Pemerintah Belanda yang dipimpin Perdana Menteri Mark Rutte bubar setelah empat partai mitra koalisi pemerintah gagal menjembatani perbedaan di antara mereka dalam isu imigrasi.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
DEN HAAG, SABTU – Pemerintahan koalisi Belanda pimpinan Perdana Menteri Mark Rutte, Jumat (7/7/2023), bubar akibat perbedaan pandangan di kalangan anggota kabinetnya dalam menangani masalah imigrasi. Untuk membentuk pemerintahan baru, akan digelar pemilu yang dijadwalkan setelah pertengahan November mendatang.
Rutte, perdana menteri dengan masa jabatan terlama dalam sejarah Belanda dan salah satu politisi paling berpengalaman di Eropa, mengungkapkan bahwa perdebatan di kalangan empat partai koalisi pemerintah beberapa hari terakhir gagal menghasilkan kesepakatan. ”Bukan rahasia lagi, para mitra koalisi mempunyai pandangan yang sangat berbeda mengenai kebijakan migrasi,” katanya.
”Pada (Jumat) malam, sayang sekali kami harus berkesimpulan bahwa perbedaan-perbedaan itu sudah tidak dapat dijembatani lagi. Karena itu, saya akan segera menyampaikan pengunduran diri secara tertulis kepada Raja (Belanda) atas nama pemerintah,” lanjut Rutte (56) dalam konferensi pers di Den Haag yang disiarkan langsung di televisi.
Direncanakan, Rutte akan menyerahkan surat pengunduran diri itu secara langsung kepada Raja Belanda Willem-Alexander, Sabtu (8/7/2023) ini. Krisis politik yang berujung bubarnya pemerintahan di Belanda ini menggambarkan keterbelahan di ”Negeri Kincir Angin” akibat perbedaan ideologi politik.
Pemerintahan PM Rutte saat ini—atau pemerintahan keempat di bawah pimpinan Rutte—terbentuk pada Januari 2022 dari empat partai mitra koalisi, yakni D66, ChristenUnie atau Persatuan Kristen (Christian Union/CU), Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD), serta Demokrat Kristen (CDA). Rutte memimpin Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD).
Ketegangan politik di antara partai-partai penyokong pemerintahan koalisi itu memuncak, pekan ini, saat Rutte menuntut adanya dukungan atas usulan pembatasan masuknya anak-anak keturunan pengungsi akibat perang yang sudah tinggal di Belanda.
Selain itu, Rutte mengajukan usulan tenggang waktu masa tunggu minimal dua tahun sebelum keluarga mereka dapat tinggal bersama. Ia juga mendesakkan adanya pembatasan jumlah keluarga pengungsi yang diperbolehkan masuk Belanda maksimal 200 orang per bulan.
Usulan itu ditolak keras oleh Persatuan Kristen dan D66. Persatuan Kristen (CU) memiliki basis pendukung ”Sabuk Bibel” Protestan di wilayah tengah Belanda. ”Keluarga, tempat anak-anak tumbuh berkembang bersama orangtuanya, menjadi nilai utama bagi kami,” ujar Carola Schouten, Wakil PM dari Persatuan Kristen.
Ia menyebut situasi saat ini sangat sulit. Adapun Menteri Keuangan Sigrid Kaag (dari partai D66) menyebut situasi saat ini merupakan ”ketegangan yang tidak perlu terjadi dalam proses” pembuatan kebijakan. Ia menyesalkan bubarnya pemerintahan saat ini.
Sementara Menteri Luar Negeri Wopke Hoekstra (dari unsur CDA) mengatakan, bubarnya pemerintahan ”sangat mengecewakan, tidak perlu terjadi, dan tak dapat dipahami oleh rakyat negeri (Belanda)”.
Pemerintahan sementara
Sambil menunggu terbentuknya pemerintahan baru hasil pemilu, Rutte akan tetap memimpin pemerintahan sementara(caretaker). Mengutip Komisi Pemilihan Umum (KPU) Belanda, kantor berita ANP melaporkan, pemilu berikutnya baru akan digelar setelah pertengahan November mendatang.
Pemerintahan sementara (caretaker) saat ini tidak bisa memutuskan kebijakan-kebijakan baru. Meski demikian, menurut Rutte, hal itu tidak akan memengaruhi dukungan Belanda terhadap Ukraina dalam perang melawan Rusia.
Bagi Rutte, pemerintahan yang baru saja bubar itu merupakan yang keempat kalinya dia pimpin sejak dia menjabat tahun 2010. Di Belanda, Rutte dikenal dengan julukan ”Mark Teflon”. Julukan ini merujuk pada kelihaiannya dalam mengatasi guncangan politik.
Berbagai skandal tak memengaruhi sepak terjang politiknya. Rutte tak ubahnya seperti teflon anti-lengket yang kebal dari guncangan dan skandal politik. Saat berhasil membentuk pemerintahan, yang kemudian dijuluki ”Rutte IV”, pada Januari 2022, ia berhasil menjembatani berbagai perbedaan pandangan pada sejumlah isu setelah negosiasi selama 271 hari.
Mengenai pemerintahan baru mendatang, Rutte mengatakan, dirinya masih memiliki ”energi” untuk maju lagi pada periode kelima. Namun, sebelum itu, ia akan memikirkan dulu lebih mendalam sebelum mengambil keputusan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Belanda mengalami keterbelahan dan perpecahan mendalam di ranah politik. Selain keterbelahan di internal pemerintahan yang baru saja bubar, tekanan juga muncul dari partai kelompok petani dan tokoh populis anti-imigran.
Partai BBB, yang digalang para petani penentang aturan pemerintah terkait lingkungan hidup, akan kembali berupaya mengulangi sukses dalam pemilihan senat sebelumnya pada tahun ini. Ketua BBB Caroline van der Plas menolak bergabung dalam koalisi pemerintahan pimpinan Rutte. Ia tidak menutup kemungkinan untuk maju dalam perebutan kursi PM pada pemilu mendatang.
Tekanan sayap kanan
Menurut media Belanda, Rutte mengambil langkah keras dalam isu imigrasi dengan tujuan guna mengalihkan tekanan dari kelompok sayap kanan di partai VVD yang dipimpinnya maupun partai-partai sayap kanan lainnya, termasuk tokoh anti-Islam Geert Wilders.
Rutte berjanji mengambil langkah tegas dalam masalah imigrasi menyusul skandal di beberapa pusat migrasi tahun lalu. Saat itu, akibat kekacauan dalam penanganan membeludaknya para pencari suaka, seorang bayi tewas, sementara ratusan orang lainnya terpaksa tidur di alam terbuka tanpa mendapat akses pada kebutuhan air minum dan layanan kesehatan.
Menyusul insiden tersebut, Rutte mengaku ”malu” dengan persoalan imigrasi, terutama setelah organisasi kemanusiaan Dokter Lintas Batas (Medecins sans Frontieres/MSF) untuk pertama kali mengirimkan timnya ke Belanda guna memberi bantuan medis bagi para pencari suaka di negeri itu.
Tahun lalu jumlah pencari suaka di Belanda melonjak sepertiga dari tahun sebelumnya, lebih dari 46.000 orang. Pemerintah Belanda memperkirakan, tahun ini jumlah mereka bisa melonjak lagi hingga lebih dari 70.000 orang. Angka ini lebih besar dari jumlah pengungsi yang masuk Belanda saat Eropa kebanjiran pengungsi pada tahun 2015.
Selain berupaya mengendalikan aliran pencari suaka di dalam negerinya, Rutte juga mendorong Uni Eropa untuk meredam masuknya imigran di kawasan blok 27 negara anggotanya. Bulan lalu, bersama koleganya dari Italia dan Komisi Eropa, ia berkunjung ke Tunisia dan menawarkan bantuan dana lebih dari 1 miliar euro guna memperbaiki ekonomi negeri itu, dengan harapan bisa mengurangi imigran dari Tunisia ke Eropa. (AP/AFP/REUTERS)