Sepatu-sepatu para korban kamp konsentrasi Auschwitz menjadi saksi bisu kejahatan Nazi. Puluhan ribu sepatu dikonservasi untuk mengungkapkan detail informasi korban.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
Di pojok ruangan laboratorium konservasi modern di bekas kamp Auschwitz, 320 kilometer selatan Warsawa, Polandia, tampak seorang laki-laki bersarung tangan karet biru tengah mengikis pelan karat di lubang tali sepatu anak-anak berwarna coklat. Di depannya, rekannya juga sedang menggosok sepatu-sepatu anak yang tertutup debu dan kotoran dengan kain lembut. Gerakannya pelan dan berhati-hati, terutama pada bagian kulit sepatu yang sudah rapuh.
Sepatu-sepatu itu kemudian dipindah dan difoto untuk dimasukkan dalam katalog dan pusat data. Di dekat mereka tertumpuk ribuan sepatu anak yang pernah dikenakan anak-anak sebelum disuruh masuk ke kamar gas.
Apa yang dilakukan dua petugas laboratorium itu merupakan bagian dari upaya melestarikan 8.000 sepatu anak di bekas kamp konsentrasi Auschwitz. Di tempat ini, pasukan Nazi Jerman membunuh 1,1 juta orang selama Perang Dunia II. Mayoritas korban adalah warga Yahudi. Mereka dibunuh untuk memenuhi keinginan diktator Jerman, Adolf Hitler, memusnahkan orang Yahudi di Eropa.
Dulu Auschwitz menjadi bagian dari wilayah Polandia yang dijajah Jerman. Kini, daerah itu menjadi museum dan tugu peringatan yang dikelola Polandia. Jerman bisa menghancurkan bukti kekejaman mereka di Treblinka dan kamp-kamp lainnya, tetapi gagal melakukannya di Auschwitz yang sangat luas. Menjelang akhir Perang Dunia II, mereka melarikan diri dari kamp itu saat pasukan Soviet datang.
Delapan dekade kemudian, banyak bukti di bekas kamp Auschwitz mulai memudar karena perawatan kurang baik dan banyak wisatawan datang. Banyak bukti sudah hampir berubah menjadi debu, seperti rambut-rambut para korban yang dulu dijadikan kain, karena tidak dikonservasi.
Namun, masih ada bukti lebih dari 100.000 sepatu korban, sekitar 80.000 di antaranya masih menumpuk dan dipajang di ruangan khusus. Banyak sepatu sudah tak sempurna, warna aslinya memudar, dan tali sepatunya hancur. Begitu pula dengan sepatu dan sandal anak-anak.
”Sepatu anak-anak adalah obyek paling mengharukan bagi saya. Sepatu adalah obyek paling terkait erat dengan seseorang dan ini jejak yang tersisa dari para korban,” kata Mirosław Maciaszczyk, pakar konservasi di Laboratorium Konservasi Museum Auschwitz.
Para pekerja konservasi tidak pernah melupakan tragedi kemanusiaan di balik sepatu-sepatu itu. Terkadang mereka menjadi emosional ketika sedang mengonservasi sepatu-sepatu anak tersebut. Pekerjaan mereka dimulai sejak dua bulan lalu. Banyak yang tidak tahan dan meminta dipindahkan ke tugas lain.
Para pekerja konservasi tidak pernah melupakan tragedi kemanusiaan di balik sepatu-sepatu itu.
Kepala Koleksi Museum, Elżbieta Cajzer, menuturkan, pekerjaan konservasi seperti ini selalu memunculkan detail-detail individu dari korban yang terbunuh di kamp. Dari sebuah koper, misalnya, diperoleh petunjuk identitas korban karena di dalamnya tersemat nama dan alamat pemilik koper.
Cajzer berharap, konservasi sepatu anak-anak ini juga akan bisa mengungkapkan detail-detail pribadi yang baru dari pemiliknya. Sepatu-sepatu itu juga membuka jendela ke masa lampau ketika sepatu menjadi barang berharga yang diwariskan dari anak ke anak. Banyak sepatu memiliki jejak sol yang sudah pernah diperbaiki beberapa kali.
Museum Auschwitz mampu melestarikan sekitar 100 sepatu dalam seminggu. Hingga kini, 400 sepatu selesai diproses. Tujuannya bukan untuk mengembalikan sepatu-sepatu itu ke kondisi semula seperti baru, tetapi untuk membuat bentuknya semirip mungkin dengan kondisi ketika sepatu-sepatu itu ditemukan pada akhir perang.
Sebagian besar sepatu tersebut sudah tinggal sepasang. Jarang ada sepasang sepatu yang masih ada talinya. Tahun lalu, seorang pekerja konservasi sepatu dewasa menemukan uang kertas 100 lira Italia di sepatu hak tinggi perempuan dengan merek Ranzini, sepatu buatan Trieste, Italia. Kemungkinan besar pemiliknya adalah orang Italia.
Mereka juga menemukan nama Věra Vohryzková di salah satu sepatu anak. Secara kebetulan, seorang pekerja museum telah memperhatikan nama keluarga itu di sebuah koper. Dengan peninggalan ini, museum berhasil mengumpulkan detail informasi tentang keluarga tersebut.
Vera lahir pada 11 Januari 1939, keluarganya berdarah Ceko Yahudi. Vera dikirim ke Auschwitz dengan transportasi dari Theresienstadt pada 1943 bersama dengan ibu dan saudara laki-lakinya. Ayahnya, Max Vohryzek, dikirim dengan angkutan terpisah. Mereka semua diketahui tewas.
Bagi Cajzer, sepatu-sepatu itu menjadi sumber kesaksian yang kuat dan memberikan gambaran besarnya skala kejahatan Hitler. Sebelum orang-orang Yahudi dimasukkan ke dalam kamar gas, pasukan Hitler memerintahkan mereka menanggalkan pakaian dan memberi tahu mereka bahwa mereka akan dimandikan untuk didisinfeksi.
”Bisa dibayangkan, berapa banyak orang yang datang ke sini dan berharap bisa memakai kembali sepatunya setelah mandi. Namun, mereka tidak pernah kembali,” kata Cajzer.
Cajzer menduga 100.000 sepatu yang ada dalam koleksi museum itu hanya berasal dari transportasi kereta terakhir yang masuk ke kamp. Barang-barang pribadi para korban yang datang sebelumnya, seperti sepatu dan harta benda lainnya, kemungkinan sudah dikumpulkan dan bahannya digunakan untuk membantu perang Hitler.
Biaya proyek konservasi sepatu-sepatu ini sebesar 492.000 dollar AS. Proyek ini didanai Yayasan Auschwitz-Birkenau dengan donor utama Jerman dan program pendidikan Holocaust International March of the Living.
Cajzer dan Maciaszczyk mengatakan, tidak mungkin menyimpan sepatu-sepatu para korban selamanya. ”Konservasi kita hari ini memperlambat proses pembusukan. Namun, kami tidak tahu akan bisa tahan sampai berapa lama,” kata Maciaszczyk. (AP)