Tercatat ada 207 kandidat, terdiri dari 13 kandidat perempuan dan 194 kandidat laki-laki. Pemilu legislatif digelar kembali setelah sebelumnya pada April lalu Emir Kuwait Nawaf al-Ahmad Al-Sabah membubarkan Parlemen.
Oleh
B JOSIE SUSILO HARDIANTO dari KUWAIT CITY
·3 menit baca
Kuwait City, Kompas – Menjelang pemilihan anggota parlemen atau Dewan Nasional, Kuwait memasuki masa tenang. Pemilu legislatif untuk memilih anggota Dewan Nasional akan digelar Selasa (6/6/2023). Proses pemungutan suara dimulai pada pukul 08.00 hingga pukul 20.00.
Merujuk dari data Kantor Pemberitaan Internasional, Kementerian Informasi Kuwait disebutkan, dalam pemilu Dewan Nasional Kuwait kali ini tercatat ada 207 kandidat, terdiri dari 13 kandidat perempuan dan 194 kandidat laki-laki. Hak suara dan hak untuk dipilih bagi perempuan telah ditetapkan oleh Pemerintah Kuwait sejak April 2006.
Sementara itu, sebanyak 793.646 warga tercatat memiliki hak suara. Para pemilik suara akan memberikan suara untuk memilih 50 anggota Dewan Nasional. Mereka mewakili lima wilayah atau daerah perwakilan, dengan masing-masing wilayah diwakili oleh 10 kandidat peraih suara terbanyak.
Setiap warga pemilik suara hanya dapat memberikan suaranya untuk seorang kandidat dari wilayah perwakilannya. Dalam pemilu kali ini, tercatat ada 406.895 pemilih perempun dan sisanya sebanyak 386.751 pemilih laki-laki. Pemilik suara ada warga Negara Kuwait berusia 21 tahun ke atas dan berada di Kuwait.
Krisis politik
Pemilu Dewan Nasional digelar kembali setelah sebelumnya, Emir Kuwait Nawaf al-Ahmad Al-Sabah, dalam pidato yang dibacakan oleh Putra Mahkota pada 17 April 2023 membubarkan parlemen dan pemilu baru akan segera digelar.
"Sesuai dengan Konstitusi, kami telah memutuskan untuk membubarkan Majelis Nasional 2020, yang dipulihkan kembali oleh keputusan Mahkamah Konstitusi," kata Putra Mahkota Meshal al-Ahmad al-Jaber Al-Sabah.
Krisis politik itu antara lain dipicu oleh konflik antara parlemen dan eksekutif – dimana sejumlah anggota kabinet – untuk sejumlah posisi kunci – dipilih oleh keluarga Al-Sabah. Kantor Berita Reuters menyebutkan, keluarga Al-Sabah memiliki ‘”cengkeraman kuat” pada kehidupan politik di negeri itu.
Sementara, parlemen diisi oleh sejumlah kalangan pebisnis dan profesional. Pada Maret lalu, Mahkamah Konstitusi Kuwait membatalkan hasil pemilu legislatif yang diadakan pada Agustus tahun lalu. Saat itu banyak kursi di parlemen dimenangkan oleh oposisi. MK kemudian memulihkan kembali parlemen tahun 2020 yang sebelumnya juga dibubarkan. Namun, parlemen itu kembali dibubarkan oleh perintah Emir Kuwait pada 17 April lalu.
Pemilu Dewan Nasional yang digelar pada Selasa besok merupakan yang ketujuh dalam 10 tahun terakhir. Krisis politik itu dinilai dapat berdampak serius pada upaya reformasi ekonomi Kuwait.
Sebagaimana beberapa negara maju di Teluk, seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi, Kuwait pun ingin mengembangkan sumber-sumber baru di luar minyak bumi. Kuwait antara lain berencana mengembangkan pusat teknologi untuk kewirausahaan berbasis digital, serta pengembangan kawasan olah raga Kota Olimpiade di area seluas 213.600 meter persegi di Distrik Jaber Al-Ahmad.
Stabilitas politik menjadi penting untuk menuntaskan beragam proyek raksasa itu. "Kita harus bangun dan menghadapi frustrasi besar ini," kata Sheikha al-Jassem, seorang aktivis dan pemikir Kuwait. “Kehidupan politik perlu diatur dengan lebih baik,”kata Jassem.
Menurutnya, komitmen Kuwait pada demokrasi kurang dan demokrasi yang tengah dijalankan kurang lengkap. Perselisihan antara parlemen dan eksekutif sering terjadi ketika anggota parlemen ingin menanyai menteri tentang sejumlah isu seperti korupsi atau manajemen keuangan publik yang buruk.
Kepada Kantor Berita AFP, analis Kuwait Ayed al-Manaa mengatakan sejumlah politisi atau mereka yang berkecimpung di dunia politik "kurang percaya diri". Kuwait menurutnya sejatinya telah lelah dengan situasi tersebut. Ia pun khawatir pemilu legislatif kali ini juga akan berujung sama dengan pemilu sebelumnya di mana pemerintah mengundurkan diri dan parlemen dibubarkan.
Kebuntuan semacam ini akan berdampak negatif pada investasi dan reformasi ekonomi Kuwait. Meskipun demikian, di sisi lain, dinamika politik di Kuwait memperlihatkan proses berdemokrasi yang belum banyak terjadi di negara-negara Teluk lainnya.