Setelah dengan Malaysia, Thailand, Jepang, dan China, kini Indonesia memulai kerja sama dengan Korea Selatan untuk mendorong transaksi perdagangan dan investasi dengan mata uang lokal masing-masing negara.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia bekerja sama dengan bank sentral Korea Selatan, Bank of Korea, untuk mendorong penggunaan mata uang lokal masing-masing negara dalam transaksi bilateral atau local currency transactionatau LCT. Kerja sama ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap mata uang dollar AS. Korea Selatan menjadi negara kelima yang telah bekerja sama dengan Indonesia dalam LCT ini.
Kesepakatan tersebut dituangkan melalui penandatanganan nota kesepahaman oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dan Gubernur Bank of Korea, RHEE, Chang Yong di sela-sela Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN+3, Selasa (2/5/2023), di Korea Selatan.
Melalui kerja sama tersebut, penyelesaian transaksi bilateral, seperti transaksi berjalan (current account transaction), investasi langsung, dan perdagangan antarkedua negara akan menggunakan mata uang lokal kedua negara. Ini mengubah transaksi sebelumnya yang menggunakan mata uang dollar AS.
”Pelaku usaha dapat memanfaatkan kerja sama ini untuk mengurangi biaya transaksi dan eksposur terhadap risiko nilai tukar dalam melakukan transaksi bilateral kedua negara, antara lain melalui penggunaan kuotasi nilai tukar secara langsung antara mata uang korean won dan rupiah dalam perdagangan antarbank,” tutur Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, Selasa.
Erwin menjelaskan, otoritas moneter kedua negara memandang, penggunaan mata uang lokal masing-masing negara yang lebih luas untuk transaksi bilateral pada akhirnya akan berkontribusi dalam mempromosikan perdagangan antara Indonesia dan Korea Selatan serta memperdalam pasar keuangan dalam mata uang lokal di kedua negara.
Korea Selatan adalah negara kelima yang menjalin kerja sama LCT ataupun local currency settlement (LCS) dengan Indonesia. Pelaksanaan LCS dan LCT ini dimulai pada 2018 dengan Malaysia dan Thailand. Pada 2020, Indonesia mulai menjalin kerja sama serupa dengan Jepang dan pada 2021 dengan China.
Mengutip data BI, sejak memulai kerja sama LCT atau LCS pada 2018 hingga Maret 2023, terdapat total transaksi setara dengan 10,10 miliar dollar AS. Transaksi ini tergantikan dengan mata uang lokal negara-negara yang bekerja sama dengan Indonesia.
Adapun rinciannya pada 2018 tercatat transaksi setara 348 juta dollar AS, 2019 sebesar 760 juta dollar AS, 2020 sebesar 797 juta dollar AS, 2021 sebesar 2,5 miliar dollar AS, dan 2022 sebesar 4,1 miliar dollar AS. Adapun pada tiga bulan pertama tahun ini sudah tercatat transaksi setara 1,6 miliar dollar AS.
Tak hanya jumlah transaksinya yang terus bertambah, jumlah pelaku usaha yang memanfaatkan kerja sama pun juga ikut bertambah. Pada 2018 tercatat ada 141 pelaku usaha. Pada 2019 dilakukan oleh 264 pelaku usaha. Berikutnya, 269 pelaku usaha pada 2020. Kemudian, 1.249 pelaku usaha pada 2021 dan 2.047 pelaku usaha pada 2022. Hingga triwulan pertama 2023, sudah tercatat 2.405 pelaku usaha menggunakan LCT.
Strategis
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menjelaskan, jalinan kerja sama LCT dengan Korea Selatan ini sangat baik. Ini dikarenakan Korea Selatan merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia.
Saat ini, lanjut Faisal, kedua negara telah memiliki kerja sama perdagangan Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA). Volume dan frekuensi transaksi perdagangan dan investasi antara kedua negara pun akan makin meningkat di masa mendatang. Dengan demikian, lebih baik apabila transaksi itu bisa diselesaikan dengan mata uang lokal kedua negara.
Selain itu, dengan bertambahnya negara yang bekerja sama menggunakan LCS dengan Indonesia, diharapkan akan memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah. Dengan kerja sama LCS, permintaan dollar AS akan menurun. Penurunan permintaan dollar AS ini diharapkan menjaga stabilitas nilai tukar masing-masing negara.
”Kebijakan LCS ini tidak anti dollar AS. Pengaruh dan permintaan dollar AS juga masih akan tetap tinggi dan baru akan perlahan menurun dalam jangka panjang. Namun, dengan mengurangi permintaan dollar AS, akan mengurangi ketergantungan,” ujar Faisal.
Ia menjelaskan, ketika terjadi guncangan terkait nilai tukar mata uang dollar AS, perekonomian Indonesia akan terdampak. Tingkat kerentanan dan volatilisasi ini yang perlu diantisipasi dan coba dikurangi dengan kebijakan LCS. Dengan LCS, akan terjadi diversifikasi penggunaan mata uang untuk kegiatan transaksi internasional.
Senada dengan Faisal, Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menyambut baik hal ini. Ia berpendapat, BI perlu terus menambah jumlah negara untuk kerja sama ini. Semakin banyak negara yang diajak bekerja sama, akan semakin bagus.
Lima negara yang telah menjalin kerja sama LCS cukup strategis karena mitra-mitra dagang utama Indonesia. Ke depan, Ajib mengusulkan, negara berikutnya untuk digandeng dalam kerja sama serupa adalah India. Dengan posisi Indonesia tahun ini sebagai keketuaan ASEAN, tentu makin strategis untuk membuka kerja sama tersebut dengan semua negara di kawasan ini.
Dengan kerja sama LCS, Ajib berharap nilai tukar rupiah tahun ini akan stabil dalam rentang Rp 14.300-Rp 14.800 per dollar AS. Ini sesuai dengan proyeksi kerangka ekonomi 2023.