Militer AS Sulit Menaklukkan China
Jika AS tetap memilih bermusuhan dan permusuhan itu menjelma menjadi konflik nyata, kalkulasi sekarang menunjukkan AS akan kewalahan.
Lewat berbagai simulasi perang, disimpulkan bahwa militer AS hampir mustahil bisa menghadapi militer China. Jika Laksamana John Aquilino, Komandan Komando Indo-Pacific AS, mengatakan yakin bisa mengatasi militer China, itu hanya bual. Aqulino memang menjadi potret sikap keras sebagian kalangan di AS, bahkan paling keras dalam 40 tahun terakhir.
Jeremy Mark dari Atlantic Council, kepada CNBC, 15 Juni 2023, mengatakan bahwa sikap menentang China sekarang ini paling solid baik dari kubu Demokrat dan Republikan. Akan tetapi, jika perang terjadi dengan China, termasuk demi membela Taiwan, Mark mengatakan, ”Kemampuan berperang sekadar pernyataan yang lebih keras dari kenyataan.”
Pilihan AS berdasarkan keseimbangan kekuatan militer sekarang ini hanyalah memilih jalan damai. Sebab, besar risiko AS akan dipermalukan jika mencoba menghadapi serangan militer China. Lagi pula, China sepanjang waktu menawarkan win-win solution, hidup bertetangga dekat atau jauh dengan harmonis.
Jika AS tetap memilih bermusuhan dan permusuhan itu menjelma menjadi konflik nyata, kalkulasi sekarang menunjukkan AS akan kewalahan. Hasil investigasi televisi Sky News Australia, 15 Februari 2023, termasuk lewat wawancara dengan berbagai sumber, kesimpulannya adalah AS dan sekutunya tidak siap berperang dengan China. Menteri Pertahanan Bayangan (Shadow Defence Minister) Australia Andrew Hastie berkata, ”Saya kira kita tidak siap perang. Maka kita perlu berbicara demi perdamaian.”
Baca juga : Berkeras Dukung Taiwan, AS Berisiko Kehilangan Armada Perang
Potensi AS dipermalukan jika perang terjadi juga tergambar dalam tulisan berjudul ”The Pentagon Is Freaking Out About a Potential War With China (Because America might lose)” oleh Michael Hirsh, mantan editor Newsweek di situs Politico, 9 Juni 2023. Hirsh menyarikan opini dari berbagai kalangan. Kesimpulannya sama: militer AS tidak siap berperang dengan China.
Simulasi perang
Kesimpulan tersebut juga didasarkan pada berbagai simulasi perang yang telah dilakukan berbagai kalangan di AS. Dalam simulasi itu, asumsinya adalah China atas inisiatif sendiri digambarkan menyerang Taiwan. Pesawat dan roket China bisa menghancurkan dengan cepat sebagian besar Angkatan Laut dan Angkatan Udara Taiwan lewat pasukan amfibi besar-besaran.
Jika militer AS datang menolong Taiwan, Beijing akan turut menyerang seluruh pangkalan udara serta kapal perang AS dan sekutunya di Indo-Pasifik. Menurut Sky News Australia, sasarannya, antara lain, pangkalan militer AS di Alaska, Hawaii, Guam, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Diego Garcia, menurut Sky News Australia.
Baca juga : China Genjot Kemampuan Patroli Kapal Selam
Lewat simulasi itu disebutkan, AS berhasil menandingi, tetapi hanya untuk sementara waktu. AS akan mengerahkan kapal selam yang lebih canggih. Pesawat pengebom siluman B-21 dan B-2 memasuki zona pertahanan udara China. Akan tetapi, Washington segera kehabisan amunisi dalam hitungan hari dan mengalami jaringan militer yang terputus. Amerika Serikat dan sekutu utamanya, Jepang, kehilangan ribuan prajurit, puluhan kapal, dan ratusan pesawat. Ekonomi Taiwan turut hancur.
Mengamati potensi perang, pihak AS menilai China sudah mengantisipasi kuat jauh-jauh hari. ”China telah mengunci kita dari berbagai penjuru,” kata Jenderal John Hyten, mantan Wakil Kepala Pasukan Gabungan AS, dalam satu laporan. ”China sudah tahu persis apa yang hendak dilakukan sebelum kita melakukan serangan balasan,” kata Hyten, seperti dikutip situs Defense One, 26 Juli 2022.
Puluhan skenario
Puluhan skenario perang telah disusun dalam beberapa tahun terakhir. Skenario terakhir disusun pada April 2023 oleh House Select Committee. AS disebutkan bisa melakukan serangan balik yang lebih efisien dari segi biaya. Dalam skenario ini, AS menggunakan kekuatan rudal dari udara ke permukaan berjangkauan jauh. Akan tetapi, stok rudal segera habis dalam beberapa hari. Saat bersamaan sebagian besar pesawat AS di daratan Indo-Pasifik hancur.
Dalam semua skenario perang itu, AS diasumsikan tidak berperang hanya dengan menekan tombol dari pesawat pada ketinggian 30.000 kaki, seperti yang dilakukan AS saat menyerang Irak (Perang Teluk). Kini musuh AS adalah China yang juga memiliki kekuatan tombol-tombol dari udara. China sudah mengantisipasi pola serangan mirip ke Irak atas dirinya.
Baca juga : China Gelar Latihan Pendaratan Amfibi di Laut China Selatan
Jim Molan, mantan senator Australia dan veteran mayjen, mengatakan bahwa China memiliki kekuatan jaringan informasi lewat satelit yang kini sangat penting dalam perang. China memiliki lebih dari 360 satelit di seluruh dunia.
China memiliki kekuatan jaringan informasi lewat satelit yang kini sangat penting dalam perang.
Maka dari itu, AS harus melakukan perang campuran dengan pola konvensional. Akan tetapi, perang dengan pola ini akan berdarah-darah dan mengerikan. Dari jumlah personel tentara, China memiliki 2 juta lebih anggota pasukan, sementara AS memiliki sekitar 1,4 juta personel.
AS kini memiliki kurang dari 300 kapal perang, China memiliki 340 kapal perang. China juga unggul dalam jumlah pesawat tempur. Yang jelas, jika perang terjadi sekarang, mungkin AS sudah terlambat untuk menyamai China dalam pertempuran kapal perang versus kapal perang, juga pesawat tempur versus pesawat tempur.
Kini China menguasai sekitar 45-50 persen dari total pembuatan kapal perang secara global, sementara AS memiliki kurang dari satu persen. ”Melihat angka-angka itu, jelaskan kepada saya, bagaimana AS bisa memenangi perlombaan pembuatan kapal tradisional dengan China?” demikian Christian Brose, mantan asisten senior mendiang Senator John McCain.
Lokasi jauh
Hal paling penting untuk diingat adalah China bertarung di kandang sendiri, sementara AS memasuki pertarungan tandang. ”Jadi kita harus membawa lebih banyak pasukan dan peralatan yang tentu menjadi beban,” kata Becca Wasser, pemimpin penyusunan skenario perang di bawah arahan House Select Committee dan juga kepala laboratorium simulasi perang pada Center for a New American Security.
Mendatangkan pasukan untuk dikumpulkan di satu titik dekat China juga tidak aman dalam situasi sekarang ini. Hyten mengatakan, ”Tanpa melebih-lebihkan persoalan, aksi itu akan gagal total. Sebuah tim merah agresif (China) telah mempelajari AS selama 20 tahun terakhir. Mereka tahu persis apa yang akan kita lakukan sebelum kita melakukan serangan,” kata Hyten.
Baca juga : Selat Taiwan Selalu Tegang, Akankah Berujung dengan Perang?
Satu pelajaran penting, AS diasumsikan berperang bersama sekutunya. Mengumpulkan kapal tempur, pesawat tempur, dan pasukan lain untuk berkonsentrasi guna menyatukan kekuatan tempur, juga sekutu menjadi sasaran empuk.
”Kita selalu bertindak menyeluruh untuk melawan musuh, dan bertindak menyeluruh untuk bertahan hidup. Akan tetapi, di dunia sekarang ini, dengan rudal hipersonik, lewat tembakan jarak jauh yang signifikan dan datang dari semua domain, jika Anda dikumpulkan dan semua orang tahu di mana Anda berada, Anda rentan,” kata Hyten.
Inti dari semua skenario perang yang telah disusun adalah AS perlu mengambil langkah antisipatif sekarang di Indo-Pasifik untuk memastikan konflik tidak terjadi. ”Kita sangat tertinggal jauh di belakang kurva,” kata Becca Wasser.
Persenjataan minim
Dari sisi AS, terkait skenario perang dengan China, muncul pendapat bahwa AS tidak memiliki stok amunisi dan persenjataan baru yang meyakinkan. Washington tiba-tiba melihat fakta lain bahwa industrinya tidak kuat. Ditemukan begitu banyak bagian dari amunisi, komponen pesawat, dan kapal perang yang sangat dibutuhkan justru diproduksi di luar negeri, termasuk di China.
Banyak komponen motor roket, selongsong peluru, peralatan mesin, sekering dan elemen precursor, dan bahan peledak dibuat di China dan India. Pesawat jet tempur F-35 AS yang baru, misalnya, mengandung komponen magnet yang dibuat dengan paduan eksklusif di China.
Di luar aspek itu ditemukan pula bahwa tenaga terampil dan berpengalaman di bidang produksi senjata domestik AS sangat kurang. AS telah mengurangi para pekerja di sektor pertahanan menjadi sepertiga dari jumlah pada 1985. ”Ada sekitar 17.000 perusahaan yang telah meninggalkan industri tersebut,” kata David Norquist, Presiden National Defense Industrial Association.
Baca juga : China Kini Produsen Amunisi Terbesar Kedua Dunia
Di sisi lain, China dan negara-negara lain, yang tidak semuanya bersahabat bagi AS, telah membuat dan memasok banyak barang persenjataan sekarang.
Selama beberapa dekade banyak orang dengan pemikiran delusi berpikir bahwa China menjadi ”pemangku kepentingan” yang bersahabat dalam sistem internasional yang damai. Washington dengan sembrono menyerahkan pembuatan kapal, suku cadang pesawat terbang, dan papan sirkuit ke China dan negara dengan upah tenaga kerja murah.
China juga benar-benar mendominasi peralatan mesin dan mineral langka, bahan penting untuk pembuatan rudal dan amunisi, serta litium yang digunakan dalam baterai, kobalt, dan aluminium serta titanium yang digunakan dalam semikonduktor.
Beijing telah mencapai kemajuan besar dalam pembuatan bahan peledak. Sementara itu, sebagian besar bahan peledak militer AS dibuat di satu pabrik Angkatan Darat yang sudah tua di Tennessee. Majalah Forbes mengutip Christian Brose, mantan asisten senior mendiang Senator John McCain, pada Maret 2023 yang mengatakan, ”Saat China melakukan industrialisasi, kita melakukan deindustrialisasi.”
Banyak kelemahan
”Semakin Anda menggali lebih dalam, semakin banyak masalah yang Anda lihat,” kata seorang pakar senior pertahanan dari kubu Demokrat di Senat AS yang tidak mau disebutkan namanya. ”Ini sebagian besar merupakan efek dari program pasca-Perang Dingin yang difokuskan pada efisiensi perang.
”Sejak Perang Teluk, kita berharap terlalu banyak pada amunisi pintar lewat udara. Kita tidak merasa membutuhkan persediaan amunisi atau mendapati diri kekurangan suku cadang. Jadi kita sendiri telah mengurangi ruang gerak,” kata sumber itu.
Semua masalah ini merupakan efek ”kebutaan tentang China”. (Mike Studeman)
Pada sebuah konferensi militer pada 2023, Kepala Intelijen Angkatan Laut AS Laksamana Muda Mike Studeman menyebut, semua masalah ini merupakan efek ”kebutaan tentang China”. Ia mengatakan, ”Sangat meresahkan melihat betapa AS tidak menghubungkan titik-titik atas tantangan nomor satu kita, yakni China.”
Beberapa pejabat intelijen dan pertahanan AS khawatir bahwa Beijing memahami ketidaksiapan AS dengan sangat baik. China dapat mencoba mengeksploitasinya dengan menyerang atau memblokir Taiwan dalam beberapa tahun ke depan. Awal tahun ini, Direktur Badan Pusat Intelijen AS (CIA) Bill Burns mengatakan, AS percaya bahwa Presiden China Xi Jinping telah memerintahkan militernya untuk siap menyerang Taiwan pada tahun 2027.
Baca juga : Jenderal Senior AS Peringatkan, Konflik dengan China Bisa Meletus Tahun 2025
Pada April 2023, militer China telah menyelesaikan latihan pertempuran skala besar selama tiga hari di sekitar Taiwan. Pasukan China berlatih memblokade pulau itu dan mengatakan ”siap berperang… kapan saja dan dengan tegas menghancurkan segala niat untuk 'kemerdekaan Taiwan', demikian juga upaya campur tangan asing.”
Latihan dan pernyataan China itu bertujuan menanggapi pernyataan AS yang siap mempersenjatai Taiwan. Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa pesawat jet tempur China berupaya mengganggu pesawat militer AS di atas Laut China Selatan.
Namun, kecuali konfrontasi terkait Taiwan, Presiden Xi Jinping dan pejabat senior China lainnya mengatakan, mereka tidak menginginkan perang dengan AS. Hal ini turut dikatakan Xi kepada Biden pada pertemuan bilateral terakhir mereka di Bali pada November 2022.
Meski demikian, jika perang terjadi, China sangat kuat dalam rudal hipersonik buatan domestik, area utama kemajuan China. Para pejabat AS khawatir, Beijing berusaha menggunakan rudal hipersonik untuk menggusur kapal dan pangkalan AS keluar dari jarak yang dekat di kawasan Asia-Pasifik.
”Kita berada dalam jendela bahaya maksimum,” ujar Brose, yang selama bertahun-tahun telah memperingatkan bahaya dari China dan Rusia. Ia mengatakan, inti dari seluruh masalah ini sudah terbentuk dalam beberapa dekade.
Pakai senjata nuklir?
Jika Amerika Serikat tidak dapat mengelola penangkal konvensionalnya melalui cara-cara— modernisasi cepat, produksi bersama, dan amunisi yang dipercepat—AS mungkin harus bergantung pada opsi ketiga: senjata nuklir. Sejauh ini, penggunaan senjata nuklir itu merupakan opsi paling menakutkan.
Ide ini pernah muncul dalam krisis besar Taiwan terakhir di era Perang Dingin. Pada tahun 1958, para jenderal AS pernah mengancam dengan serangan nuklir di China daratan. Langkah ini akan menewaskan jutaan orang.
Ini tahun 2023, di mana China juga memiliki kekuatan nuklir. Tidak bisa dibayangkan jika kedua belah pihak bertarung dengan kekuatan nuklir masing-masing. Maka benar, pilihannya adalah damai. (REUTERS/AP/AFP)