Ada upaya mendorong penggunaan mata uang lain dalam transaksi di sejumlah negara. Ada pula upaya untuk membuat sistem pengolah transaksi internasional selain SWIFT.
Oleh
KRIS MADA, FRANSISKUS PATI HERIN, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·5 menit baca
MANGGARAI BARAT, KOMPAS — ASEAN sepakat memprioritaskan penggunaan mata uang dan sistem pembayaran kawasan untuk transaksi internal di Asia Tenggara. Keputusan itu membuat Asia Tenggara menyusul kawasan dan negara lain mengurangi dollar AS dan mata uang lain.
Para pemimpin ASEAN mengadopsi deklarasi untuk meningkatkan keterhubungan sistem pembayaran kawasan dan mendorong transaksi dengan mata uang setiap anggota untuk transaksi internal ASEAN. Dokumen itu diadopsi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-42 ASEAN di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Rabu (10/5/2023).
Para pemimpin menekankan, penting untuk mengurangi risiko dan kerentanan akibat penggunaan mata uang asing di luar kawasan. Mereka juga menekankan pentingnya penguatan sistem pembayaran untuk mendukung sistem pembayaran lintas negara yang lebih cepat, murah, aman, transparan, dan inklusif.
Mereka menyoroti perkembangan kerja sama di antara Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Para pemimpin ASEAN menyambung penerapan Kerangka Kerja Transaksi dengan Mata Uang Lokal (LCSF) di antara negara anggota.
Karena itu, para pemimpin ASEAN menyatakan komitmen untuk meningkatkan keterhubungan sistem pembayaran kawasan. Peningkatan pemanfaatan inovasi memungkinkan kelancaran dan keamanan transaksi lintas negara. Para pemimpin ASEAN juga mendukung kerja sama kawasan untuk meningkatkan kemudahan saling tersambung di antara berbagai sistem pembayaran negara-negara Asia Tenggara. ASEAN akan berkolaborasi dengan mitra dan organisasi internasional untuk membangun kerja sama dan kemitraan dalam meningkatkan keterhubungan itu.
Para pemimpin juga mendorong penggunaan mata uang lokal dalam transaksi lintas negara di antara sesama anggota ASEAN. Mereka mendukung pembentukan satuan tugas untuk menjajaki pengembangan Kerangka Kerja Transaksi Mata Uang Lokal (LCTF) ASEAN. Para menteri keuangan dan gubernur bank sentral ASEAN ditugasi mengawasi penerapan dan peningkatan keterhubungan sistem pembayaran kawasan. Mereka juga ditugasi pemimpin ASEAN untuk menjajaki pengembangan LCTF ASEAN.
Kurangi valas
Dengan deklarasi itu, ASEAN menyusul kawasan dan negara lain yang lebih dulu mengurangi valuta asing untuk transaksi di kawasan. Uni Eropa sudah lebih dari dua dekade memprioritaskan mata uang lokalnya, euro, dalam transaksi sesama anggota UE.
China, Rusia, dan sejumlah negara lain tengah memacu penggunaan mata uang masing-masing untuk transaksi sesama mereka. Arab Saudi dilaporkan menjajaki menerima yuan sebagai alat pembayaran atas ekspor minyak ke China.
Ekonom senior AS, Nouriel Roubini, mengatakan, sejumlah negara Timur Tengah pun mempertimbangkan hal serupa. Sebab, China menjadi mitra dagang utama mereka. Berbagai produk diimpor negara-negara Timur Tengah dari China. Para pengusaha China banyak berbisnis di negara-negara Timur Tengah.
Teknologi pembayaran baru terus berkembang sehingga memudahkan transaksi lintas negara dengan mekanisme pembayaran digital. Sejumlah negara mencari sistem pengolah transaksi internasional selain SWIFT yang didominasi Amerika Serikat dan sekutunya.
Lembaga investasi Eurizon mengingatkan, porsi dollar AS sebagai cadangan devisa global terus menurun. Dari 73 persen pada 2001, porsi dollar AS pada 2022 hanya 58 persen. Hingga 11 persen pemangkasan porsi itu terjadi pada 2016-2022. ”Kecepatan pengurangan dollar AS sebagai cadangan devisa global amat mencengangkan pada 2022. Diduga karena peningkatan sanksi. Tindakan luar biasa oleh Amerika Serikat dan sekutunya kepada Rusia mengejutkan banyak negara,” tulis CEO Eurizon Stephen Zen, sebagaimana dikutip Bloomberg.
Memang, peran dollar AS sebagai valas utama belum bisa sepenuhnya tertandingi dalam waktu dekat. Sebab, banyak negara belum bisa sepenuhnya meninggalkan dollar AS yang telanjur diterima luas sebagai alat bayar internasional. Meski demikian, bukan berarti Washington bisa berleha-leha dengan kondisi itu.
Ketua Bersama International Crisis Group Frank Giustra mengatakan, pengurangan dollar AS sebagai valas utama hanya soal waktu. Negara-negara di luar AS dan sekutunya menginginkan sistem yang tidak membuat mereka rentan oleh sanksi ekonomi dari Washington dan sekutunya.
Seperti Zen, Giustra menyoroti kecemasan banyak negara atas keputusan AS dan sekutunya menggunakan SWIFT dan dollar AS sebagai senjata menghadapi Rusia. AS dan sekutunya membekukan ratusan miliar dollar AS milik Rusia dan merintangi akses Moskwa pada SWIFT.
”Banyak negara merasa, mereka bisa jadi (sasaran) berikutnya. Sistem keuangan dibangun berdasarkan kepercayaan dan jika sistem itu dijadikan senjata, akan hilang kepercayaan yang diperlukan untuk mempertahankan dominasinya,” katanya.
Ia juga mengingatkan fakta bahwa AS berubah dari pemberi utang menjadi pengutang terbesar dalam dua dekade terakhir. Bank sentral AS, Federal Reserve, dinilai terus membuat aneka kebijakan moneter yang ceroboh dalam periode itu.
Hampir setiap tahun AS terancam gagal bayar. Batas atas pagu utang AS terus-menerus harus ditambah demi menghindari kegagalan itu. Sejumlah negara memandang, kecuali pergulatan politik dalam negeri, AS tidak perlu melakukan apa pun untuk menambah utangnya. Washington seperti mendapat garansi bebas mencetak berapa pun uang dan bebannya ditanggung bersama secara global. Hal itu terjadi karena dollar AS masih menjadi mata uang utama global.
Tidak terjadi
Dosen kajian China pada Oxford University, George Magnus, menyangkal bahwa dollar AS akan segera kehilangan status sebagai mata uang utama global. Data dari neraca pembayaran AS dan sejumlah negara menunjukkan tidak ada pengurangan signifikan dari penggunaan dollar AS. Bahkan, surat utang Departemen Keuangan AS terus dibeli berbagai pihak di banyak negara.
Ada upaya mendorong penggunaan mata uang lain dalam transaksi di sejumlah negara. Ada pula upaya untuk membuat sistem pengolah transaksi internasional selain SWIFT. Penggunaan yuan dalam transaksi antara China dan sejumlah mitra dagangnya terus meningkat.
Meski demikian, tidak berarti dollar AS dan SWIFT akan kehilangan dominasinya. Selama bertahun-tahun, UE mencoba menghadirkan INSTEX sebagai sistem pengolah transaksi dengan Iran. Sistem itu bagian dari upaya UE menjalankan kewajibannya dalam Joint Comprehensive Plan on Action (JCPOA) atau dikenal sebagai kesepakatan nuklir Iran. Sayangnya, sampai sekarang INSTEX tidak kunjung beroperasi dan JCPOA praktis mati suri sejak AS di bawah mantan Presiden Donald Trump keluar secara sepihak pada 2018.
Sejumlah negara, termasuk UE yang merupakan sekutu AS, takut terkena sanksi Washington apabila berhubungan ekonomi dengan Iran. Akibatnya, para penanda tangan JCPOA tidak kunjung menjalankan kewajibannya. Iran malah kembali meningkatkan pengayaan uraniumnya. Kini, aras pengayaan uranium Iran sudah jauh melebihi batas yang ditetapkan dalam JCPOA.