Astronot Makan Apa di Luar Angkasa?
Selama menjelajahi ruang angkasa, gizi astronot musti terpenuhi. Namun, tak semua makanan boleh dikonsumsi di luar angkasa, seperti roti dan es krim.
Masih ingat film fiksi sains (sci-fi) tahun 2015 berjudul The Martian yang dibintangi aktor Matt Damon? Di film itu, Damon berperan sebagai astronot yang harus bertahan hidup di ruang angkasa dengan makan kentang yang dibudidayakan dengan menggunakan kotorannya sendiri ketika terdampar di Planet Merah.
Kali ini bukan hanya kisah fiksi di film. Sejumlah perusahaan dan lembaga penelitian yang mendukung program luar angkasa Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) betul-betul sedang meneliti budidaya makanan di luar angkasa. Bahkan, kini tidak hanya kotoran manusia saja yang sedang diteliti, tetapi juga sampai pada urusan napas astronot.
Perusahaan Air Company di Brooklyn, AS, yang membuat bahan bakar penerbangan karbon-negatif, sedang mengembangkan cara mendaur ulang karbon dioksida yang diembuskan astronot selama berada di ruang angkasa untuk menumbuhkan nutrisi berbasis ragi. Tujuannya, agar makanan yang dikonsumsi astronot lebih berprotein, apalagi bagi astronot yang menjalankan misi luar angkasa dalam jangka panjang. Inovasi ini menempatkan Air Company di final kontes yang disponsori NASA, Deep Space Food Challenge, untuk mendorong pengembangan teknologi demi memenuhi kebutuhan makanan astronot.
”Ini jelas lebih bergizi ketimbang minuman jeruk Tang,” kata salah satu pendiri dan Direktur Teknologi Air Company Stafford Sheehan, Senin (29/5/2023). Tang adalah merek minuman jeruk dalam bentuk bubuk yang dipopulerkan di AS pada 1962 oleh John Glenn ketika ia menjadi orang AS pertama yang mengorbit Bumi.
Baca juga: Salam ”Ni Hao Ma” dari Luar Angkasa
Sheehan yang bergelar doktor kimia fisis dari Universitas Yale itu awalnya mengembangkan teknologi konversi karbon sebagai alat untuk memproduksi alkohol dengan kemurnian tinggi untuk bahan bakar jet, parfum, dan vodka. Dalam kontes ini, Sheehan memodifikasi penemuannya sebagai cara untuk memproduksi protein, karbohidrat, dan lemak yang dapat dimakan dari sistem yang sama.
Minuman protein sel tunggal ini memiliki konsistensi, seperti protein whey shake atau protein yang terdapat pada sisa susu yang dihasilkan dalam produksi keju berbentuk bubuk. Ia membandingkan rasanya dengan seitan atau makanan mirip tahu terbuat dari gluten gandum yang berasal dari masakan Asia Timur dan diadopsi oleh para vegetarian sebagai pengganti daging. ”Ada rasa yang manis, hampir terasa seperti malt atau biji gandum,” kata Sheehan.
Selain minuman berprotein, proses yang sama dapat digunakan untuk membuat lebih banyak pengganti roti, pasta, dan tortilla yang kaya karbohidrat. Demi variasi kuliner, bisa juga dibuat menu minuman smoothies dengan menggunakan bahan pangan lain yang diproduksi secara berkelanjutan.
Teknologi untuk mendaur ulang karbon dioksida bernama Airmade itu sudah dipatenkan Air Company. Selain Air Company, ada juga perusahaan lain, seperti laboratorium di Florida yang menggunakan sistem bioregeneratif untuk memelihara sayuran segar, jamur, dan bahkan larva serangga yang digunakan sebagai zat gizi mikro. Ada juga proses fotosintesis buatan yang dikembangkan di California untuk membuat bahan nabati dan jamur. Dari Finlandia ada teknologi fermentasi gas untuk menghasilkan protein bersel tunggal.
Tahan lama
Menjaga agar kebutuhan gizi semua astronot bisa tetap terjaga untuk waktu yang lama dalam kondisi lingkungan tanpa gravitasi di ruang angkasa sudah sejak lama menjadi tantangan NASA. Selama dua dekade terakhir, para kru di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) hidup dengan pola makan yang sebagian besar berupa makanan kemasan dengan beberapa produk segar yang dikirimkan pada misi pasokan ulang reguler.
Tim ISS juga sudah bereksperimen dengan menanam sayuran di orbit, termasuk selada, kol, kangkung, dan cabai. Tantangan bertambah karena ada keharusan memproduksi makanan secara mandiri dan rendah limbah, terutama ketika NASA mau kembali mengirimkan astronot ke Bulan dan melakukan eksplorasi ke Mars dan sekitarnya. Misi ke luar angkasa dalam waktu yang lebih lama otomatis membutuhkan ketersediaan makanan yang cukup bagi astronotnya.
”Sumber makanan yang tumbuh dari kotoran manusia itu bukan sumber nutrisi lengkap yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Itu ide ekstrem untuk film Hollywood saja,” kata Manajer Produksi Tanaman Ruang Angkasa di Kennedy Space Center NASA di Florida Ralph Fritsche.
Sistem Sheehan dianggap lebih masuk akal dan bisa diaplikasikan. Sistemnya dimulai dengan mengambil gas karbon dioksida dari udara yang dihirup astronot dan mencampurnya dengan gas hidrogen yang diekstrak dari air melalui elektrolisis. Campuran alkohol dan air yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam ragi dalam jumlah kecil untuk menumbuhkan pasokan protein sel tunggal dan nutrisi lainnya yang terbarukan.
Intinya, kata Sheehan, karbon dioksida dan hidrogen membentuk bahan baku alkohol untuk ragi dan ragi adalah makanan untuk manusia. ”Kami tidak membuat produk baru atau memperbarui produk yang ada. Hanya membuat produk yang ada sekarang ini menjadi lebih berkelanjutan,” ujarnya.
Baca juga: Rp 40 Triliun untuk Mendaratkan Manusia di Bulan
Merencanakan makanan untuk misi berawak ke Mars dengan membuat umur simpan lebih lama ini yang masih menjadi masalah besar NASA. Untuk saat ini, makanan di ISS memiliki umur simpan 18 bulan hingga tiga tahun. Ilmuwan Pemimpin Teknologi Pangan Tingkat Lanjut di Johnson Space Center NASA Grace Douglas kepada CNN mengatakan, makanan bagi astronot harus memiliki ketahanan hingga lima tahun karena sudah harus tersedia sebelum astronot sampai di sana dan mengonsumsi makanannya hingga mereka kembali ke Bumi.
Pada 2015, awak ISS menjadi yang pertama mengonsumsi makanan yang tumbuh di luar angkasa, yakni selada romaine merah. Tanaman akan menjadi bagian integral dari misi berawak tidak hanya untuk konsumsi nutrisi, tetapi juga untuk menghasilkan oksigen dan mengolah gas limbah. Makanan tidak lagi harus dikirimkan dalam bentuk akhir yang bisa dikonsumsi.
ISS menjadi rumah astronot sejak tahun 2000. Biasanya 3-6 astronot dan kosmonot tinggal selama enam bulan di dalam area yang tidak lebih besar dari rumah dengan enam kamar tidur. Sekitar enam bulan sebelum peluncuran, astronot menghabiskan beberapa hari untuk mencicipi dan menilai menu dari 200 jenis makanan di laboratorium makanan Johnson Space Center.
Menurut Jennifer Levasseur, kurator di Museum Dirgantara dan Luar Angkasa Smithsonian, setiap astronot masing-masing memiliki nampan yang dikemas dengan makanan pilihan mereka. Mereka bisa meminta makanan ringan, makanan pembuka, atau bahkan bumbu favorit dari menu standar untuk ”wadah bonus” pribadi mereka selama memenuhi persyaratan mikrobiologis dan umur simpan. Mereka juga bisa meminta makanan khusus. Yang sering diminta adalah tortilla. Saat ini, di ISS, AS menyediakan sekitar setengah dari makanan, dan negara lain, terutama Rusia, menyediakan sisanya.
Astronot tidak harus membawa semua persediaan makanannya selama enam bulan di ISS karena kendaraan pemasok makanan akan datang setiap beberapa bulan. Satu-satunya kulkas di ISS digunakan untuk menyimpan eksperimen biologi sehingga semua makanan harus disimpan dalam rak selama minimal 18 bulan. Pendingin kecil disiapkan agar astronot bisa makan dan minum minuman dingin.
Makanan bisa terasa berbeda di luar angkasa. Kurangnya gravitasi menyebabkan fenomena yang dikenal sebagai perpindahan cairan yang bisa membuat kepala terasa sesak dan memengaruhi indra penciuman dan perasa. Aroma juga bisa hilang. Karena inilah, astronot cenderung menyukai makanan yang berbumbu. Di dalam ISS tersedia banyak bumbu yang semuanya dalam bentuk cair.
Aturan ketat
Untuk urusan makanan ini, tidak ada toleransi. Makanannya harus bebas remuk, ringan, mudah disiapkan dan dikonsumsi, tahan lama tanpa perlu lemari pendingin, dan bergizi. Tortilla menjadi pilihan alternatif karena roti yang mudah remuk tidak diperbolehkan. Makanan pertama di antariksa mulai ada ketika kosmonot Rusia, Yuri Gagarin, ke luar angkasa pada 1961. Waktu itu, Gagarin makan bubur daging dalam wadah seperti pasti gigi.
Tahun berikutnya, NASA mengirim misi Mercury dan John Glenn yang menjadi orang AS pertama yang makan di luar angkasa. Ia memakan daging sapi semicair dengan sayuran yang disimpan di dalam wadah aluminium. Ada juga serpihan jagung yang dihancurkan dan gandum yang dibentuk menjadi kubus seukuran gigitan dan dilapisi gelatin agar tidak hancur. Selain itu, ada pula makanan beku-kering yang divakum, seperti udang kering, salad kentang, dan jus apel. Sebelum dimakan, bungkusan itu harus diisi air dulu.
Sejak misi Apollo 11 pada 1969, ransum bagi astronot dinaikkan menjadi 2.800 kalori per hari. Dispenser air panas dipasang sehingga tidak perlu lagi makan dengan meremas-remas makanan dalam bentuk pasta dari wadah seperti pasta gigi. Bentuk makanan baru juga dikenal sebagai ”paket basah”.
Makanan siap saji yang stabil secara termal ini tidak perlu direhidrasi karena mempertahankan kandungan airnya. Makanan kemasan basah lebih menarik karena konsistensinya lebih mirip dengan makanan biasa meskipun sedikit lebih lengket sehingga makanan lebih menyatu tanpa ada serpihan yang terlepas.
Astronot Apollo 11 pada waktu itu menu makanannya spageti dengan saus daging, roti sosis, dan sup ayam. Ada juga makanan kaleng, tetapi lebih berat dan tidak efisien dalam penyimpanan. Makanan selama satu minggu untuk satu astronot saja harus bisa muat dalam wadah yang ukurannya sama dengan tiga kotak sepatu.
Baca juga: Kisah Besar Gagarin dan Memudarnya Kejayaan Eksplorasi Luar Angkasa Rusia
Situs Kennedy Space Center menyebutkan, makanan kemasan astronot mirip dengan makanan ”Meals Ready to Eat (MREs)” yang biasa dikonsumsi tentara AS. Kemasan ini masih digunakan sampai sekarang, hanya kualitas rasa, tekstur, dan pilihan menu yang semakin ditingkatkan. Kebanyakan orang tidak membayangkan gravitasi akan bisa memengaruhi indera perasa. Ternyata iya, meski secara tidak langsung.
Ketika melayang di lingkungan gaya berat mikro, jaringan di tubuh kita menjadi lebih tersebar secara merata. Ini menyebabkan astronot mengalami wajah bengkak atau lebih bulat. Karena gravitasi pula, astronot susah membaui dan merasa sehingga makanan terasa berbeda atau agak hambar meski makanan itu sudah sangat berbumbu.
Agak mirip dengan ketika kita mengonsumsi makanan di pesawat. Karena alasan itu, astronot sering kali lebih suka makanan dengan rasa yang kuat, terutama rasa manis, asin, pahit, dan pedas. Para peneliti masih berupaya meningkatkan soal rasa ini agar astronot tak hilang nafsu makan dan kembali ke Bumi dalam kondisi kurus kurang gizi. (REUTERS)