Pita Limjaroenrat, dari Bangku Harvard hingga Jadi Motor Musim Semi Bangkok
Popularitas Pita Limjaroenrat, politisi muda di Thailand, meningkat seiring aspirasi perubahan yang diusung partainya. Tempaan kerasnya politik beberapa tahun terakhir memberinya bekal menuju kursi perdana menteri.
Di kancah politik Thailand, Pita Limjaroenrat (42) terbilang bintang baru yang sedang naik daun. Partai yang dipimpinnya, Partai Bergerak Maju (Move Forward Party/MFP), telah menorehkan catatan baru dalam sejarah politik Thailand. MFP menjadi semacam ”jalan ketiga (third way)” di tengah rivalitas antara pendukung monarki—lebih dikenal dengan kubu ”kaus kuning”—dan pendukung Thaksin Shinawatra (kubu ”kaus merah”).
Selama beberapa dekade terakhir, cerita dan perjalanan politik Thailand dibentuk oleh pertarungan antara dua kubu tersebut. Pada tahun ini, sejarah politik negeri itu ditulis ulang oleh kemenangan spektakuler MFP dalam pemilu, Minggu, 14 Mei 2023. MFP tampil sebagai pemenang, meraup dukungan 14,1 juta dari total 52 juta pemilih, dan meraih 152 dari 500 kursi Majelis Rendah di parlemen.
Adapun partai-partai pengusung kandidat militer, yakni Partai Palang Pracharat (pengusung kandidat Wakil PM Prawit Wongsuwan (77) dan Partai Persatuan Bangsa Thailand atau UTN (pengusung kandidat PM Prayuth Chan-ocha), terpuruk dengan perolehan secara berurutan 40 kursi dan 36 kursi. Dalam pergolakan politik di Thailand, militer adalah garda penjaga monarki dan, dengan demikian, kerap berada di belakang kubu kaus kuning.
Di daerah pemilihan Bangkok, kurang empat kursi lagi Partai Bergerak Maju menyapu bersih perolehan seluruh kursi parlemen pusat dari ibu kota. ”Inilah Musim Semi Bangkok,” sebut Surachart Bamrungsuk, pakar politik dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, kepada televisi The Nation, yang dikutip media Jepang, The Japan Times.
Sebutan itu mengutip istilah ”Musim Semi Praha”, yang merujuk pada liberalisasi politik di Cekoslowakia pada tahun 1960-an saat ”para tokoh militer melompat keluar dari tank-tank mereka dan naik ke truk-truk untuk berkampanye dengan penuh percaya diri, tetapi mereka dilibas oleh perlawanan para pemilik suara”.
Baca juga: Menangkan Oposisi, Rakyat Thailand Pilih Perubahan
Tajuk rencana koran Thailand, Bangkok Post, melukiskan gelombang perubahan yang didambakan rakyat Thailand lewat pemilu dengan ungkapan menarik. ”Angkatan bersenjata bisa saja melancarkan kudeta berulang kali dengan senjata di tangan mereka,” tulis koran itu, ”tetapi rakyat biasa pada akhirnya akan mengirim mereka kembali ke barak hanya dengan kertas dan pena”.
”Hasil pemilu hari Minggu itu seharusnya menjadi pengingat bagi militer Thailand bahwa tank-tank bisa membantu tentara memenangi pertempuran di garis depan, tetapi tidak bisa (menolong mereka) dalam permainan demokrasi,” lanjut Bangkok Post.
Meski kemenangan partainya tidak serta-merta mengantarkan Pita duduk di kursi perdana menteri, sukses tersebut telah mencatatkan sejarah tersendiri. Sebelum pemungutan suara, banyak kalangan memperkirakan kemenangan akan jatuh ke partai oposisi lainnya, Pheu Thai, pimpinan Paetongtarn Shinawatra, putri miliarder dan mantan PM Thaksin Shinawatra.
Dalam lima pemilu sebelumnya, Pheu Thai selalu menang meski belakangan selalu dihadang atau digulingkan dari pemerintahan. Kali ini partai klan Shinawatra berada di peringkat kedua di bawah MFP dengan perolehan 141 kursi. Seusai penghitungan suara, Pheu Thai mengumumkan berkoalisi dengan MFP dan empat partai lainnya.
Gabungan mereka menghasilkan koalisi dengan 310 kursi di parlemen. Perolehan itu sebenarnya sudah mewakili mayoritas di Majelis Rendah parlemen dan semestinya sudah cukup untuk membentuk pemerintahan mayoritas berdasarkan mandat kehendak rakyat Thailand di pemilu. Namun, ini adalah Thailand.
Di negara itu, militer memiliki rekam jejak menggulingkan pemerintahan hasil pemilu. Terakhir, kudeta militer tersebut dilancarkan pada 2014. Pascakudeta, militer menyusun konstitusi, antara lain berisi pembentukan Senat beranggotakan 250 anggota—tanpa dipilih lewat pemilu—yang ditunjuk oleh junta. Ke-250 anggota Senat ikut memegang kartu dan menentukan siapa yang akan jadi PM.
Pemilihan PM ditentukan mayoritas gabungan 500 anggota Majelis Rendah dan 250 anggota Senat yang ditunjuk militer. Butuh 376 kursi bagi koalisi yang digalang Pita dan Partai Bergerak Maju untuk mengamankan kursi PM dan membentuk pemerintahan.
Baca juga : Gelombang Perubahan di Thailand
Koalisi mereka bakal aman jika mampu merangkul Partai Bhumjaithai pimpinan Menteri Kesehatan Anutin Charnvirakul (pemilik 70 kursi) dan Partai Demokrat (25 kursi). Sementara Demokrat sebelumnya berada di kubu pemerintahan dukungan militer, Bhumjaithi telah menegaskan menolak agenda Partai Bergerak Maju untuk mengamendemen undang-undang monarki.
Batu sandungan lain yang bisa mengganjal Pita adalah ancaman diskualifikasi jika Komisi Pemilihan Umum Thailand menerima pengaduan yang diarahkan padanya bahwa ia memegang saham sebuah perusahaan media sebelum kampanye. Sesuai aturan, anggota parlemen dilarang memiliki saham media jika mencalonkan diri dalam pemilu. Diskualifikasi pernah dialami partai pendahulunya, Partai Partai Maju Masa Depan (Future Forward Party/FFP), dan ketuanya, Thanathorn Juangroongruangkit, pada 2020.
Melalui cuitan di Twitter, 9 Mei 2023, yang dilansir media The Nation Thailand, Pita menyatakan dia bukan pemilik saham media, seperti yang dituduhkan, melainkan hanya penerima warisan dan manajer pengelola saham peninggalan mendiang ayahnya. Ia menambahkan, dirinya juga memberi tahu hal tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi Thailand.
Baca juga: Duet Monarki-Militer Hadang Arus Perubahan di Thailand
Banyak duri dan batu sandungan mengadang langkah Pita. Namun, ujar Pita saat ditanya perihal tersebut, Senin (15/5/2023), ”Saya tidak khawatir, tetapi saya tidak gegabah.”
Suara perubahan
Siapa sebenarnya Pita Limjaroenrat, sosok politisi muda cerdas dan cemerlang yang tampil sebagai motor—mengutip sebutan Surachart Bamrungsuk dari Universitas Chulalongkorn—Musim Semi Bangkok?
Pita memulai karier politiknya saat ia terpilih menjadi anggota parlemen dari Partai Maju Masa Depan (Future Forward Party/FFP) pada 2019. Partai itu didirikan oleh Thanathorn Juangroongruangkit, miliarder dan pengritik keras militer. Pada pemilu 2019, partai tersebut tampil cemerlang, menempati peringkat ketiga di bawah Partai Palang Pracharat dan Pheu Thai. Platform dan visi gerakannya adalah mendorong perubahan di ranah politik Thailand.
Baca juga: Politik Dinasti Cengkeram Thailand
Namun, setahun kemudian, FFP dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait dakwaan pelanggaran pemilu. Para pengkritik menilai, dakwaan itu dibuat atas motif politik. Thanathorn didiskualifikasi sebagai anggota parlemen. Setelah FFP dibubarkan, dibentuklah Partai Bergerak Maju (Move Forward Party/MFP) sebagai penggantinya. Pita ditunjuk sebagai ketua MFP.
Pembubaran FFP memicu ribuan anak-anak muda turun ke jalan, menentang keputusan pembubaran tersebut. Mereka menuntut amandemen konstitusi, pemilu baru, serta penghentian intimidasi terhadap para aktivis hak asasi manusia dan pengritik pemerintah. Tuntutan akan perubahan dan isu-isu yang disuarakan anak-anak muda itu diakomodasi oleh MFP dalam pemilu tahun ini. Sebagian tokoh gerakan anak muda dalam unjuk rasa tahun 2020 maju sebagai calon anggota legislatif dari partai tersebut.
Popularitas Pita, terutama di kalangan anak-anak muda, meningkat seiring aspirasi perubahan yang terus digelindingkan partainya. MFP menjanjikan reformasi politik untuk mendobrak pengaruh militer dan reformasi undang-undang berkaitan dengan monarki. Bersama MFP, Pita bertekad untuk menulis ulang konstitusi Thailand dan memulihkan kembali negara itu setelah ”satu dekade yang tersia-siakan” di bawah rezim militer.
”Demiliterisasi, demonopolisasi, dan desentralisasi”, demikian prioritas-prioritas yang akan dilakukan Pita, seperti dia sampaikan dalam wawancara dengan media Bloomberg, April 2023.
MFP juga akan terus mendorong amendemen undang-undang lèse-majesté—juga dikenal dengan ”Pasal 112” hukum pidana—yang bisa menjerat setiap penghina monarki di Thailand dengan hukuman penjara minimal 15 tahun. ”Kami akan mengajukan (amendemen ketentuan itu) di parlemen,” kata Pita, Senin (15/5/2023).
”Dan kami akan memanfaatkan parlemen untuk memastikan bahwa dengan pembahasan komprehensif dengan kematangan, dengan transparansi, mengenai bagaimana kita melangkah maju dalam kaitan hubungan antara monarki dan masyarakat,” jelas Pita, seperti dikutip BBC.
Di Thailand, isu monarki dan kehormatan Raja Thailand adalah masalah sensitif dan tabu. Partai Pheu Thai pun tak sebanal dan selalu penuh perhitungan saat menyinggung isu monarki. Partai Bhumjaithai melalui pernyataan yang dirilis, Rabu (17/5/2023) malam, telah memagari diri bahwa mereka tidak akan mendukung seorang perdana menteri yang menyuarakan amendemen undang-undang perlindungan monarki.
Baca juga: Unjuk Rasa Terbesar Menuntut PM Thailand Mundur dan Reformasi Monarki
Partai Bergerak Maju adalah satu-satunya partai yang menggulirkan amendemen UU monarki. Dari aspek itu dan dalam konteks budaya Thailand, agenda perubahan mereka dianggap radikal. Partai Bergerak Maju menyatakan, perubahan UU monarki dimaksudkan untuk mencegah UU itu disalahgunakan. Lebih dari 240 pengunjuk rasa menentang pemerintahan tahun 2020 telah dijerat dengan UU tersebut.
”Partai Bergerak Maju adalah permainan baru di Thailand,” kata Thitinan Pongsudhirak, analis politik dan peneliti senior pada Institut Keamanan dan Ilmu Hubungan Internasional di Bangkok. ”Medan pertempuran baru Thailand dan seruan perjuangan generasi muda adalah reformasi dan pengaturan militer dan monarki,” ujarnya seperti dikutip Bloomberg.
Produk sekolah Amerika
Pita lahir di Thailand dari keluarga kaya yang terlibat dalam politik di negara itu. Ayahnya, Pongsak Limjaroenrat, adalah seorang penasihat pada Kementerian Pertanian. Sementara pamannya, Padung Limjaroenrat, adalah salah satu asisten PM Thaksin Shinawatra yang digulingkan militer. Saat berusia 11 tahun, Pita dikirim untuk bersekolah ke Selandia Baru. Di negeri ini, minatnya pada politik muncul.
Baca juga: ”Darah Muda” Bertarung di Pemilu Thailand
”Saya dikirim ke wilayah antah berantah di Selandia Baru. Saat itu di sana hanya ada tiga saluran (televisi). Jika bukan tontonan opera-opera sabun dari Australia, Anda hanya akan menyaksikan perdebatan-perdebatan di parlemen,” tutur Pita dalam wawancara dalam program Youtube Thailand, Aim Hour, Februari 2023.
Pita lulus meraih gelar sarjana di bidang keuangan dari Thammasat University, Bangkok. Setelah itu, ia meraih gelar master dari dua universitas bergengsi di Amerika Serikat: master kebijakan publik dari Harvard University dan MBA dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Ia melukiskan dirinya sebagai ”produk sekolah-sekolah kebijakan publik Amerika”.
Dengan latar belakang pendidikan tersebut plus cara pandang liberal dan tentu saja kefasihannya dalam berbahasa Inggris, koran AS, The Washington Post, menyebut Pita ”dapat menjadi mitra kerja sama yang mudah bagi Washington di tengah upaya Beijing yang tengah meningkatkan pengaruh di kawasan”.
Sebelum terjun ke dunia politik, Pita menekuni dunia bisnis. Dalam usia 25 tahun, ia mengambil alih kendali perusahaan minyak dedak padi milik keluarganya sepeninggal ayahnya tahun 2006. Insider, mengutip profilnya di LinkedIn, menyebut ia berhasil menyelamatkan perusahaan perusahaankeluarganya itu dari kebangkrutan. Pita menjabat direktur pelaksana di perusahaan tersebut.
Ia juga pernah menjadi direktur eksekutif perusahaan Grab Thailand. Selain berkiprah di dunia bisnis, Pita juga mencicipi pengalaman bekerja di pemerintahan. Setelah beberapa tahun menjabat senior associate pada Boston Consulting Group, ia bekerja pada kantor Kementerian Thailand selama dua tahun, menangani isu-isu perdagangan dan investasi.
Dalam kehidupan pribadinya, ia menikah dengan artis dan model Thailand, Chutima Teenpanart. Dari pernikahan dengannya, Pati mendapatkan seorang anak perempuan berusia tujuh tahun, Pipim. Ia menjadi ayah tunggal bagi Pipim setelah bercerai dengan Chutima. Dalam kampanye-kampanye, Pita kerap mengajak Pipim.
Meski hingga kini masa depan politiknya belum pasti, Pita menggenggam kepercayaan diri yang begitu tinggi. ”Saya siap untuk menjadi perdana menteri bagi semua kalangan, terlepas dari Anda setuju dengan saya atau tidak,” ujarnya, Senin (15/5/2023).
Seperti disampaikannya di hadapan pendukungnya dalam kampanye terakhir di Bangkok, dua hari menjelang pemungutan suara, Pita menegaskan, ”Kita akan bersama-sama menulis ulang sejarah politik Thailand.” (AP/AFP/REUTERS)