Terjalnya Jalan Menuju Perundingan Damai Rusia-Ukraina
Duta Besar Rusia untuk Indonesia mengungkapkan, tawaran perundingan damai dengan Ukraina banyak, tetapi mewujudkannya sulit.
JAKARTA, KOMPAS — Perang antara Rusia dan Ukraina telah berkecamuk hampir 1 tahun 6 bulan. Berbagai tawaran mediasi dan jalan keluar dari konflik seolah gugur sebelum sempat tumbuh dan berbunga. Kompas mewawancarai Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva, Rabu (14/6/2023), untuk melihat konteks perundingan damai dari persepsi Moskwa.
Ditemui di Wisma Rusia di Jakarta, Vorobieva mengatakan, Rusia tidak menolak tawaran perundingan damai dari negara mana pun. Menurut dia, Rusia juga terus mengajak Ukraina untuk bertemu di meja negosiasi guna menyelesaikan perang yang telah memakan ribuan korban jiwa dari kedua pihak.
”Kami menyayangkan keputusan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengeluarkan Dekrit Oktober 2022 yang menolak perundingan damai dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Ini menjadi preseden buruk yang menghalangi berbagai upaya negosiasi yang ditawarkan oleh Rusia dan pihak-pihak lain,” tutur Vorobieva.
Zelenskyy mengeluarkan dekrit tersebut, berisi penolakan negosiasi dengan Putin, setelah Putin mengumumkan empat wilayah Ukraina yang diduduki pasukannya—Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson—sebagai bagian dari Rusia pascareferendum yang digelar Rusia secara unilateral.
Baca juga: Momentum Normandia atau Solusi Timor untuk Ukraina
Vorobieva mengatakan, bulan Maret 2023 delegasi kedua negara bertemu di Istanbul, Turki, untuk berunding. Namun, perundingan itu tidak membuahkan hasil apa pun karena delegasi Ukraina meninggalkan ruangan konferensi.
Mengenai pertemuan tersebut, media Ukraina tidak menyebut keluarnya delegasi negara mereka. Hanya disebutkan, tidak ada terobosan dalam negosiasi saat itu. Pada KTT G20 di Bali, melalui sambungan video, Zelenskyy menyampaikan 10 poin proposal damai dengan Rusia, antara lain, berisi penarikan mundur pasukan Rusia dan pengembalian wilayah-wilayah yang diduduki Rusia.
Rusia menolak proposal yang diajukan Zelenskyy. Hingga kini, berbagai tawaran penyelesaian konflik dari sejumlah juga belum diterima Rusia dan Ukraina. Dalam Dialog Pertahanan Shangri-la di Singapura, awal Juni, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto menawarkan model penyelesaian konflik berbasis pengalaman Indonesia, Semenanjung Korea, dan beberapa konflik di sejumlah negara.
Ukraina mengatakan menghargai tawaran dari Prabowo tersebut. Namun, konteks model itu dinilai tidak sesuai dengan keadaan dan kebutuhan penyelesaian konflik di Ukraina. Kyiv pun menolak solusi dari Prabowo.
Adapun Rusia, menurut Vorobieva, tidak mengemukakan keberatan atau penolakan. Sesuai arahan Moskwa, Rusia akan mempertimbangkan tawaran-tawaran dari negara-negara sahabat dan para pakar selama diajukan secara resmi kepada mereka. Selain Prabowo, Indonesia sebagai negara sahabat, China, Turki, dan Brasil juga telah mengemukakan tawaran perundingan damai masing-masing.
Baca juga: Ukraina Lancarkan Serangan Balik
Ditanya mengenai perundingan damai dengan memasukkan empat wilayah Ukraina yang diduduki Rusia—Kherson, Zaporizhzhia, Luhansk, dan Donetsk—ke dalam negosiasi, Vorobieva mengatakan, Rusia tidak akan melakukannya. Argumennya adalah keempat wilayah itu, terutama Luhansk dan Donetsk, sejak tahun 2014 telah mengumumkan diri memisahkan diri dari Ukraina dan Rusia mendukungnya.
Secara hukum, Rusia menganggap memiliki landasan karena para pemimpin di Luhansk dan Donetsk—yang diakui kemerdekaannya oleh Moskwa—meminta bantuan militer Rusia guna mengatasi persekusi atas mereka dari militer Ukraina. Dalam surat pengakuan kemerdekaan Luhansk dan Donetsk, Rusia menjanjikan mengirim bantuan jika diminta.
”Ini bagian dari upaya Rusia membantu kelompok etnis minoritas di Ukraina untuk melakukan denazifikasi,” tutur Vorobieva.
Pemakaian istilah ”denazifikasi” sangat kuat dalam penjelasan Vorobieva. Ia mengatakan, sejak tahun 2014 pemerintahan Ukraina sangat anti terhadap Rusia, termasuk kepada warga negara Ukraina keturunan Rusia. Padahal, baik Rusia dan Ukraina sama-sama dari kelompok etnis Slavik. Namun, muncul narasi yang menomorsatukan bahwa bangsa Ukraina lebih superior daripada Rusia.
Ini yang oleh Vorobieva dikategorikan sebagai narasi kebangsaan Ukraina yang terpengaruh oleh paham Nazi dari peninggalan Perang Dunia II. Fakta bahwa ada banyak politikus Ukraina yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Yahudi, termasuk Presiden Zelenskyy, menurut Vorobieva, tidak menegasikan bahwa pandangan Kyiv kini berlandaskan superioritas kelompok tertentu.
Baca juga: Dam Jebol, Rusia-Ukraina Saling Tuding
Dalam wawancara dengan ABC News, yang dikutip laman Ukraina, Ukrinform, 8 Maret 2022, Zelenskyy menyebut istilah denazifikasi yang dilontarkan Rusia. Menurut dia, istilah itu merupakan kedok Putin untuk melancarkan perang terhadap Ukraina.
”Denazifikasi dalam hal ini murni nazisme, penghancuran negara Ukraina. Hal sama terjadi pada tahun 1940-an di Jerman. Mereka melakukan denazifikasi orang Yahudi. Rusia sedang melakukannya saat ini,” ujar Zelenskyy kala itu.
Wujud diskriminasi sebagai kelanjutan anti-Rusia tersebut, kata Vorobieva, ialah pelarangan ekspresi budaya Rusia yang mencakup bahasa Rusia. Padahal, bagi warga negara Ukraina di selatan itu, bahasa Rusia adalah bahasa ibu mereka.
Vorobieva mengatakan, diskriminasi itu berujung pada persekusi dan genosida di Luhansk dan Donetsk. Menurut catatan Moskwa, selama delapan tahun konflik wilayah itu terjadi, ada 14.000 warga keturunan Rusia yang tewas. Oleh sebab itu, Moskwa mengatakan tidak akan diam saja.
Ini mengacu kepada fakta bahwa militer Rusia yang pertama kali memasuki wilayah Ukraina dan oleh dunia internasional dikategorikan sebagai invasi. Disebut ”invasi” karena melanggar batas geografis negara yang disepakati oleh dunia di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mengenai hal itu, Vorobieva menerangkan bahwa selain persoalan di Luhansk dan Donetsk ini juga ada persoalan Ukraina mengumumkan ingin menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Ini sangat mengancam pertahanan dan keamanan Rusia. Surat keberatan Rusia tidak digubris oleh Ukraina dan NATO. Oleh sebab itu, Moskwa memutuskan untuk menurunkan pasukan terlebih dulu ke Luhansk dan Donetsk meskipun menurut Piagam PBB adalah wilayah Ukraina. Ini berdasarkan prinsip menyerang dulu sebelum diserang.
Baca juga: Ukraina-Rusia Saling Sangkal Soal Serangan di Donetsk
”Perlu ditekankan bahwa masyarakat di Luhansk dan Donetsk telah memilih secara resmi untuk memisahkan diri dari Ukraina. Masyarakat pula yang meminta bantuan dari Rusia. Semua tercantum di Perjanjian Minsk 2014. Pertanyaannya ialah kenapa referendum di wilayah itu tidak diakui secara internasional?” kata Vorobieva. Berdasarkan hal ini, Moskwa berkeras Luhansk, Donetsk, Kherson, dan Zaporizhia tidak akan ditawar lagi di negosiasi.
Vorobieva juga menampik tuduhan bahwa Rusia menyerang Bendungan Kakhovka hingga jebol. Rusia dan Ukraina hingga sekarang saling menuduh bahwa bendungan itu sengaja dirusak oleh pihak berlawanan. Selain menimbulkan kerugian material dan memaksa warga kedua negara diungsikan, jebolnya Bendungan Kakhovka juga mendatangkan bencana alam karena ekosistem tersebut rusak.
”Rusia tidak akan merugikan warga sendiri demi meraih kemenangan. Makanya, selama operasi militer pun pasukan kami maju perlahan. Tidak pakai bom tandan ataupun bom karpet yang menghancurkan permukiman, tetapi menyerang titik-titik militer. Peledakan Bendungan Kakhovka ini jelas terorisme karena mengincar masyarakat sipil,” ujarnya.
Sementara itu, Zelenskyy mengunggah di akun Twitter bahwa pihaknya melakukan penyelidikan mengenai negara-negara yang memproduksi komponen persenjataan Rusia. Hasil penyelidikannya akan dipakai untuk menunjukkan bahwa mereka turut bertanggung jawab atas kehancuran dan penderitaan rakyat Ukraina sehingga diharapkan bisa membantu menghentikan suplai senjata ke Moskwa.
Bilateral dengan Indonesia
Mengenai hubungan bilateral Rusia dengan Indonesia, Vorobieva mengatakan, hubungan itu berjalan dengan kuat dan erat. Neraca perdagangan kedua negara di tahun 2022 mencapai 30 miliar dollar AS dan terus berpotensi meningkat. Rusia juga mendukung persepsi Indo-Pasifik yang digarap oleh Indonesia dan diperkuat di Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Menurut dia, konsep Indo-Pasifik dari Indonesia ini mengutamakan kesetaraan, inklusivitas, dan dialog. Ini berbeda dengan konsep yang ditawarkan negara-negara Barat yang berisi pengisolasian pihak-pihak tertentu, antara lain China dan Korea Utara. Sistem geopolitik multilateral ini merupakan hal positif karena dinamika global tidak lagi ditentukan oleh negara adidaya saja.
”Indonesia juga membuka kesempatan baru bagi pebisnis Rusia. Sejak kami dikenakan sanksi, Indonesia menjadi tujuan baru dalam investasi dan perdagangan,” kata Vorobieva.
Sejak Desember 2022, Rusia mengadakan perundingan Uni Ekonomi Eurasia (EEU) dengan Indonesia. Anggota organisasi kawasan ini selain Rusia adalah Belarus, Kazakhstan, Armenia, dan Kirgistan. Mereka tengah merapatkan kemungkinan membuka zona perdagangan bebas dengan Indonesia. Apalagi, komoditas EEU dengan Indonesia komplementer atau saling melengkapi.
Baca juga: Serangan Lintas Batas Ukraina Mulai Berpengaruh Mendikte Rusia
Vorobieva juga mengatakan, dirinya baru kembali dari Surabaya, Jawa Timur. Di sana, ia meresmikan prasasti Monumen Kapal Selam Pasopati. Kapal ini adalah buatan Soviet yang ada tahun 1963 diberikan kepada Indonesia. Monumen itu, katanya, adalah salah satu lambang kedekatan kedua negara. Rusia juga mengirim tiga kapal selam untuk mengikuti latihan militer Komodo 2023.