Laporan Digital News Report 2021 oleh Reuters Institute mengungkapkan, penggunaan media sosial untuk pencarian berita, tetap kuat, terutama pada anak muda dan mereka yang berpendidikan lebih rendah.
Oleh
KHAERUDIN
·5 menit baca
Tanpa perlombaan senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, mungkin hari ini kita belum bisa mencari pasangan di Tinder, mendengarkan musik di Spotify, dan menulis banyak ide di Facebook atau Twitter. Jauh sebelum itu, Soviet sempat ”mencuri” teknologi pembuatan bom nuklir dari ilmuwan AS yang tergabung dalam Proyek Manhattan.
Dengar pendapat keamanan oleh DPR AS terhadap salah satu pimpinan Proyek Manhattan, Robert Oppenheimer, pada 1949 mungkin salah satu awal dari episode ketegangan perlombaan senjata AS dengan Soviet. Oppenheimer, fisikawan yang mengajar di Universitas California, Berkeley, kepala laboratorium Los Alamos, tempat penciptaan bom nuklir pertama, dituduh sebagai agen Soviet. Dia dianggap bersimpati dengan Partai Komunis dan Soviet sebelum Perang Dunia Kedua.
Perlombaan senjata lalu memicu AS menciptakan jaringan komputasi militer. Seperti ditulis The Guardian, awalnya adalah mimpi jaringan militer AS menggunakan kekuatan komputasi untuk mengalahkan Soviet. Di akhir tahun 1960-an, Departemen Pertahanan AS mendanai Advanced Research Projects Agency (Arpa) yang bertugas membawa komputasi ke garis depan.
Meskipun banyak pihak yang harus disebut sebagai pencetus terciptanya internet seperti jaringan komputer yang disponsori Pemerintah Perancis, Cyclades, hingga Laboratorium Fisika Nasional Inggris, tetapi militer AS-lah yang mungkin berperan paling besar. Pada 1969, Arpa membuat jaringan komputer milik universitas, lembaga pemerintah, dan kontraktor pertahanan. Setahun kemudian Arpa berhasil menghubungkan setidaknya 60 titik. Jaringan ini belakangan dinamai Arpanet, cikal bakal internet.
Musim panas tahun 1976, di sebuah kafe bernama Rosotti yang berjarak 18 menit perjalanan dengan mobil dari Silicon Valley, California, delapan peneliti Arpa mengujicobakan kemampuan jaringan komputer yang mereka bangun. Ribuan teks dikirim melalui jaringan komputer dari pesisir Pantai Barat ke pesisir Pantai Timur AS. Dan hari ini, bukan hanya ribuan teks yang berhasil dikirim, melainkan juga 2,5 exabyte data tiap hari.
Dua dekade setelahnya, AS menikmati kemenangan atas Soviet yang runtuh menjadi banyak negara, walau masih menyisakan Rusia sebagai lawannya yang tangguh. Sementara Silicon Valley menjadi pusat teknologi tinggi dan rumah bagi perusahaan raksasa teknologi global. Adapun internet karena menjadi lalu lintas data, melahirkan banyak inovasi yang kerap tanpa batas.
Internet menjadi dunia tersendiri yang kadang memisahkan manusia dari realitas hidup. Dunia siber yang terbangun dari komputer berjejaring. Sebuah ruang maya yang mungkin penggambarannya mirip dengan film fiksi sains tahun 1999, The Matrix.
Internet melahirkan banyak medium baru bagi manusia berinteraksi. Medium tersebut kadang menjadi tempat bersembunyi, perlindungan bagi para pelarian, dan tentu saja ruang operasi untuk mengatur strategi perang. Manusia mendapatkan identitas anonimnya di internet. Mereka hanya terlacak dari protokol internet yang digunakan. Di sinilah lahir troll, mereka yang biasa mengunggah pesan berisi hasutan dalam komunitas daring untuk memprovokasi dan memanipulasi pikiran orang. Termasuk jenis ini adalah para pendengung yang kerap sengaja memperkeruh informasi dengan menyebar berita bohong demi tercapainya tujuan para pembayarnya.
Alat peretasan terbaik
Soviet boleh kalah, tetapi Rusia mungkin tidak. Tahun 2016, pasukan siber Rusia yang diduga disponsori pemerintahnya menyebar disinformasi kepada para pemilih AS menjelang pemilihan presiden. Timothy Summers, seorang peretas etis, menulis di The Conversation bahwa perang dunia maya tidak lagi hanya tentang detail teknis port dan protokol komputer. ”Sebaliknya, disinformasi dan media sosial dengan cepat menjadi alat peretasan terbaik. Dengan media sosial, siapa pun bahkan perwira intelijen Rusia dan troll profesional—dapat mempublikasikan konten menyesatkan secara luas. Seperti yang dikatakan oleh peretas legendaris Kevin Mitnick, lebih mudah memanipulasi orang daripada teknologi,” tulisnya.
Demikianlah, teknologi akhirnya digunakan untuk memanipulasi manusia.
Di Indonesia, para pendengung dan troll mulai digunakan sejak Pilkada DKI Jakarta 2012. Mereka bertahan hingga Pemilihan Presiden 2019. Keterbelahan publik akibat hoaks, hasutan, dan provokasi yang disebar di media sosial oleh mereka masih terasa hingga kini.
Selama pandemi Covid-19, para pendengung menggunakan media sosial untuk menyesatkan informasi. Di awal pandemi, mereka bahkan menyebar informasi bahwa pandemi hanya rumor dan dibesar-besarkan media.
Teknologi baru sejatinya memungkinkan manusia mendapatkan pencerahan. Penemuan internet makin mendemokratisasi pengetahuan. Lepas dari penggunaannya untuk memanipulasi manusia, internet adalah tempat belajar segala jenis pengetahuan.
Lima abad sebelum internet tercipta, penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg di Eropa mungkin mengawali apa yang disebut ledakan pengetahuan manusia. Teknologi mesin cetak buatan Gutenberg memungkinkan pengetahuan berpindah secara massal.
Berabad-abad sebelumnya, pengetahuan ditulis tangan. Buku dibuat melalui proses padat karya, ditulis tangan dan berharga mahal. Sebuah buku saat itu bisa berharga sama dengan perkebunan atau ladang anggur. Membuat satu buku dengan tulisan tangan butuh waktu berbulan-bulan.
Mesin cetak memungkinkan teks atau tulisan bisa berpindah secara cepat ke halaman-halaman buku dan direproduksi sebanyak mungkin. Berkat Gutenberg, pengetahuan menjadi terdemokratisasi.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, penulis buku The Elements of Journalism, menyebut penemuan Gutenberg sebagai salah satu transformasi penting dalam sejarah peradaban manusia. Sekitar satu abad setelah penemuan mesin cetak, surat kabar pertama terbit. Jurnalisme lahir. Bersamaan dengan itu, kata fact (fakta) pertama kali muncul dalam bahasa Inggris yang berarti sesuatu yang benar-benar terjadi atau kejadian sebenarnya. Kebenaran diketahui lewat pengamatan sejati atau kesaksian yang sahih, bukan hanya dugaan.
Kovach dan Rosenstiel menulis, apa yang selama berabad-abad umum dianggap sebagai pendapat kasar menjelma menjadi konsep lebih terhormat, opini publik. Sesuatu yang hilang sejak peradaban Yunani dan Romawi, muncul kembali seiring kelahiran jurnalisme. Dengan penyebaran informasi muncul konsep yang lebih kokoh, ide bahwa orang bisa mengatur diri sendiri. Buah terbesar peradaban Barat, demokrasi, tak lain adalah produk evolusi komunikasi (Kovach dan Rosenstiel, 2010).
Dalam waktu yang lama jurnalisme menjadi pilar demokrasi. Sebelum akhirnya perkembangan teknologi mendisrupsinya. Internet yang mendemokratisasikan informasi membuat media arus utama tak lagi menjadi pemegang kunci lalu lintas informasi. Setiap orang saat ini adalah pembuat konten. Media tak lagi bersaing dengan media lainnya, tetapi dengan setiap individu pembuat konten yang menyebarkannya lewat media sosial.
Laporan Digital News Report 2021 oleh Reuters Institute mengungkapkan, penggunaan media sosial untuk pencarian berita, tetap kuat, terutama pada anak muda dan mereka yang berpendidikan lebih rendah. Aplikasi seperti Whatsapp dan Telegram sangat populer di belahan Selatan dunia, dan menimbulkan kekhawatiran terbesar dalam penyebaran informasi yang salah tentang pandemi.
Sayangnya, menurut Pemimpin Redaksi Columbia Journalism Review Kyle Pope, kebohongan yang disebar di media sosial semakin canggih dan kemampuan jurnalisme untuk melawan informasi yang buruk dengan laporan valid tampaknya semakin terbatas dari hari ke hari.