Washington Ajak Moskwa untuk Transparan Soal Senjata Nuklir
Washington merilis data persenjataan nuklirnya. AS meminta agar Rusia juga melakukan hal yang sama. Transparansi penting untuk menjaga stabilitas dunia.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·3 menit baca
Washington, Selasa – Meskipun dibayangi relasi yang kini terus memburuk, Amerika Serikat mendesak Rusia untuk membangun sikap saling percaya, terutama terkait isu senjata nuklir. "Amerika Serikat terus memandang transparansi di antara negara-negara pemilik senjata nuklir sebagai hal yang sangat berharga untuk mengurangi kemungkinan salah persepsi, salah perhitungan, dan persaingan senjata yang mahal," kata pernyataan Departemen Luar Negeri sebagaimana diberitakan Kantor Berita AFP, Selasa (16/5/2023).
Untuk menunjukkan niatnya, Washington kemudian merilis data persenjataan nuklirnya, Senin (15/5/2023). Departemen Luar Negeri AS mengatakan, hingga 1 Maret 2023 tercatat Washington mengerahkan 1.419 hulu ledak nuklir aktif. Jumlah hulu ledak itu turun sebanyak 96 hulu ledak. Sebelumnya pada Maret 2022, tercatat AS mengerahkan 1.515 hulu ledak nuklir aktif. Sementara itu, pada tahun 2022, Rusia tercatat mengerahkan 1.474 hulu ledak nuklir aktif.
Hulu ledak nuklir aktif AS itu ditempatkan pada 662 rudal balistik antarbenua dan beberapa sistem lain. Sementara hulu ledak Russia ditempatkan pada 526 rudal balistik. Melihat catatan itu, kedua kekuatan utama nuklir dunia itu masih memenuhi kesepakatan mereka pada New START, perjanjian kontrol senjata yang ditandatangani pada tahun 2010. Perjanjian itu antara lain menyebutkan, hulu ledak aktif yang dikerahkan dibatasi hingga 1.550 hulu ledak aktif, dan rudal berhulu ledak nuklir dibatasi hanya 700 rudal nuklir saja.
Dengan merilis jumlah hulu ledak yang dikerahkannya, AS meminta agar Rusia juga melakukan hal yang sama. Langkah AS ini berbeda dari sikapnya pada Maret lalu yang menyatakan tidak mau lagi berbagi informasi jumlah arsenalnya. Sikap itu dilatarbelakangi oleh kemarahan AS pada serangan Rusia atas Ukraina. Namun, kali AS – meskipun dibayangi keengganan Moskwa untuk mematuhi New START – mengambil sikap lebih maju.
"Amerika Serikat meminta Federasi Rusia untuk mematuhi kewajibannya yang mengikat secara hukum dengan kembali ke implementasi penuh Perjanjian New START dan semua langkah transparansi dan verifikasi yang stabil yang terkandung di dalamnya," katanya.
New START ditandatangani oleh mantan presiden Barack Obama dan Dmitry Medvedev. Kala itu relasi kedua negara cukup hangat. Perjanjian itu bertujuan untuk membatasi senjata nuklir dan meningkatkan transparansi.
G7 Jepang
Sementara itu dari Hiroshima, Pemerintah Jepang – yang tahun ini menjadi ketua bergilir G7 – mengharapkan ada kemajuan siknifikan dalam isu pelucutan senjata.
Harapan itu dapat dipahami karena di kawasan Asia terutama Asia Timur, Korea Utara dan China terus mengembangkan senjata nuklir mereka. Terkait New START, China enggan terlibat didalamnya. Di era AS di pimpin oleh Presiden Donald Trump, Washington pernah mendesak China untuk turut serta dalam perjanjian tersebut. Namun Beijing menolak. Penolakan itu memicu Trump untuk menangguhkan keterlibatan AS dalam New START.
Momok penggunaan senjata nuklir akhir-akhir ini muncul kembali. Hal itu antara lain dipicu berulangnya uji coba rudal baru oleh Pyongyang dan penempatan sejumlah rudal strategis di Belarus oleh Moskwa. Presiden Rusia Vladimir Putin juga sempat mengatkan, Kremlin menangguhkan partisipasi dalam New START.
Terkait situasi itu, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan dia sengaja memilih Hiroshima untuk menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi G7. Jepang ingin dunia kembali melihat kehancuran yang dapat diciptakan oleh senjata nuklir.
Kishida mengharapkan dukungan atas "Rencana Aksi Hiroshima" yang diresmikan tahun lalu. Ini mendesak janji berkelanjutan dunia untuk tidak pernah menggunakan senjata nuklir, transparansi stok, pengurangan persenjataan lebih lanjut, komitmen untuk non-proliferasi dan pemahaman tentang realitas penggunaan senjata nuklir. (AP/AFP)