Sejak Perjanjian Abraham ditandatangani antara Israel dan beberapa negara Arab, negara-negara Arab Teluk menjadi pelanggan rudal dan persenjataan Israel.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
TEL AVIV, KAMIS — Penjualan persenjataan Israel ke negara-negara Arab Teluk yang bergabung dalam Perjanjian Abraham (Abraham Accords) meningkat drastis dalam dua tahun terakhir. Ketegangan geopolitik, termasuk di Timur Tengah, menjadi alasan negara-negara itu memperkuat persenjataan mereka.
Namun, masih menjadi pertanyaan, apakah dengan perjanjian tersebut negara-negara Arab Teluk itu memperoleh akses lebih pada persenjataan Amerika Serikat.
Perjanjian Abraham ditandatangani pada September 2020 di Gedung Putih, Washington DC, AS, antara Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain, disaksikan Presiden AS 2017-2021 Donald Trump sebagai mediator. Maroko dan Sudan menyusul bergabung, beberapa bulan kemudian.
Kementerian Pertahanan Israel, Kamis (15/6/2023), mencatat, penjualan persenjataan ke negara-negara penanda tangan Perjanjian Abraham menembus 2 miliar dollar AS. Sejak Perjanjian Abraham disepakati, Israel mengekspor 25 persen dari penjualan persenjataan mereka ke empat negara tersebut.
Pada 2022, nilai ekspor persenjataan Israel ke empat negara itu adalah 2,96 miliar dollar AS. Angka ini melonjak lebih dari tiga kali lipat dari nilai ekspor tahun 2021, yaitu 853 juta dollar AS. Adapun total nilai ekspor senjata Israel adalah 12,5 miliar dollar AS.
”Ketegangan geopolitik di kawasan maupun tingkat global terus meningkat sehingga wajar jika kita semua ingin memperkuat pertahanan. Negara-negara sahabat melakukannya dengan bekerja sama dengan Israel,” kata Eyal Zamil, salah satu direktur jenderal pada Kementerian Pertahanan Israel.
Tercatat, negara-negara penanda tangan Perjanjian Abraham membeli pesawat nirawak, rudal, roket, dan sistem artileri pertahanan udara (arhanud) dari Israel. Israel memiliki sejumlah sistem arhanud yang terkenal. Akhir-akhir ini, sistem pertahanan udara Kubah Besi (Iron Dome) Israel kerap diberitakan mampu menangkal serangan-serangan rudal kelompok Hamas di Jalur Gaza dan Hezbollah di Lebanon.
Selain itu, Israel juga memiliki sistem arhanud yang dikembangkan Rafael dan dikabarkan bisa mencegah serangan rudal hipersonik. Sistem persenjataan canggih ini akan diperlihatkan pada Pameran Udara Paris, pekan depan.
Pembeli persenjataan Israel juga datang dari Eropa. Parlemen Jerman telah menyetujui rencana Kementerian Pertahanan Jerman untuk membeli sistem arhanud Arrow 3 dari Israel seharga 4,3 miliar dollar AS.
Perlombaan senjata
Ketika Perjanjian Abraham ditandatangani, banyak pihak memperingatkan risiko peningkatan ketegangan di Timur Tengah. Peringatan ini, antara lain, dilontarkan peneliti pada Pusat Kebijakan Publik (CIP) di Washington, William Hartung.
”Perjanjian ini sejatinya adalah kontrak jual-beli senjata yang berkedok normalisasi hubungan. Ini justru akan memicu perlombaan senjata di Timur Tengah,” jelasnya kepada BBC, November 2020,
Hartung memaparkan, hal ini karena UEA dan Bahrain memiliki kecemasan menghadapi Iran. Apalagi, Iran juga memiliki nuklir. UEA sejak lama menginginkan membeli pesawat jet tempur F-35 dan pesawat nirawak MQ-9 Raptor dari AS.
Hambatannya, sejak Perang Israel-Arab 1973, AS membuat kebijakan mendukung pertahanan Israel. Melalui kebijakan itu, Washington memastikan bahwa Israel memiliki kapasitas militer yang lebih kuat dan lebih canggih dibandingkan dengan negara-negara tetangganya di Timur Tengah.Baca juga : Knesset Ratifikasi Kesepakatan Damai UEA-Israel, Hubungan Dagang Dimulai
AS sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda akan mengabulkan keinginan UEA. Namun, sikap Israel sudah melunak. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada tahun 2020, seperti dilansir dari media Israel, Yedioth Ahronot, menyatakan tidak keberatan apabila UEA membeli F-35 dari AS. Sikapnya itu memunculkan ketegangan antara Netanyahu dan saingan-saingan politiknya, termasuk Benny Gantz yang ketika itu menjabat menteri pertahanan.
Para pakar politik Timur Tengah mengkhawatirkan, apabila UEA dan Bahrain memperoleh persenjataan lebih canggih lagi dari AS, permusuhan dengan Iran semakin meruncing. Selain itu, UEA merupakan sekutu Arab Saudi dan mendukung serangan ke Yaman guna mengalahkan para pemberontak Houthi.
Ada dugaan jika UEA memperoleh F-35 dan Raptor, persenjataan ini bisa dijual kembali atau dihibahkan ke Arab Saudi untuk digunakan menyerang Yaman. (AFP)