Tatanan Baru Timur Tengah
Penerimaan kembali Suriah dalam Liga Arab menjadi bukti bahwa rezim Bashar Al Assad tak mampu ditumbangkan. Selain itu, normalisasi juga bukti bahwa pengaruh AS sudah mulai berkurang, tersaingi oleh Rusia dan China.
Riyadh, Arab Saudi, telah menjadi rumah ke dua bagi Hiba Sidawi, warga Suriah. Perempuan berusia 37 tahun ini tengah menantikan momen kedatangan Bashar Al Assad, pemimpin Suriah. Assad ke Riyadh untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab. Ini adalah kehadiran Assad untuk pertama kalinya di pertemuan puncak Liga Arab setelah 11 tahun dikucilkan.
Sidawi menyebut momen itu penting tidak hanya bagi dirinya tapi jutaan warga Suriah, baik yang masih ada di negara itu maupun yang di pengungsian. Kehancuran fisik, ekonomi, dan psikologis, mendera negara itu dan warganya selama belasan tahun.
“Sungguh menyakitkan bila kami mengunjungi Suriah sekarang ini dan melihat keluarga yang masih ada di sana. Perang tidak memberi kami apapun selain kehancuran,” kata Sidhawi.
Respon berbeda diungkapkan seorang pelayan Cafe Damascus di Riyadh. Ia mempertanyakan sikap negara-negara Arab yang terkesan meminggirkan masalah kemanusiaan yang timbul di Suriah. Ia berpendapat persoalan itu disebabkan Assad yang berkuasa lebih dari satu dekade.
"Bagaimana saya bisa optimistis? Setiap kali saya melihat wajahnya (Assad), saya ingat berapa banyak rakyat Suriah yang tidak berdosa tewas karena dia. Apakah dia akan menghidupkan kembali kekasih kita yang meninggal? Apakah dia akan menyembuhkan rasa sakit dan luka kita?,” katanya dengan nada tinggi.
Ahmed Abdulwahab, seniman asal Suriah dan menjadi penampil di kafe tersebut mengatakan, dia mencoba bersikap positif terhadap perkembangan terbaru di negaranya. “Dulu kami dibiarkan sendiri. Sekarang kami kembali bersama,” katanya.
Abdulwahab berharap kali ini benar-benar terjadi perubahan positif setelah Suriah kembali ke pelukan Liga Arab. Walau begitu, dia mengakui bahwa dampak perang saudara selama belasan tahun tidak bisa begitu saja dihilangkan dari benaknya dan juga benak rakyat yang menjadi korban.
"Setiap orang Suriah, ketika Anda berbicara dengan mereka tentang negara mereka, Anda melihat air mata di mata mereka. Ini lebih dari kesedihan. Sepertinya hatimu terbakar,” ujarnya.
Houaida Muhi Aldeen, warga Suriah yang kini tinggal di pengasingannya di Perancis, mengatakan, dirinya dan rakyat Suriah yang menjadi korban rezim Assad tidak akan tinggal diam. Aldeen, yang meyakini suaminya dibunuh oleh rezim Assad pada 2014, bersumpah bahwa dia dan jutaan korban Assad, tidak akan kembali selama laki-laki itu masih berkuasa.
"Setiap warga Suriah yang menderita akibat rezim ini bisa mengajukan tuntutan dan kami akan mengajukannya. Bahkan jika seluruh dunia mendukungnya (rezim Assad), kami akan membawanya ke pengadilan," katanya.
Sementara itu, wajah Bashar Al Assad semringah ketika menjejakkan kaki di tempat berlangsungnya KTT Liga Arab di Jeddah, Arab Saudi, Jumat (19/5/2023). Ini adalah kunjungan pertamanya ke Arab Saudi dalam satu dekade terakhir. Dia berjabat tangan dengan sejumlah kepala negara yang dulu pernah membuat keputusan mengucilkan negaranya. Mereka berpelukan dan berjabat tangan.
Wajahnya semakin berseri-seri ketika berjabat tangan dengan Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS). Keduanya juga saling menempelkan pipi sebagaimana kebiasaan di Arab saat mengawali perjumpaan. Selanjutnya, kedua pemimpin duduk dan berbincang empat mata.
Ini adalah peristiwa simbolis berakhirnya permusuhan Arab Saudi dan Suriah, sekaligus pertanda dibukanya lembaran baru hubungan kedua negara serta dimulainya lagi hubungan Suriah dengan Liga Arab. Suriah bukan lagi paria dunia Arab.
Kesabaran dan ketenangan, adanya kesetiaan dari militer, serta dukungan dari Rusia dan Iran membuat Assad mampu bertahan dari tekanan, baik dari sesama negara Arab maupun negara-negara Barat.
”Bertahun-tahun setelah seluruh dunia menuntut dia pergi dan mengira dia akan digulingkan, hari ini dunia ingin berdamai dengannya. Assad tahu bagaimana memainkan permainan panjang,” kata politisi veteran Lebanon, Karim Pakradouni.
Pengucilan Suriah dari dunia Arab dimulai setelah demonstrasi di kota kecil di selatan Damaskus bernama Daraa atau Dar’a pada 2011. Dari sebuah pamflet yang bertuliskan ”Tumbangkan Rezim Bashar Assad”, gerakan untuk menjatuhkan Assad menular ke kota-kota lain di seantero Suriah. Gerakan itu menyambung dengan gerakan-gerakan Musim Semi Arab.
Awalnya adalah persoalan ekonomi-sosial yang berkembang menjadi masalah politik-keamanan melibatkan pemerintah melawan oposisi. Pemerintah Suriah secara politik dan militer didukung oleh Iran dan Rusia, kelompok Hezbollah yang berbasis di Lebanon, dan kelompok-kelompok lain.
Sementara oposisi Suriah yang direpresentasikan oleh Koalisi Nasional Suriah mendapatkan dukungan dana, logistik, politik, dan militer dari Amerika Serikat (AS) serta negara-negara Sunni di Timur Tengah, yakni Arab Saudi, Qatar, dan Turki. Perancis dan Inggris tak ketinggalan ikut AS dalam konflik itu.
Konflik yang awalnya internal itu dengan cepat berkembang dan berlarut-larut karena melibatkan kekuatan-kekuatan besar di dunia dan Timur Tengah. Mengutip The Guardian per Oktober 2015, John McCain yang saat itu masih hidup dan menjabat sebagai senator menyatakan, AS terlibat dalam perang proksi melawan Rusia di Suriah.
Sampai dengan hari ini, konflik dan perang saudara di Suriah menewaskan lebih dari setengah juta jiwa. Separuh dari warga Suriah hingga kini mengungsi di berbagai negara.
Posisi geografis Suriah sangat strategis di Timur Tengah. Negara itu memiliki perbatasan dengan Laut Mediterania yang memiliki sejarah panjang hubungan peradaban Islam dan Eropa. Laut Mediterania timur juga memiliki cadangan gas besar yang kini tengah diperebutkan oleh beberapa negara, di antaranya Turki.
Suriah berbatasan dengan Irak di timur, Jordania di selatan, Lebanon dan Israel di barat, dan Turki di utara. Hal ini, antara lain, membuat negara ini menjadi pintu gerbang negara-negara Arab pendukung Palestina ke wilayah Israel.
Melihat situasi di dunia Arab dan Timur Tengah saat ini tidak banyak orang yang bisa membayangkan bahwa perubahan sangat cepat terjadi. Asisten Sekretaris Jenderal Liga Arab Khaled Manzlawiy, dikutip dari harian Asharq Al Awsat menyebut di tengah situasi global yang berbahaya, peta hubungan internasional, khususnya di Timur Tengah, sedang ditulis ulang.
Perjanjian Abraham yang disponsori oleh AS menjadi salah satu faktor yang mewarnai dinamikanya. Perjanjian itu secara normatif meletakkan dasar normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab.
Sejumlah normalisasi sudah mulai dibangun. Namun, sejak pemerintahan sayap kanan Israel pimpinan Benjamin Netanyahu kembali berkuasa, muncul pesimisme. Sejumlah insiden kekerasan antara Israel dan Palestina kembali menggoyang stabilitas keamanan kawasan.
Pandemi Covid-19 dan perang di Ukraina juga dinilai sebagai hal yang turut mengubah situasi di Timur Tengah. Covid-19 yang meluluhlantakkan ekonomi dunia, termasuk ekonomi Arab Saudi dan negara-negara kaya minyak di Timur Tengah, membuat pemerintah negara-negara itu segera mengambil tindakan untuk menata ulang ekonominya. Salah satunya dengan mengurangi ketergantungan terhadap minyak. Sejak perang di Ukraina, harga minyak melambung, Namun ini dinilai hanya sementara.
Hubungan AS dan Arab Saudi dalam beberapa tahun terakhir kian renggang seiring sejumlah rentetan peristiwa. AS misalnya menolak menjual senjata ke Arab Saudi. Sementara Arab Saudi dan sejumlah negara penghasil minyak menolak permintaan AS agar menambah produksi minyak guna menurunkan harga.
Persoalan ini membuat Pangeran Salman dan pemerintah Arab Saudi mengalihkan pandangannya ke Rusia dan China. Padahal, AS membutuhkan dukungan Riyadh untuk menekan pendapatan minyak Rusia dan berharap tekanan itu bisa membawa Kremlin ke meja perundingan. Sementara Arab Saudi membutuhkan uang untuk menunjang program-prorgamnya, terutama Visi Arab Saudi 2030.
Normalisasi hubungan negara-negara Arab dan Suriah sendiri telah mulai diupayakan oleh beberapa negara, seperti Irak, Mesir, Yordania, dan Uni Emirat Arab (UEA) setidaknya sejak dua tahun terakhir. Selain merasa bahwa menumbangkan Assad yang didukung Iran dan Rusia sudah tidak mungkin lagi, ada faktor-faktor kepentingan internal yang melandasi sikap mereka.
Yordania misalnya yang ingin menghentikan perdagangan obat bius Captagon, yang nilainya mencapai miliaran dollar AS. Uang hasil penjualan obat bius ini diduga digunakan antara lain untuk sumber pendanaan rezim Assad.
Menteri Luar Negeri Mesir Samer Shoukry menyebut, cara militer untuk menciptakan perdamaian tidak efektif lagi. Dalam pandangannya, tidak ada pemenang atau yang kalah dalam konflik yang telah merobek kehidupan warga Suriah. Shoukry bahkan menyatakan bahwa upaya normalisasi adalah cara bangsa Arab untuk mencari solusi politik tanpa campur tangan asing.
Robert Malley, CEO International Crisis Group, saat sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Oktober 2020 pernah mendorong keterlibatan negara-negara Arab yang lebih luas untuk berdialog dan mendinginkan situasi di kawasan. Malley, yang kini menjadi Penasihat Khusus Timur Tengah Presiden AS Joe Biden menyatakan, dampak tereduksinya persoalan keamanan di TImur Tengah akan mendorong situasi lebih kondusif, termasuk yang kini tengah diupayakan Washington, yaitu persoalan nuklir Iran.
James M Dorsey, peneliti senior di S. Rajaratnam School of International Studies-Nanyang Technological University Singapura, dikutip dari laman Responsible Statecraft, mengatakan, normalisasi oleh Arab Saudi dan Liga Arab dengan Suriah adalah pilihan logis. Sebab, selama lebih dari satu dekade mereka dibingungkan oleh berbagai pernyataan dan tindakan pemerintah AS yang dinilai meragukan. Ini terutama merujuk pada komitmen AS pada stabilitas keamanan kawasan.
Keputusan ini diambil setelah negara-negara Arab menilai bahwa Washington telah gagal mendefinisikan dan mengkomunikasikan secara efektif komitmennya terhadap keamanan kawasan. Fakta yang terjadi di lapangan berbeda dengan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan para pejabat Gedung Putih.
“Dan, kekuatan menengah seperti Arab Saudi, tidak ingin terjebak dalam Perang Dingin baru yang membuat mereka dipaksa harus menyesuaikan diri dengan salah satu pihak,” katanya.
Stephen A Cook, peneliti senior di Council of Foreign Relation (CFR), dikutip dari lama Foreign Policy, mengatakan, Arab Saudi khususnya dan negara-negara Arab mulai memilih bersikap lebih independen terhadap Washington, yang akan mendorong perekonomian kawasan menjadi lebih baik. Dengan situasi saat ini, terutama ketika pengaruh AS mulai redup di kalangan negara-negara Arab, Cook mengusulkan agar Gedung Putih mengubah haluannya di wilayah itu dan mengejar kerja sama di bidang lain, selain keamanan.
“Jika Washington akan bersaing dengan Beijing dan Moskow, dan jika akan memerangi ekstremis, mencegah proliferasi nuklir, dan membantu warga Timur Tengah memerangi perubahan iklim, pembuat kebijakan AS akan memiliki peluang sukses yang lebih besar (untuk unggul),” katanya. (AP/AFP/REUTERS)