61 Negara Serukan Penggunaan Kecerdasan Buatan Militer yang Bertanggung Jawab
Konferensi internasional REAIM 2023 ditutup dengan penandatanganan seruan aksi penggunaan kecerdasan buatan pada militer secara bertanggung jawab. Amerika Serikat dan China ikut menandatanganinya.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
DOKUMENTASI KEMENTERIAN LUAR NEGERI BELANDA
Suasana penutupan konferensi internasional Responsible Artificial Intelligence in the Military Domain (REAIM) 2023” di World Forum, Den Haag, Belanda, Kamis (16/2/2023) sore waktu setempat.
DEN HAAG, KOMPAS — Sebanyak 61 negara yang berpartisipasi dalam konferensi internasional REAIM 2023 di Den Haag, Belanda, menandatangani seruan aksi penggunaan kecerdasan buatan pada militer secara bertanggung jawab.
Mereka berkomitmen terus menyelenggarakan dialog global yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan secara inklusif, untuk menagih kontribusi setiap pihak dalam menjaga stabilitas dan keamanan internasional yang mengacu pada hukum internasional.
Seruan aksi penggunaan kecerdasan militer yang bertanggung jawab ditandatangani 61 negara pada penutupan konferensi internasional ”Responsible Artificial Intelligence in the Military Domain (REAIM) 2023” di World Forum, Den Haag, Kamis (16/2/2023) sore waktu setempat.
Selain Belanda dan Republik Korea sebagai penyelenggara, seruan aksi juga ditandatangani oleh dua negara dengan pengembangan teknologi kecerdasan buatan paling menonjol saat ini, yaitu Amerika Serikat (AS) dan China. Tidak ketinggalan, Indonesia pun menandatangani seruan tersebut.
DOKUMENTASI KEMENTERIAN LUAR NEGERI BELANDA
Suasana penutupan konferensi internasional Responsible Artificial Intelligence in the Military Domain (REAIM) 2023” di World Forum, Den Haag, Kamis (16/2/2023) sore waktu setempat.
Dalam seruan aksi disebutkan, dampak penggunaan kecerdasan buatan pada militer terhadap masa depan kemanusiaan menjadi kekhawatiran yang mengemuka secara global.
Hal itu di antaranya dipengaruhi oleh sejumlah isu tentang keandalan sistem persenjataan berbasis kecerdasan buatan dan pelibatan manusia dalam pengambilan keputusan. Ketidakjelasan pertanggungjawaban atas potensi konsekuensi tewasnya manusia menjadi kekhawatiran lainnya.
Untuk itu, ke-61 negara mengajak pemerintah, industri, institusi pendidikan, dan organisasi internasional untuk mendukung penggunaan kecerdasan buatan militer yang bertanggung jawab.
Pertanggungjawaban dimaksud adalah tetap tunduk pada kewajiban hukum internasional. Penggunaan kecerdasan buatan juga hendaknya tidak merusak keamanan, stabilitas, dan akuntabilitas internasional.
”Kami berkomitmen melanjutkan dialog global tentang penggunaan kecerdasan buatan militer yang bertanggung jawab dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan secara inklusif dan menagih kontribusi seluruh pemangku kepentingan untuk menjaga stabilitas dan keamanan internasional yang mengacu pada hukum internasional,” dikutip dari seruan aksi.
Negara-negara penanda tangan seruan aksi juga mengajak negara lain untuk bekerja sama meningkatkan pemahaman umum tentang kecerdasan buatan melalui penyelenggaraan riset, pelatihan, dan berbagai bentuk peningkatan kapasitas. Setiap negara didorong untuk membuat kerangka kerja, strategi, dan prinsip-prinsip kecerdasan buatan militer yang bertanggung jawab dalam lingkup nasional.
Tantangan bersama
Pejabat senior Bidang Pengendalian Senjata dan Keamanan Internasional Kementerian Luar Negeri AS, Bonnie Jenkins, mengapresiasi inisiatif Belanda dan Republik Korea untuk menjadi tuan rumah REAIM 2023.
Menurut dia, konferensi dan diskusi-diskusi terkait diselenggarakan pada waktu yang tepat. Sebab, AS juga melihat adanya kebutuhan untuk memastikan militer menggunakan teknologi baru, seperti kecerdasan buatan, secara bertanggung jawab sebagai tantangan bersama.
DOKUMENTASI KEMENTERIAN LUAR NEGERI BELANDA
Menteri Pertahanan Belanda Kajsa Ollongren berbincang dengan pejabat senior Bidang Pengendalian Senjata dan Keamanan Internasional Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Bonnie Jenkins, saat penutupan konferensi internasional Responsible Artificial Intelligence in the Military Domain (REAIM) 2023” di World Forum, Den Haag, Kamis (16/2/2023) sore waktu setempat.
AS meyakini, deklarasi seruan aksi ini bisa menjadi dasar dan rujukan bagi komunitas internasional. Rujukan dimaksud terkait dengan prinsip dan praktik yang diperlukan guna memastikan penggunaan kecerdasan buatan militer dilakukan secara bertanggung jawab.
Duta Besar China untuk Belanda Jian Tan menambahkan, penggunaan kecerdasan buatan militer yang sejalan dengan hukum internasional merupakan tantangan bersama bagi komunitas internasional. China pun menyadari urgensi pengaturan ihwal kecerdasan buatan. Presiden Xi Jinping pun menekankan pentingnya penilaian terhadap potensi risiko teknologi tersebut bagi keamanan nasional dan masyarakat.
Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir, China telah melakukan riset yang relevan mengenai aspek hukum, teknologi, dan etik terkait teknologi tersebut. Pihaknya juga mengirimkan kertas posisi mengenai pentingnya pengaturan penggunaan kecerdasan buatan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). China memandang bahwa persoalan ini membutuhkan respons dari PBB. Organisasi itu pun semestinya menjadi kanal utama bagi pengaturan kecerdasan buatan secara global.
Terlepas dari itu, China melihat, negara-negara perlu menyebarkan pendekatan kolaborasi agar tidak ada hegemoni dalam pengembangan kecerdasan buatan. Pengembangan teknologi itu juga harus menempatkan kesejahteraan manusia sebagai prioritas. ”China akan melanjutkan komunikasi dengan semua pihak secara terbuka dan inklusif untuk membantu adanya pengaturan kecerdasan buatan secara global,” ujar Tan.
KURNIA YUNITA RAHAYU
Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto menjadi salah satu anggota delegasi Indonesia untuk mengikuti konferensi internasional Responsible Artificial Intelligence in the Military Domain (REAIM) 2023)” di World Forum, Den Haag, Rabu-Kamis (15-16/2/2023).
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto mengatakan, selagi pengembangan kecerdasan buatan beserta berbagai risiko yang menyertainya masih terus didiskusikan, Indonesia mengambil posisi untuk terus mendorong dialog global lintas pemangku kepentingan. Dialog global itu termasuk membicarakan kerangka etik untuk menghadapi karakteristik unik kecerdasan buatan serta berbagai potensi dampak tidak diinginkan yang bisa muncul.
”Indonesia akan terus terlibat dalam forum global yang berupaya untuk memperkuat pendekatan kecerdasan buatan bertanggung jawab pada militer,” kata Andi.
Komisi global
Setelah penandatanganan seruan aksi, Belanda juga mendorong pembentukan Komisi Global untuk Kecerdasan Buatan. Komisi ini dinilai perlu untuk meningkatkan kesadaran bersama, memperjelas bagaimana menentukan langkah pengembangan, produksi, dan penyebaran kecerdasan buatan pada militer. Komisi juga akan merancang kondisi-kondisi yang efektif untuk pengaturan teknologi tersebut.
Konferensi internasional yang baru pertama kali digelar ini juga akan berlanjut. Menurut rencana, REAIM berikutnya akan digelar di Republik Korea pada 2024.
Menteri Luar Negeri Belanda Wopke Hoekstra mengatakan, melalui REAIM pihaknya telah mengemukakan kemendesakan persoalan kecerdasan buatan pada militer secara jelas. Saat ini, negara-negara di dunia perlu mengambil langkah lebih lanjut. ”Saya senang kita bisa mencapai kesepakatan dalam hal ini. Belanda akan tetap menjadi kekuatan pendorong di belakang upaya untuk menyelesaikan kesepakatan internasional di bidang ini,” ujar Hoekstra.
Adapun Menteri Pertahanan Belanda Kajsa Ollongren menambahkan, kecerdasan buatan sangat penting bagi angkatan bersenjata di masa depan. Dengan kerangka kerja dan legislasi yang tepat, penggunaan kecerdasan buatan akan membuat proses logistik dan operasional militer lebih sederhana den efisien.
Tak hanya itu, kecerdasan buatan juga memungkinkan militer mengambil keputusan lebih cepat berdasarkan informasi yang lebih baik. Dengan demikian, tidak hanya keselamatan tentara yang bisa lebih terlindungi, kerugian dan kematian juga bisa dibatasi seminimal mungkin.
”Untuk memastikan bahwa kami menggunakan kecerdasan buatan secara bertanggung jawab, kami akan melanjutkan kerja sama dengan mitra-mitra di aliansi yang sudah ada, seperti Uni Eropa dan NATO, organisasi nonpemerintah, lembaga think tank, institusi pendidikan, dan perusahaan. Itu adalah investasi untuk kebebasan kami,” tutur Ollongren.