Dera Gugatan Hukum bagi Pejuang Perlawanan Disinformasi AS
Amerika Serikat memang negara maju, tetapi masih banyak warganya yang tertinggal dalam hal literasi.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Perjuangan para akademisi serta para peneliti media dan disinformasi di Amerika Serikat semakin berat. Kelompok-kelompok konservatif kian gencar melancarkan tuntutan hukum, bahkan ancaman fisik, kepada individu peneliti ataupun lembaga-lembaga penelitian. Situasi ini semakin memecah belah masyarakat AS dan membuat hoaks merajalela sehingga memperkeruh suasana.
Sejumlah peneliti yang digugat berbicara kepada kantor berita AFP dengan syarat nama dan lembaga dirahasiakan demi keamanan mereka. Adapun data yang dikumpulkan AFP mengungkapkan, lembaga-lembaga yang menerima tuntutan pidana itu, antara lain, adalah Universitas Stanford dan Universitas Washington.
Tuntutan tersebut tidak hanya dilayangkan oleh individu ataupun organisasi masyarakat konservatif yang notabene mendukung Partai Republik. Ada pula tuntutan penyelidikan yang digalang oleh Faksi Partai Republik di beberapa komite di DPR dan Senat AS. Bahkan, Ketua Komite Yudisial DPR AS, Jim Jordan, yang berasal dari Partai Republik, bersurat kepada Universitas Stanford. Isinya mengancam membawa perguruan tinggi itu ke meja hijau apabila tidak membuka data mereka kepada publik.
”Ada juga gugatan supaya kami membuka unggahan media sosial dan korespondensi dengan berbagai lembaga pemerintah sejak tahun 2015,” kata salah seorang peneliti.
Kalangan konservatif menuduh perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset merupakan antek pemerintah yang saat ini dikuasai oleh Partai Demokrat. Berbagai penelitian mengenai hoaks dan disinformasi oleh kalangan konservatif dianggap upaya terstruktur untuk membungkam para pendukung Partai Republik. Hoaks yang diteliti oleh para pakar ini beberapa di antaranya mengenai pandemi Covid-19, vaksin Covid-19, dan teori konspirasi bahwa pemilihan umum presiden tahun 2020 semestinya dimenangi oleh Donald Trump.
Akibat dari berbagai tuntutan hukum itu, kinerja para peneliti terganggu. Banyak makalah tidak bisa diselesaikan tepat waktu, bahkan mandek. Sejumlah lembaga penelitian independen juga mengalami kesusahan memperoleh dukungan dana karena beberapa sponsor memilih mundur agar tidak terseret ke ranah hukum.
”Ini miris sekaligus mengkhawatirkan. Bukan cuma kebebasan berekspresi yang terancam, tetapi juga integritas ilmu pengetahuan. Apabila para pakar di bidangnya serta perguruan tinggi dan lembaga riset yang sekarang diancam dan dibelenggu, demokrasi bisa cedera,” kata Jameel Jaffer, ahli media dan kebebasan berekspresi dari Universitas Columbia.
Perang melawan hoaks di AS gencar sejak Donald Trump menjadi presiden pada periode 2017-2021. Ia terkenal memercayai dan mempromosikan berbagai teori konspirasi. Bahkan, Trump selama beberapa tahun sempat diblokir dari Twitter karena dianggap menyebar ujaran kebencian, menghasut untuk melakukan kekerasan, dan menyebarkan hoaks. Akunnya baru dipulihkan setelah Elon Musk membeli Twitter pada tahun 2022.
Akibat benih disinformasi yang ditanam oleh Trump, kalangan konservatif semakin tidak mau membaca tulisan-tulisan ilmiah ataupun artikel berita dari media arus utama. Pandemi Covid-19 menjadi tantangan berat karena melimpahnya hoaks yang beredar, terutama terkait vaksin. Tidak hanya lembaga-lembaga riset yang berusaha mendudukkan perkara, 23 perguruan tinggi membentuk Koalisi Kampus Covid (CCC) yang merupakan inisiatif para mahasiswa.
Akibat benih disinformasi yang ditanam oleh Trump, kalangan konservatif semakin tidak mau membaca tulisan-tulisan ilmiah ataupun artikel berita dari media arus utama.
”Kami menyebarluaskan berbagai fakta dan hasil penelitian mengenai Covid-19 di media sosial dengan tujuan bisa menghentikan peredaran teori konspirasi,” kata Jeff Lifton, mahasiswa Universitas Texas A&M, kepada Voice of America edisi 9 Agustus 2021. Tantangan itu berat karena inisiatif tersebut malah disambut dengan perlawanan dari komunitas, terutama kelompok konservatif.
Penyebab utama masyarakat lebih percaya pada hoaks adalah minimnya literasi. Hal itu dibuktikan oleh survei lembaga jajak pendapat YouGov yang bekerja sama dengan Universitas Cambridge pada April 2023. Mereka menyurvei 1.516 warga AS berumur 18 tahun ke atas secara daring.
Metodenya ialah setiap responden diberi 20 judul berita dan waktu 2 menit untuk menentukan judul berita yang asli dan yang hoaks. Judul-judul hoaks ini dibuat dengan memakai teknologi kecerdasan buatan (AI).
Hasil survei tersebut adalah 65 persen responden mampu membedakan judul berita asli dari hoaks. Menariknya, pada survei itu umur responden berpengaruh. Hanya 11 persen responden berumur 19-29 tahun yang mampu membedakan berita dari hoaks secara tepat. Mayoritas hanya bisa mengidentifikasi sepertiga dari jawaban yang benar.
Survei itu juga menunjukkan orang-orang yang terbiasa membaca berita arus utama bisa menjawab dengan benar. Adapun orang-orang yang membaca ”berita” dari media sosial, antara lain, adalah Facebook, Instagram, Whatsapp, Snapchat, Twitter, dan Telegram, banyak jawaban mereka salah.
Peneliti senior Universitas Cambridge, Sander van der Linden, kepada Phys.org menjelaskan bahwa survei itu memutakhirkan penelitian Universitas Stanford dan Universitas Princeton tahun 2019 yang mengatakan bahwa warga AS berumur 60 tahun ke atas tidak bisa membedakan antara hoaks dan berita.
”Masalah disinformasi pada generasi tua ialah gagap berteknologi. Pada generasi muda, masalahnya ialah hidup dihabiskan secara daring di media sosial sehingga minim sekali membaca buku, makalah, dan berita-berita arus utama. Ada dua persoalan literasi yang berbeda, tetapi sama-sama serius di masyarakat AS,” ujarnya. (AFP)