Baca juga: China Telah Jadi Pemenang di Laut China Selatan
Di sisi lain, kata Poling, meski mulai mendaulat wiayah China Selatan, China tidak tahu persis lokasi dan tidak melakukan survei lapangan karena tidak memiliki angkatan laut yang kuat. Barulah setelah Perang Dunia II, China semakin merangsek ke seluruh Laut China Selatan. China mulai mendaulat Paracels pada 1955, tetapi belum bertindak serupa atas Spratly.
Barulah pada 1988 China membangun pos-pos di Spratly. Semua ini dilakukan berdasarkan tuntutan historis atas nama Taiwan dan sentuhan sejarah terkait China sendiri. Tentu para pedagang China dari Dinasti Han, Dinasti Ming, hingga Dinasti Qing sudah pernah menyinggahi semua wilayah Laut China Selatan, tetapi, menurut Poling, tidak serta-merta mendaulat kepemilikan.
Barulah setelah era 1900-an China mulai agak aktif tentang kepemilikan di Laut China Selatan. Meski demikian, penguasaan China belum kukuh secara militer, termasuk saat Deng Xiaoping makin agresif atas Laut China Selatan. Penguasaan ini didukung Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA), tetapi tidak terlalu menonjol.
Pada era Presiden Hu Jintao, tindakan berlebihan secara militer rentan dituduh sebagai aksi provokatif. Ini bertujuan menjaga AS, kekuatan maritim di Asia.
Niat lama
Namun, bertindak hati-hati bukan berarti China meninggalkan niat penguasaan, demikian dituliskan Rush Doshi, mantan pakar di The Brooking dalam tulisannya pada situs The Brookings, 22 Januari 2019.
Pada era Deng Xiaoping, bahkan seorang tokoh maritim dari PLA sudah muncul, bernama Liu Huaqing. Liu sudah berbicara tentang kekuatan maritim China yang harus dikembangkan, mengubah falsafah lama di mana kekuatan militer China hanya terbatas pada pengamanan wilayah.
Namun, Liu Huaqing juga tidak muncul mendadak. Zheng Wang, pakar dari AS kelahiran China, menuliskan di situs The Diplomat pada 5 Februari 2013 bahwa China sudah besar sejak lama dan ingin berjaya kembali sebagai kekuatan besar setelah sejarah dipermalukan.
Keagresifan China berlanjut hingga pada era Jiang Zemin dan Hu Jintao. Hanya saja, pada era ini China memakai prinsip ”sembunyikan niat”. Situasinya sangat berbeda pada era Presiden Xi Jinping, yang meninggalkan falsafah merunduk. China agresif menangkis, melawan dan dengan jelas melakukan militerisasi di Laut China Selatan.
China di bawah Xi juga tidak mendadak agresif. ”The China Dream” di bawah Xi adalah impian yang telah muncul sejak era Sun Yat Sen, tokoh nasionalis China yang turut menggusur Dinasti Qing.
Telanjur kuat
Poling mengatakan, kekuatan China sudah telanjur besar sekarang. Ekstremnya, jika ada konflik, AS akan memilih mundur ketimbang terlibat konflik senjata secara hipotesis. Namun, cara menetralisasi China tetap ada, yakni kampanye internasional terkait langkah-langkah China yang agresif. Kampanye itu juga bisa dilakukan lewat gerakan koalisi oleh para sekutu AS. Langkah ini tetap berisiko gagal.
Hal positif, China menyadari betapa ”The China Dream” berisiko mencederai relasinya dengan negara-negara di kawasan. Impiannya menjadi negara kuat, termasuk dengan mendaulat wilayah, bertabrakan dengan kepentingan negara-negara di kawasan yang juga mendaulat wilayah serupa, yakni Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan pada tingkat tertentu termasuk Indonesia.
Hal ini membuat situasi agak pelik bagi China. Oleh karena itu, China mengajak kawasan berembuk dan menyusun kode perilaku (code of conduct). Kode ini, dalam pandangan China, tidak boleh memasukkan unsur luar ASEAN, alias hanya antara ASEAN dan China.
Persoalannya, kode perilaku apa yang diinginkan China sekaligus memuaskan ASEAN? Hal yang bisa dipastikan, China tidak akan melepas cengkeramannya atas Laut China Selatan, yang menguntungkan secara ekonomi. Cengkeraman itu juga penting bagi China untuk mewujudkan impian sebagai kekuatan militer demi menyembuhkan perasaan dipermalukan selama 150 tahun.
Dalam istilah Poling, Barat dan ASEAN boleh saja menolak klaim China. Nmaun, China tidak akan peduli demi mengejar impiannya. Ini yang menjadi persoalan bagi ASEAN, bagaimana kelompok ini agar tidak menjadi pelanduk di tengah pertarungan China-AS dengan dugaan kekuatan kedua belah pihak sudah tidak seimbang. Persoalan lain bagi ASEAN adalah bagaimana agar tidak kehilangan kawasan dengan kekayaan laut dan sumber daya migas. (REUTER/AP/AFP)