Proses pemungutan suara berlangsung hingga pukul 20.00 waktu Kuwait atau pukul 24.00 WIB. Proses demokrasi di Kuwait memperlihatkan keterbukaan negara-negara kerajaan Teluk yang secara umum dikenal konservatif.
Oleh
B JOSIE SUSILO HARDIANTO dari KUWAIT CITY
·4 menit baca
KUWAIT CITY, KOMPAS – Pemilihan umum anggota Majelis Nasional Kuwait, Selasa (6/6/2023) berjalan lancar. Di tengah panasnya udara awal musim panas, sekitar 45 derajat Celsius, warga silih berganti mendatangi tempat pemungutan suara yang umumnya menggunakan ruang-ruang kelas sejumlah sekolah. Pemilih laki-laki di Distrik Dasma, Kuwait misalnya memberikan hak pilihnya di empat TPS di SMA Bibi Al Salem Al Sabah. Sementara itu pemilih perempuan memilih di SMA Salem Al Senan. Panasnya suhu udara membuat banyak warga mendatangi TPS pada sore hari.
Proses pemungutan suara berlangsung hingga pukul 20.00 waktu Kuwait atau pukul 24.00 WIB. Selanjutnya panitia pemilu akan menghitung perolehan suara dan hasilnya diprakirakan akan muncul pada Rabu pagi. Sejumlah nama seperti Marzouq Al Ghanim dari Daerah Pemilihan II disebut-sebut menjadi salah satu kandidat yang diunggulkan.
Selain terkenal dalam dunia bisnis, keluarga Al Ghanim merupakan keluarga politisi ternama di Kuwait. Al Ghanim sebelumnya pernah menjadi ketua Majelis Nasional Kuwait pada tahun 2013-2016, 2016-2020, dan 2020-2022. Saat ditemui di sebuah sekolah di Dahya, Marzouq Al Ghanim tengah menyambut para pendukungnya. Di tempat yang sama, seorang kandidat perempuan, Alia Al Khaled juga tampak berbincang-bincang dengan warga.
Seorang pemilih mula, Fauz (26) mengatakan mereka membutuhkan sosok politisi yang mampu meningkatkan kesejahteraan publik terutama layanan di bidang kesehatan dan pendidikan. Selain itu, mereka juga membutuhkan sosok pemimpin yang mampu mengoptimalkan kekuatan ekonomi. Meskipun ditopang oleh pendapatan besar dari sektor migas, Kuwait memerlukan sumber pendapatan baru baik dari sektor pariwisata dan perdagangan.
Tantangan
Peneliti dari Institut Timur Tengah, Universitas Nasional Singapura, Clemens Chay mengatakan, harapan warga itu menyiratkan salah satu tantangan yang dihadapi Kuwait saat ini. Meskipun mapan secara ekonomi, Kuwait dibayangi oleh krisis politik. Terkait pemilu kali ini Chay juga menyoroti animo warga yang memberikan suara. Ia mengkhawatirkan jumlah pemilih yang hadir menggunakan hak pilihnya.
“Pemilu yang berulang, tiga kali dalam dua tahun terakhir, berpotensi membuat warga lelah,” kata Chay. Pada pemilu terakhir tahun 2022 lalu, jumlah pemilih yang hadir kurang lebih sebanyak 60 persen dari jumlah total pemilik suara. Tahun ini tercatat, total ada 793.646 pemilik hak suara di Kuwait.
Ada sejumlah analisis, bila Majelis Nasional hasil pemilu kali ini kembali diisi oleh sosok-sosok yang cenderung “oposan” pada kebijakan eksekutif, Kuwait akan kembali terpasung pada eskalasi antara Majelis Nasional dan eksekutif. Ketegangan antara kedua lembaga dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan Kuwait terperosok dalam krisis politik.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, krisis politik itu memicu pembubaran Majelis Nasional dan pengulangan pemilu. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir, ada tiga pemilu Majelis Nasional dilakukan. Pertama pada tahun 2020, kedua pada tahun 2022, dan ketiga pada tahun 2023.
Meskipun demikian, praktik demokrasi di Kuwait oleh sejumlah kalangan dinilai sebagai luar biasa. Proses demokrasi memperlihatkan keterbukaan negara-negara kerajaan Teluk yang secara umum dikenal konservatif.
Asisten Wakil Menteri Kementerian Informasi Kuwait bidang media asing, Mazen Ali Alansari mengatakan, Kuwait terus berupaya meningkatkan praktik demokrasi. Ia mengapresiasi keterlibatan perempuan yang semakin besar dalam demokratisasi di Kuwait. “Saat ini ada 13 kandidat perempuan dari 207 kandidat anggota Majelis Nasional. Kami berharap akan semakin banyak kandidat perempuan dalam pemilu di masa depan,” kata Alansari.
Indonesia
Dihubungi terpisah, Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Indonesia, Bagus Hendraning Kobarsih mengapresiasi penyelenggaraan pemilu di Kuwait. Pemilu itu menurutnya memperlihatkan kepeloporan Kuwait di kawasan dan menegaskan keterbukaan Kuwait. Meskipun proses itu tidak mudah, diwarnai jatuh bangun, dengan kesabaran demokrasi di Kuwait akan makin matang. “Kuwait dapat mengembangkan praktik demokrasi ala Teluk,” kata Bagus.
Bagi Indonesia, menurut Bagus, penting untuk nantinya berdialog lebih dekat dengan Pemerintah Kuwait dan anggota Majelis Nasional yang terpilih. Hal itu penting untuk meningkatkan dan memperkuat kerja sama kedua negara, antara lain di bidang ketenagakerjaan dan energi.
Dengan iklim kerja yang baik, aman dan didukung oleh tingkat penggajian yang memadai, Kuwait adalah salah satu tujuan pekerja Indonesia. Bagus mengatakan, Kuwait membutuhkan banyak tenaga kesehatan terampil, dan sebagian diantaranya telah diisi oleh perawat dari Indonesia.
Ditemui terpisah Duta Besar RI di Kuwait, Lena Maryana mengatakan, saat ini ada sekitar 7.000 warga Indonesia di Kuwait. Selain bekerja di sektor kesehatan, sejumlah warga Indonesia bekerja di sektor migas, perhotelan dan restoran, serta spa. Sejak tahun 2015, Indonesia tidak lagi mengirim tenaga kerja di sektor domestik ke Kuwait.