Jejak nenek moyang penduduk Benua Amerika ditemukan dari wilayah China utara. Mereka bermigrasi ke Amerika dalam dua gelombang pada zaman es dan setelahnya.
Oleh
LUKI AULIA
·3 menit baca
Jauh sebelum bangsa Viking, penjelajah dari Eropa, seperti Christopher Colombus atau Amerigo Vespuccci, mendarat dan mengklaim telah menemukan Benua Amerika, ternyata bangsa China yang sudah menginjak daratan Amerika terlebih dahulu. Masalah siapa, kapan, dan bagaimana orang pertama kali datang ke Amerika ini sejak lama membuat orang penasaran dan menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan.
Kini, ada bukti terbaru ternyata jejak nenek moyang Amerika juga ditemukan dari China, selain dari Siberia. Kesimpulan ini diperoleh setelah D4h, garis keturunan yang ditemukan dalam DNA mitokondria yang diwarisi hanya dari ibu, digunakan untuk melacak nenek moyang ibu.
Hasil studi genetika terbaru yang diterbitkan di Cell Reports, Selasa (9/5/2023), menemukan bahwa beberapa pendatang pertama dari China masuk ke Amerika dalam dua gelombang migrasi yang berbeda. Gelombang pertama dilakukan pada zaman es dan yang kedua tidak lama setelah itu.
”Temuan kami menunjukkan jejak leluhur penduduk asli Amerika tidak hanya di Siberia, tetapi juga pesisir utara China,” kata salah satu penulis laporan itu, Yu-Chun Li, kepada kantor berita AFP.
Selama migrasi kedua, lanjut Li, garis keturunan orang yang sama dari China juga menetap di Jepang. Hal ini membantu menjelaskan adanya kesamaan pada mata panah dan tombak prasejarah yang ditemukan di Amerika, China, dan Jepang.
Dulu diyakini orang Siberia kuno adalah satu-satunya nenek moyang penduduk asli Amerika. Mereka dulu menyeberangi jembatan darat di Selat Bering yang menghubungkan Rusia modern dan Alaska. Namun, penelitian yang lebih baru—sejak akhir tahun 2000-an hingga kini—menemukan bahwa nenek moyang atau populasi pendiri Benua Amerika, termasuk Bolivia, Brasil, Chile, Ekuador, Meksiko, dan California, berasal dari Asia.
Tim peneliti dari Institut Zoologi Kunming, China, memulai perburuan D4h selama 10 tahun terakhir dengan menyisir 100.000 sampel DNA modern dan 15.000 DNA kuno di seluruh Eurasia. Mereka akhirnya menemukan 216 individu kontemporer dan 39 individu kuno yang berasal dari garis keturunan kuno. Dengan menganalisis mutasi yang bertambah dari waktu ke waktu, melihat lokasi geografis sampel, dan menggunakan penanggalan karbon, tim peneliti bisa merekonstruksi asal usul dan sejarah perluasan garis keturunan D4h.
Hasilnya menyingkap dua peristiwa migrasi. Yang pertama, antara 19.500 dan 26.000 tahun yang lalu selama periode the Last Glacial Maximum atau ketika lapisan es mencapai puncaknya dan kondisi iklim di China utara kemungkinan besar membuat daerah itu tidak bisa ditinggali.
Migrasi kedua terjadi selama periode pencairan antara 19.000 dan 11.500 tahun yang lalu. Peningkatan populasi manusia selama periode ini kemungkinan memicu migrasi. Pada kedua kasus itu, ilmuwan menduga nenek moyang yang datang itu adalah pelaut yang berlabuh di Amerika dan melakukan perjalanan di sepanjang pantai Pasifik dengan perahu. Ini karena daratan antara dua lapisan es di Kanada modern, yang dikenal sebagai ”koridor bebas es pedalaman”, belum dibuka.
Pada migrasi kedua, kelompok nenek moyang itu pecah dan memisahkan diri dari China ke Jepang dan menjadi nenek moyang Jepang, terutama penduduk asli Ainu. Temuan ini selaras dengan kesamaan arkeologis antara orang kuno di Amerika, China, dan Jepang.
Li mengatakan, keunggulan penelitian ini adalah jumlah sampel yang ditemukan dan bukti pelengkap dari DNA kromosom Y yang menunjukkan nenek moyang laki-laki penduduk asli Amerika tinggal di China utara pada waktu yang sama dengan nenek moyang perempuan.
”Namun, kami masih belum tahu lokasi spesifik di pantai utara China sebelah mana titik mula ekspansi ini dan peristiwa spesifik apa yang mendorong migrasi ini. Butuh lebih banyak bukti, terutama genom purba, untuk bisa menjawab ini,” ujarnya. (AFP)