Perang AS-China di Lautan Asia Lebih Mungkin (Bagian 1)
Perang Dingin babak kedua antara Amerika Serikat dan China lebih genting daripada Perang Dingin pertama antara AS dan Uni Soviet. Perang sekarang ini lebih dimungkinkan terjadi dari sudut pandang geografi di lautan Asia.
Pakar geopolitik dari Universitas Chicago, AS, John J Mearsheimer, menuliskan isu tersebut dalam artikel berjudul ”The Inevitable Rivalry America, China, and the Tragedy of Great-Power Politics” dalam jurnal Foreign Affairs edisi November/Desember 2021. Kata ”dimungkinkan” bukan berarti perang pasti terjadi, demikian pendapat Mearsheimer. Akan tetapi, jika ditelaah dari sudut geografi, potensi perang lebih dimungkinkan terjadi pada era Perang Dingin sekarang.
Mearsheimer melanjutkan, perseteruan Perang Dingin babak pertama dari sisi geografi menyangkut daratan Eropa. Kubu AS dan Soviet berhadapan langsung dengan persenjataan konvensional, nuklir, disertai penduduk padat. Dari sisi itu, kubu AS dan Soviet lebih berpikir sebelum menekan tombol perang karena ada efek besar yang tak terbayangkan.
Situasinya berbeda dengan Perang Dingin sekarang. Titik persaingan terletak di lokasi abu-abu dengan kepemilikan tumpang tindih: Laut China Selatan dan Laut China Timur. Menambah pelik situasi, Taiwan—yang diklaim Beijing sebagai bagian dari China—dipersenjatai AS atas nama kelanggengan demokrasi.
Baca juga: Selat Taiwan Selalu Tegang, Akankah Berujung dengan Perang?
Namun, jika perang meletus di tiga wilayah itu (Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Taiwan), risiko tragedi kemanusiaan lebih kecil ketimbang perang frontal di daratan Eropa. Dengan asumsi perang di lautan itu, wilayah utama China dan AS serta sekutunya luput dari sasaran perang. Potensi pertarungan akan berlangsung di wilayah kelautan dengan kekuatan udara serta laut, dan hanya sedikit keterlibatan perang darat.
Pemicu terang
Menurut Mearsheimer, jika benar terjadi, perang lebih didasarkan pada tuntutan kebebasan navigasi yang disuarakan AS. Laut China Selatan tersambung dengan Teluk Persia. Ada 5 triliun dollar AS nilai perdagangan global yang melewati wilayah ini (Associated Press, 22 Maret 2022). Oleh sebab itu, kebebasan navigasi menjadi keharusan.
China menjawab, semua negara bebas berlayar dan terbang di atas Laut China Selatan. China secara aktif memastikan keamanan wilayah bagi pelayaran dan penerbangan internasional. ”Faktanya, Laut China Selatan adalah yang paling aman dan paling bebas. Tidak ada masalah tentang navigasi dan penerbangan di Laut China Selatan,” sebut pernyataan Kementerian Luar Negeri China, 20 Juni 2022. Bagi Beijing, masalah muncul setelah AS hadir rutin dengan kekuatan militer.
Tentu, China mengakui implisit ada sengketa terkait kepemilikan Laut China Selatan dan Laut China Timur. Untuk itu, China melakukan upaya bersama Asia Tenggara soal Laut China Selatan, demikian juga dengan Jepang terkait Senkaku (Diaoyu). Hanya, lanjut pernyataan China, ”AS dengan sengaja memicu perselisihan terkait kedaulatan teritorial dan kepentingan maritim, serta menabuh perselisihan di antara negara-negara di kawasan.”
Namun, masalah tidak sesederhana pemikiran China, yang ingin AS hengkang dari perairan tersebut. Sebaik apa pun langkah yang diupayakan China terhadap negara-negara di kawasan, AS masih kuat dan tidak menghendaki kebangkitan China. Juga ada ketidakrelaan negara-negara di kawasan dengan potensi terjebak permainan China.
Hal utama yang membuat dua laut itu panas adalah kemunculan China sebagai kekuatan baru dan revisionis.
Kecuali Taiwan, yang sejak lama sering jadi sumber kegentingan AS-China, Laut China Selatan dan Laut China Timur jarang menjadi titik panas. Asia pun relatif tenteram dan bebas dari potensi perang. Dua laut tersebut relatif tak terusik sekian tahun.
Baca juga: Jenderal Senior AS Peringatkan, Konflik dengan China Bisa Meletus Tahun 2025
Hal utama yang membuat dua laut itu panas adalah kemunculan China sebagai kekuatan baru dan revisionis. China merevisi kepemilikan atas dua kelautan itu berdasarkan versinya. Salah satunya mengandalkan argumentasi kepemilikan historis berdasarkan wilayah dinasti lama. Bagi China, menurut KN Pandita (Padma Shri), mantan Direktur Center of Central Asian Studies di Kashmir University, kawasan itu memang berstatus ”kalung zamrud (necklace of pearls)” (EurAsian Times, 26 Juni 2023).
Di balik revisi itu adalah posisi China sebagai kekuatan geopolitik baru. China merevisi dan mendaulat dengan percaya diri karena kekuatannya telah ada. China menjadi pesaing terberat AS sepanjang sejarah. Inilah yang disebut Mearsheimer sebagai tragedi yang terkandung dalam teori kekuatan geopolitik (the tragedy of great power politics).
Baca juga: Di Bawah Xi, Militer China Makin Kuat dan Menakutkan (Bagian 1)
Ketua Staf Gabungan AS Jenderal Mark Milley, 30 Juni 2023, menyebut China sedang mengupayakan penulisan ulang aturan-aturan lama, baik tingkat kawasan maupun global.
Sejarah pencaplokan
Revisi kepemilikan atau penguasaan wilayah menjadi salah satu dari efek karakter yang mengidap kekuatan-kekuatan geopolitik. Hal serupa pernah terjadi antara Portugal dan Belanda di Selat Malaka. Belanda mendaulat hak atas Selat Malaka, bekerja sama dengan Aceh dan kesultanan di Malaysia, untuk menghadapi Portugal dalam pertempuran.
Kurang lebih 200 tahun kemudian, Belanda melepas Malaka dalam perseteruan dengan Inggris lewat sebuah traktat. ”Kota dan pelabuhan Malaka … dengan demikian diserahkan kepada Kerajaan Inggris,” demikian Artikel 10 Traktat Anglo-Dutch yang diteken 17 Maret 1824 (Bencoolen Lives: the long aftermath of the 1824 Anglo-Dutch Treaty | Student Repository (universiteitleiden.nl)).
AS turut melakukan hal serupa atas wilayah Belahan Bumi Barat (Western Hemisphere) lewat Doktrin Monroe. Presiden AS James Monroe pada 2 Desember 1823 mendaulat AS sebagai penguasa di Benua Amerika. ”Setiap upaya kekuatan Eropa untuk menekan dan mengendalikan satu negara pun di Belahan Bumi Barat akan dipandang sebagai aksi bermusuhan dengan AS,” demikian salah satu isi Doktrin Monroe.
Traktat Guadalupe Hidalgo mengakhiri perang Meksiko-Amerika Serikat (1846-1848). Namun, dengan traktat diteken pada 2 Februari 1848 di Guadalupe Hidalgo itu, Meksiko melepas 55 persen wilayahnya, termasuk daerah yang sekarang ini bernama California, Nevada, Utah, New Mexico, hampir semua wilayah Arizona dan Colorado, dan bagian dari Oklahoma, Kansas, dan Wyoming. Mexico juga merelakan Texas, dan mengakui Rio Grande sebagai perbatasan dengan AS.
China melanjutkan sejarah dengan ”mendaulat kekuasaan” di Laut China Selatan. ”Pengerahan kekuatan di wilayah sendiri adalah hak yang melekat dengan kedaulatan negara dan itu seiring dengan hukum internasional yang tidak tercela,” kata Wang Wenbin, jubir Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin (Associated Press, 21 Maret 2022).
Hal itu untuk menjawab tuduhan AS bahwa militerisasi berlangsung di Laut China Selatan. China kerap mengingatkan kisah Doktrin Monroe (ECNS, 16 Maret 2023).
Hegemonik
Kekuatan-kekuatan besar itu tergoda untuk hegemonik dan merevisi status quo. ”Tak satu pun hal ini yang seharusnya mengherankan. China bertindak persis serupa dengan prediksi kaum realis. Siapa yang dapat menyalahkan para pemimpin China karena memburu dominasi di Asia dan menjadi negara paling kuat di planet? Jelas AS juga tidak bisa, sebab pernah memburu agenda serupa, bangkit, dan menjadi hegemonik di kawasannya sendiri, bahkan menjadi negara paling aman dan berpengaruh di dunia,” sebut Mearsheimer lewat tulisannya dan penuturan pada berbagai diskusi.
Kekuatan geopolitik itu ingin bebas meraung-raung, tak ingin ada pesaing di dekat wilayahnya, jelas Mearsheimer. Menjadi tragedi, jika niat kekuatan geopolitik itu diusik atau terusik, ia berpotensi beraksi dengan kekuatan militer.
Jika hal itu terjadi, tidak ada wadah internasional yang dapat menjadi tempat pengaduan. Jika pun ada aturan internasional, kekuatan besar geopolitik itu berpotensi melabrak dan merevisinya. Ini yang disebut ciri kekuatan-kekuatan geopolitik dengan akar anarkisme yang melekat pada dirinya.
Menurut Mearsheimer, kata ”anarki” bukan berarti pembantaian dan kekacauan, tetapi merujuk pada tiadanya aturan di atas negara paling kuat. Ia menentukan sendiri aturannya. Eropa bebas menjajah dan membagi-bagi kolonisasi di seluruh dunia pada era kejayaannya. AS menyusul melakukan hal serupa. Aturan kolonial berlaku di banyak negara pada eranya, tak ada tatanan dunia yang bisa mengaturnya.
Tolak putusan mahkamah
Tidak terkecuali China. Beijing menolak putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration/PCA) di Den Haag 12 Juli 2016. Kalimat dari putusan itu berbunyi, ”Sembilan garis pantai China yang mencakup hampir semua wilayah Laut China Selatan telah dipakai sebagai dasar kedaulatan wilayahnya. Hal itu tidak memiliki basis hukum dan melanggar aturan UNCLOS.”
Pihak China menolak putusan atas gugatan Filipina itu. Taiwan juga turut menolak putusan UNCLOS. Putusan UNCLOS itu diperkirakan membuat persoalan lebih rumit. ”AS dan sekutunya telah mengancam akan melakukan patroli bersama ditambah langkah rencana militerisasi di kawasan itu,” demikian China Dailylewat berita berjudul China will not swallow bitter pill of humiliation, 5 Juli 2016.
”Damai tidak akan pernah terjadi dengan keinginan sepihak saja, dan damai di Laut China Selatan tidak bisa berbasis hanya pada kerelaan China melepas haknya yang legitimatif,” lanjut harian itu.
Duduki dan membangun
China tidak melepas, malah membangun pos-pos militer di Laut China Selatan dalam 20 tahun terakhir, menurut Komandan Indo-Pasifik AS, Laksamana John C Aquilino (Associated Press, 21 Maret 2022). Pengintaian telah dilakukan Poseidon, pesawat AS, yang terbang serendah 4.500 meter di atas permukaan laut Kepulauan Spratly yang diduduki China.
Tampak beberapa hunian mirip kota, bangunan multilantai, gedung penyimpanan, hanggar, pelabuhan, landasan penerbangan. Juga terlihat 40 kapal dengan status yang tidak teridentifikasi serta peralatan laser dan jamming (pelumpuh). Bangunan-bangunan untuk kepentingan militer itu berada di Mischief Reef, Subi Reef, dan Fiery Cross, bagian Kepulauan Spratly (Nansha Qundao dalam Mandarin).
”Fungsi pulau-pulau itu bertujuan memperluas kemampuan serang China melampaui batas daratannya. Mereka bisa menerbangkan pesawat tempur, pengebom plus kemampuan serang lain, seperti sistem rudal,” kata Aquilino. ”Masih ditunggu, apakah China masih akan membangun lagi di daerah sekitarnya.”
Lagi, sejak 2014 pesawat tempur China bahkan sering memperingatkan pesawat pengintai AS, Poseidon (P-8A), agar menjauh dari udara Laut China Selatan. Kejadian serupa muncul di Laut China Timur. Hal ini terus berlangsung di Spratly hingga terbaru pada Mei 2023. Aksi pencegatan China atas pesawat pengintai AS semakin sering, kontras dengan situasi saat China belum kuat secara militer.
”Aktivitas militer AS di area itu bertujuan memicu masalah dan mendorong provokasi. Aksi itu mengancam kedaulatan dan keamanan pantai serta merusak tatanan dan keselamatan navigasi,” lanjut Wang Wenbin.
AS tetap tidak mau terintimidasi dan terus bertahan serta akan tetap mengintai di Laut China Selatan. Dasar teorinya, kekuatan geopolitik lama itu tidak mudah menyerah seperti kasus Athena dan Sparta yang kemudian terlibat perang. Maka, tak salah jika Mearsheimer mengatakan, potensi perang di era Perang Dingin sekarang lebih dimungkinkan. (REUTERS/AP/AFP) - BERSAMBUNG