Hancurkan Hutan Lebih Luas Dari Kebun Sawit Indonesia, Uni Eropa Usulkan Pemulihan
UE menggunduli hutan untuk kayu bayar, industri, dan pertanian. Sebagian hutan konservasi pun dibabat untuk dijadikan kayu bakar. Kini, UE berusaha memulihkan lingkungan
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
BRUSSELS, RABU-Para Menteri Lingkungan Hidup Uni Eropa menyepakati rancangan undang-undang pemulihan alam. Brussels berharap memulihkan kondisi pada setidaknya 20 persen lahan Uni Eropa dalam tujuh tahun ke depan. Petani dan sejumlah politisi Uni Eropa menentang rancangan undang-undang itu. Mengacu pada data Global Forest Watch, 68 juta hektar hutan dunia hilang pada 2001-2021. UE berkontribusi hingga 21 juta hektar atas kehilangan itu.
Kesepakatan dicapai dalam rapat pada Selasa (20/6/2023) di Brussels. Kesepakatan itu dicapai di masa kepemimpinan Swedia, anggota UE yang paling banyak membabat hutan. “Kami telah mendengar secara saksama semua perhatian anggota,” kata Menteri Lingkungan Hidup Swedia, Romina Pourmokhtari.
Komisioner Lingkungan Hidup Uni Eropa Virginijus Sinkevičius mengatakan, kesepakatan itu memungkinkan UE mencapai target pemangkasan emisi. “Dewan jelas menunjukkan niat untuk investasi politik pada alam,” kata dia.
Ia merujuk pada Dewan UE, salah badan di UE dan beranggotakan para menteri negara anggota UE. Keputusan tertinggi UE dibuat oleh Dewan Eropa yang beranggotakan para kepala pemerintahan anggota UE. Sementara pelaksana harian UE dijalankan oleh Komisi Eropa. Ada pun undang-undang UE harus disahkan Parlemen Eropa.
Penolakan Politisi dan Petani
Copa-Cogeca, asosiasi petani UE, menolak RUU itu. “Aturan itu secara sengaja mengurangi kemampuan UE untuk memproduksi pangan di UE. Kita akan terpaksa bergantung pada impor,”kata Sekretaris Jenderal Copa-Cogeca Pekka Pesonen kepada Euronews.
Partai Rakyat Eropa (EPP), salah satu partai di Parlemen Eropa, juga menolak RUU itu. EPP menyebut, RUU itu mengancam petani dan nelayan UE. “EPP akan melakukan apa pun untuk mencegah RUU ini menjadi hukum formal,” demikian pernyataan EPP.
Partai itu meminta penilaian komprehensif sebelum RUU itu dibawa ke parlemen. “Kami tidak menolak pemulihan lingkungan. Kami menolak aturan yang buruk. EPP siap menggagalkan RUU Pemulihan Lingkungan,” kata anggota EPP, Tom Vandenkendelaere.
Ketua EPP Manfred Weber menilai, RUU itu jelas mengabaikan dampak perang Ukraina dan kemampuan petani UE memproduksi pangan. RUU itu akan semakin menyulitkan penduduk EU di desa dan pesisir. Penolakan EPP salah satu sandungan untuk pengesahan RUU itu. Tanpa persetujuan parlemen, UE tidak bisa mengesahkan UU.
Dampak Lingkungan
Dewan UE menyepakati RUU itu di tengah kekhawatiran atas kerusakan alam di UE. Mengacu pada data Global Forest Watch, 68 juta hektar hutan dunia hilang pada 2001-2021. UE berkontribusi hingga 21 juta hektar atas kehilangan itu. Swedia dan Finlandia berkontribusi paling besar, masing-masing 5,1 juta hektar dan 4,1 juta hektar.
Sebagai pembanding, luas seluruh kebun sawit Indonesia mencapai 14,2 juta hektar. Ada pun jumlah hutan Indonesia yang hilang pada 2001-2021 mencapai 10 juta hektar.
Kerusakan hutan UE mengakibatkan 81 persen habibat hewan dalam kondisi memprihatinkan. Jumlah dan spesies lebah, burung, dan kupu-kupu terus menurun. Padahal, hewan-hewan itu penting dalam produksi pangan di alam.
LSM di UE, Partnership for Policy Integrity (PFPI) pernah menemukan bahwa UE kehilangan 25 persen areal penyerap emisi karbonnya. Kehilangan itu menyebabkan UE tidak bisa memenuhi target penyerapan emisi karbon 2030.
Hutan dan lahan hutan ditetapkan UE sebagai penyerap karbon. Sayangnya, kebutuhan kayu bakar membuat pembabatan hutan dan pemanfaatan lahan gambut meningkat. Kini, 60 persen sumber energi terbarukan UE berupa kayu bakar, lempengan serbuk kayu dan serbuk gambut. Dengan kata lain, energi dari angin dan matahari masih dikalahkan kayu bakar. “Jelas ada hubungan antara penebangan untuk kayu bakar dan kehilangan lahan penyerap karbon,” demikian disimpulkan PFPI.
UE tetap menggunakan kayu bakar, meski dampaknya lebih buruk dari batubara yang semakin dijauhi Brussels. Penggunaan kayu bakar dan lempengan serbuk kayu terus meningkat selepas perang di Ukraina.
Kini, tinggal 38 persen lahan UE masih berupa hutan. Di lahan yang tersisa itu, hutan terus dibabat terutama untuk kayu bakar dan perabotan rumah tangga. Dalam laporan The New York Times pada 7 September 2022, UE membabat hutan konservasi untuk dijadikan kayu bakar dan lempengan serbuk kayu. Sejak 2016, laju penebangan hutan untuk produksi kayu bakar terus meningkat.
Selain untuk kayu bakar, sebagian hutan UE digunduli agar bisa menjadi lahan pertanian. Salah satu komoditas yang ditanam adalah aneka tanaman untuk menghasilkan minyak nabati. Produktivitas komoditas minyak nabati UE jauh di bawah sawit. Meski menghasilkan 40 persen minyak nabati global, sawit hanya memakai enam persen dari keseluruhan lahan untuk produksi minyak nabati global. Butuh hingga 10 kali luas lahan sawit untuk menghasilkan minyak nabati dalam jumlah yang sama jika menggunakan biji bunga matahari. Adapun jika menggunakan kedelai, jumlah lahannya empat kali lebih banyak dari sawit.
Aturan Lain
Penolakan EPP disampaikan setelah UE mengesahkan Undang-undang Anti Penggundulan Hutan (EUDR). Parlemen Eropa secara jelas menyatakan, EUDR menyasar aneka produk impor yang dituding merusak hutan. Indonesia dan Malaysia menolak EUDR yang dinilai secara spesifik dirancang menyasar produk andalan mereka ke pasar UE.
Dalam acara di Singapura pekan lalu, Direktur Jenderal Lingkungan pada Komisi Eropa Astrid Schomaker berharap Indonesia-Malaysia mau berunding soal EUDR. Ia berharap Indonesia tidak menyuarakan penolakan pada EUDR kepada publik.
Sejak EUDR digagas pada 2021, Jakarta-Kuala Lumpur sudah menolaknya. Indonesia-Malaysia memandang EUDR sebagai bentuk lain upaya UE menghambat produk Jakarta-Kuala Lumpur.
Brussels pernah mengenakan tarif antidumping untuk biodiesel Indonesia. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menetapkan tarif itu ilegal dan harus dicabut. Kini, Indonesia-Malaysia menggugat UE dengan tudingan menghambat produk sawit.
Dalam laporan Financial Times pada Maret 2023, kerisauan Indonesia sebenarnya bisa dimaklumi. Pada 2011-2016, Indonesia setuju menyertifikasi produk olahan kayunya sesuai standar UE. Belum sampai lima tahun sejak sertifikasi itu, UE malah membuat aturan baru yang sama sekali berbeda. EUDR membuat aturan lama tidak berlaku dan karenanya menghasilkan ketidakpastian. Karena itu, Indonesia dan Malaysia menilai EUDR sebagai wujud hambatan dagang.