PBB Bahas Potensi Ancaman AI terhadap Keamanan Internasional
Inggris menyebut ada risiko besar kemungkinan penggunaan AI dalam senjata otonom atau dalam pengendalian senjata nuklir.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·3 menit baca
NEW YORK, SELASA — Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pertama kalinya akan menggelar pertemuan yang membahas potensi ancaman kecerdasan buatan (AI) terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Tuan rumah pertemuan tersebut, Inggris, menyebut ada risiko besar kemungkinan penggunaan AI dalam senjata otonom atau dalam pengendalian senjata nuklir.
Pertemuan akan dihadiri para pakar AI internasional. Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward, Senin (3/7/2023), mengatakan, Inggris ingin menyerukan adanya pendekatan multilateral dalam mengelola peluang dan risiko AI. ”Ini akan memerlukan upaya global,” katanya.
Pertemuan DK PBB itu akan menyediakan kesempatan untuk mendengarkan pandangan para ahli soal AI tentang teknologi yang berkembang sangat cepat ini. Ke-15 anggota DK PBB akan berdiskusi tentang implikasinya.
Woodward mengatakan, manfaat AI sangat besar. Ia menyebut potensi AI untuk membantu program pembangunan PBB, memperbaiki operasi bantuan kemanusiaan, membantu operasi penjaga perdamaian, dan mendukung pencegahan konflik, termasuk dengan mengumpulkan serta menganalisis data. ”AI bisa membantu kita menutup kesenjangan antara negara berkembang dan negara maju,” ujarnya.
Namun, di sisi lain, AI memunculkan pertanyaan serius tentang keamanan yang perlu ditanggapi. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Juni lalu, mengungkapkan, ancaman AI bisa menjadi ”monster” yang tidak bisa dikendalikan. Untuk itu diperlukan kode perilaku bagi pemerintah, perusahaan teknologi, dan pengiklan.
Guterres berencana menunjuk sebuah dewan penasihat tentang AI pada September mendatang untuk mempersiapkan inisatif yang bisa diambil PBB. Dia juga setuju jika akan dibentuk badan baru PBB yang mengurusi AI dengan model seperti Badan Energi Atom Internasional yang berbasis pengetahuan dan memiliki wewenang pengaturan.
”PBB akan coba menjadi pusat seluruh jaringan dan gerakan yang akan dibuat untuk berhadapan dengan teknologi AI seiring perkembangannya,” kata Guterres. Ia mengakui hal itu tidak akan mudah karena pemerintah dan organisasi internasional belum cukup berinvestasi dalam sumber daya manusia yang memiliki keahlian saintifik dan pengetahuan teknis tentang AI.
Pada September 2022, Dewan Eksekutif Sistem PBB untuk Koordinasi mendukung Prinsip Penggunaan Etis untuk AI dalam Sistem PBB. Isinya ada 10 prinsip yang digunakan sebagai panduan dalam penggunaan AI dalam segala tataran sistem PBB, yakni tidak menyakiti; definisikan tujuan, kebutuhan, dan proporisonalitas; keselamatan dan keamanan; keadilan dan nondiskriminasi; keberlanjutan; hak terhadap privasi, pelindungan data, dan pengelolaan data; otonomi dan pengawasan manusia; transparansi dan kejelasan; tanggung jawab; serta inklusi dan partisipasi.
Eropa juga di posisi terdepan dalam upaya mengatur AI, terutama dengan munculnya AI yang memberi chatbot seperti ChatGPT kemampuan untuk menciptakan teks, gambar, video, dan audio yang mirip dengan karya manusia. Pada 14 Juni, anggota parlemen Uni Eropa menyetujui aturan komprehensif pertama di dunia untuk AI.
Pada Mei, kepala perusahaan AI yang menciptakan ChatGPT berbicara dalam dengar pendapat di Senat Amerika Serikat. CEO OpenAI Sam Altman mengatakan, intervensi pemerintah sangat penting dalam memitigasi risiko dari sistem AI yang semakin kuat. Ia mengusulkan pembentukan badan AS atau global yang akan memberikan izin bagi sistem AI paling kuat dan memiliki wewenang untuk mencabut izin serta menjamin kepatuhan terhadap standar keselamatan. (AP)