Wang Huning, Teknokrat Tiga Presiden dan Membuat ”Kubu” Jack Ma ”Menyepi”
”Semua slogan besar, dari Jiang ke Hu hingga Xi, tampaknya datang dari Wang Huning,” kata Willy Lam, staf senior dari The Jamestown Foundation di Washington.
Wang Huning, figur yang tidak dikenal luas di China sendiri, apalagi di dunia. Akan tetapi, namanya sudah lama menyentak beberapa akademisi global pemerhati China. Wang ada di balik sentralisasi kekuasaan yang mengkristal dengan gaya otoritarianisme. Ia ada di balik aksi keras negara terhadap gerakan demokrasi, pemberangusan korupsi, serta gaya hedonis selebritias dan para eksekutif perusahaan.
Ide Wang turut mendorong aksi pencegahan monopoli perusahaan seperti Alibaba, yang membuat Jack Ma ”menyepi”. Wang sudah lama masuk lingkaran satu pemerintahan China sebagai teknokrat era Presiden Jiang Zemin, berlanjut ke Hu Jintao, dan kini Xi Jinping. Pemikiran Wang konstan, yakni China harus kukuh pada sentralisasi pemerintahan, otoriter, dan masyarakat kolektif.
Teori Wang masuk ke dalam bingkai utama pemikiran China sepanjang masa, setidaknya sejak tahun 1949. Jati diri budaya harus bertahan di tengah modernisasi. Wang menyerap hal baik dari Barat soal pola pembangunan, terutama inovasi, mekanisme pasar, dan ide bebas. Akan tetapi, semua itu harus dikendalikan kuat oleh pemerintahan pusat.
Baca juga : Kongres PKC dan Klaim Demokrasi Intrapartai di China
Ia dijuluki penganut neo-otoritarianisme dengan penekanan pada budaya khas China. Kekhasan budaya, khususnya kolektivitas, harus merasuki kekuasaan dan gaya pemerintahan serta kehidupan bermasyarakat.
Ini penting untuk mempertahankan budaya dalam konteks keamanan agar negara tidak diinfiltrasi unsur asing secara telak, khususnya liberalisasi dan individualisme. Dengan pemikiran itu, Wang tetap memikat bagi tiga presiden, termasuk Presiden Xi. Wang bahkan disebut sebagai soul mate Xi soal ideologi negara. Wang adalah teknokrat ideologi yang semakin mengkristalkan otoritarianisme Xi Jinping (The New York Times, 13 November 2017).
Matthew Johnson, pendiri AltaSilva LLC, lembaga konsultan di AS yang fokus tentang China, mengingatkan, Wang bukan satu-satunya pemikir di China tentang keamanan budaya dalam konteks kepemimpinan dan kenegaraan. ”Konsep utama keamanan budaya China berasal dari debat panjang. Ada ketakutan dalam politik China. Liberalisme Barat, jika dibiarkan masuk ke dalam masyarakat, akan merusak sosialisme, baik sebagai sebuah ideologi maupun memisahkan orang satu sama lain,” kata Johnson (The China Project, 4 November 2021).
Tentang keamanan budaya yang diperkenalkan Wang, ia hanya berinovasi dan mengembangkan penghalang terhadap infiltrasi Barat. ”Namun, hal itu tidak asing bagi Mao Zedong, Deng Xiaoping, dan lainnya,” kata Johnson.
Kelebihan Wang
Meski demikian, Wang tetap menjadi figur menonjol. Ia mampu mengartikulasikan pemikirannya yang mudah dimengerti. Menurut Cheng Li dari Brookings Institution, Wang favorit satu-satunya bagi tiga pemimpin China terakhir. Ia juga menjadi salah satu dari dua pejabat top yang ditunjuk kembali oleh Presiden Xi ke dalam daftar tujuh orang anggota Komite Tetap Politbiro Partai Komunis China.
Wang brilian secara akademis, sekaligus pendiam, kutu buku, dan mengidap insomnia. Ia menemukan jalur ke ring satu karena ketekunan dan ketajaman pemikiran walau tidak pernah memegang jabatan pemerintahan atau menjadi menteri. Ia bagai oase bagi China, sebuah negara besar, tetapi pejabatnya sering kali tidak memiliki gelar sarjana dan hanya sebatas mempelajari seni kejuruan seperti permesinan.
Wang, kelahiran tahun 1955 di Shandong, juga lokasi kelahiran filsuf Konfusius, menemukan kemujuran. Ia luput dari kerja paksa di pertanian pada masa Revolusi Kebudayaan, yang turut membuat China kehilangan kaum intelektual. Selama periode 1966–1976, Garda Merah menghancurkan ide-ide lama, kebiasaan lama, adat lama, dan budaya lama (The Guardian, 11 Mei 2016).
Sekolah-sekolah dan universitas ditutup. Demikian juga gereja, kuil, dan perpustakaan. Toko dan rumah-rumah pribadi digeledah atau dihancurkan saat serangan terhadap tradisi ”feodal” dimulai. Saat itu Wang bisa belajar bahasa Perancis karena koneksi keluarga yang juga kubu revolusioner. Ia luput karena sakit-sakitan saat usia muda.
Ketika Deng Xiaoping berkuasa menggantikan Mao Zedong, universitas dibuka kembali pada 1978. Wang berhasil memasuki jurusan politik internasional di Universitas Fudan, Shanghai, salah satu universitas prestisius.
Mendalami dan melahirkan teori
Di universitas ia mendalami konsep kedaulatan negara versi Barat, dari zaman lama hingga terkini, termasuk ide dari Gilgamesh hingga Socrates, Aristoteles, Augustinian, Machiavelli, Hobbes, Rousseau, Montesquieu, Hegel, dan Marx. Ia menyandingkan pemikiran-pemikiran itu dengan visi ideologi China.
Pendalaman Wang tentang itu membawanya ke dalam pemahaman teori-teori di masa depan tentang kenegaraan dan hubungan internasional (Palladium, 11 Oktober 2021). Wang kemudian menjadi dosen di Universitas Fudan (1981-1995). Ia menuliskan banyak esai ilmiah dan buku tentang politik dan kenegaraan serta visi pembangunan dari sisi politik.
Pada 1988, ketekunannya sebagai akademisi memberinya banyak keberuntungan. Pada waktu itu ia menuliskan esai yang terkenal berjudul ”Analysis on the Ways of Political Leadership During the Modernization Process”, dipublikasikan di Jurnal Universitas Fudan, Maret 1988. Wang bertahan dengan idenya, yakni otoritarianisme di tengah perkembangan ekonomi. Ini cocok di tengah pemikiran apakah China menuju demokrasi atau bertahan dengan jati dirinya.
Pada 1991, ia meramalkan AS akan jatuh sendiri karena individualisme akut tanpa moralitas kebersamaan.
Namanya makin tersohor di kalangan elite saat memimpin tim debat Universitas Fudan di Singapura pada 1998 dan mengalahkan 5:0 tim debat dari Universitas Nasional Taiwan. Subyek pembahasan debat, ”Apakah secara Alami Manusia itu Ramah atau Jahat?”. Tim Wang berargumentasi pada dasarnya manusia itu jahat (evil). Kemenangan tim Fudan bukan soal benar atau salahnya pandangan, melainkan tentang keterampilan berdebat (ThinkChina, 2 Desember 2022).
Wang kemudian mendapatkan keberuntungan pada 1988 lewat kunjungan ke 30 kota dan 20 universitas di AS, termasuk Harvard dan MIT, difasilitasi oleh American Political Science Association. Ia menghabiskan waktu enam bulan sebagai akademisi tamu, yang membuatnya menuliskan buku berjudul America Against America pada 1991.
Fokusnya adalah tentang masalah sosial dan budaya di Amerika Serikat. Wang mengagumi sisi baik AS. Namun, ia juga melihat bahaya individualisme berlebihan dan nihilistik, serta liberalisme politik. Pada 1991, ia meramalkan AS akan jatuh sendiri karena individualisme akut tanpa moralitas kebersamaan.
Kohensi sosial AS ia ramalkan akan rusak karena ketimpangan ekonomi dan ras. Hukum pun bisa menjadi formalitas karena semuanya bertumpuk pada kekuasaan yang menjelma menjadi sektarian. Ia melihat bahaya ini sehingga China sejak dini harus mencegahnya dengan mendengungkan kolektivitisme. Kepentingan bersama harus ada di atas kepentingan individu.
Momentum kuat
Pada era 1980-an, Wang memiliki pijakan kuat sebagai calon teknokrat segi ideologi politik. Pembangunan ekonomi yang dicanangkan Deng pada 1978 telah membuat negara gamang. Seperti Mao telah membuat China merdeka, Deng membuat China makmur. Ekonomi China maju, tetapi gejala menuju demokrasi Barat juga mencuat. Situasi ini turut menjadi cikal bakal Tragedi Tiananmen 1989 akibat gerakan prodemokrasi di China.
”Jadi ingat ucapan Deng Xiaoping, saat kita buka pintu, kita juga tahu lalat pun turut serta masuk,” kata Joseph Fewsmith III, profesor hubungan internasional dan sains politik dari Boston University, serta penulis buku Rethinking Chinese Politics.
Wang menjauh dari Tragedi Tiananmen. Ia meneliti China di tengah pembukaan secara cepat ke dunia oleh Deng Xiaoping. Wang melihat negaranya dalam proses transformasi; dari ekonomi produksi ke ekonomi konsumsi, berkembang dari budaya berorientasi spiritual ke budaya berorientasi material, dari budaya kolektivis ke budaya individualistis.
Baca juga : China Mempromosikan Perdamaian dan Pembangunan Dunia
Ia melihat sosialisme dengan karakteristik China secara efektif hilang di tengah modernisasi dan menuju arah budaya yang jelas. Tidak ada nilai inti dalam struktur terbaru China, demikian Wang memperingatkan keadaan di tengah reformasi oleh Deng.
Situasi ini tidak bisa dipertahankan. Ia memperingatkan komponen budaya politik yang dibentuk Revolusi Kebudayaan tercerabut. Modernisasi mengikis kepedulian sosial, nilai-nilai sosial, dan relasi-relasi sosial. Wang berkesimpulan, China harus menciptakan nilai-nilai inti, menggabungkan fleksibilitas nilai-nilai tradisional Tiongkok dengan semangat modern, baik Barat maupun Marxisme.
Teori modernisasi Barat
Wang telah menuliskan bahwa individualisme radikal dan nihilisme akan menjadi akar kejatuhan AS lewat bukunya, America Against America. Hal serupa itu juga bisa menimpa China. Pandangannya membuat Wang pindah ke Zhongnanhai, kompleks para pemimpin di Beijing, saat Jiang Zemin berkuasa.
Pada saat bersamaan para akademisi AS pun begitu yakin perkembangan ekonomi akan membawa China menuju demokrasi, setidaknya seperti Taiwan. Dalam sebuah artikel di The National Interest tahun 1996, ekonom dari Hoover Institution, Harry Rowen, menuliskan, China akan bertahan dengan laju pembangunan ekonomi cepat dan transformatif. Dengan itu Rowen meramalkan China akan menjadi negara demokrasi pada tahun 2015 (Larry Diamond, Standford University, dalam artikel berjudul ”Prospects for Democracy and Democratization in Chinese Societies”, 21 Oktober 2017).
Pada 2007, di Journal of Democracy, Rowen kurang lebih mengulangi prediksinya. Ia tuliskan, China akan ”masuk ke dalam kategori bebas parsial” pada 2015. Dengan pertumbuhan eksplosif dalam tingkat pendidikan dan kelas profesional, termasuk profesi hukum, China secara bertahap akan memperluas kebebasan, hingga pada 2025 menjadi negara demokrasi.
Pandangan ini didasarkan pada teori modernisasi Barat yang terlihat di Taiwan. Pada pertengahan 1980-an, perkembangan ekonomi Taiwan dan peningkatan pendidikan telah menciptakan masyarakat sipil yang jauh lebih kompleks dan majemuk. Diikuti kenaikan pesat jumlah kelas menengah dan kelas bisnis independen, serta relasi kuat dengan AS, membuat warga Taiwan menuntut kebebasan lebih.
Jepang dan teori Huntington
Perkiraan ini tidak terjadi China. Wang adalah salah satu otak di balik kekecewaan Barat, yang belum menyaksikan China menjadi negara demokrasi ala Barat. Wang konsisten menekankan bahwa China harus memiliki nilai budaya sendiri di tengah negara yang sedang berkembang kuat.
Bagi Wang, kata Jonhson, demokrasi lebih pada hasil, bukan prosesnya, bukan lewat keberadaan partai-partai politik tanpa kendali. Demokrasi dirasakan warga lewat kepuasan dan sukses bersama, memunculkan unitary democracy ketimbang pluralistic democracy. Mekanisme unitary democracy ini adalah birokrat transformasional yang dibina dengan baik. Dalam demokrasi jenis ini ada semacam demokrasi konsultatif, ditentukan para elite demi kepentingan bersama.
Wang bukan semata-mata melihat kelebihan nilai budaya China itu sendiri. Ia mengamati kolektivisme juga bertahan di Jepang yang semakin maju. ”Saya sering berpikir dalam istilah Meiji Jepang, pada 1860-an, semua yang berbau Barat itu hebat. Pada 1870-an, 1880-an, dan 1890-an, terjadi resesi Matsukata, Jepang kembali ke semangat mereka sendiri. Jadi, Wang Huning setidaknya mencerminkan perubahan budaya untuk modernisasi China,” kata Timothy Cheek, profesor sejarah dari University of British Columbia, Kanada yang mendalami China.
Jepang telah menjalani modernisasi tanpa meninggalkan kolektivisme. Wang menuliskan isu ini pada 1991 saat Jepang, seperti China saat ini, dipandang sebagai penantang ekonomi yang sah bagi Amerika Serikat.
Kembali ke jati diri sendiri seperti Jepang juga masuk dalam pengamatan Wang. Unsur budaya begitu penting bagi Wang, yang juga mendalami teori modernisasi Amerika dan tanggapan kaum Huntingtonian (Samuel Huntington) terhadap teori modernisasi. Huntington menempatkan nilai dan budaya sebagai pusat di balik argumen modernisasi. Sebuah negara tetap akan sulit meninggalkan tradisi di tengah modernisasi, demikian salah satu pandangan Huntingtonian.
”Jepang telah menjalani modernisasi tanpa meninggalkan kolektivisme. Wang menuliskan isu ini pada 1991 saat Jepang, seperti China saat ini, dipandang sebagai penantang ekonomi yang sah bagi Amerika Serikat. Ada perasaan bahwa Jepang pada akhirnya akan melampaui AS, dan ini menurut Wang adalah model yang sangat menarik bagi China,” lanjut Johnson.
Semboyan tiga presiden
Jadilah China seperti sekarang dengan sentralisasi pemerintahan bergaya otoritarianisme. Wang memoles gaya itu lewat berbagai moto yang berkembang di era kepemimpinan presiden China. Ia menorehkan moto ”Three Represents” pada era Jiang Zemin yang dicanangkan tahun 2000. Ini mewakili pandangan tentang pembangunan dengan kekuatan produktif yang lebih maju, mewakili orientasi budaya maju, mewakili kepentingan fundamental mayoritas warga China sebagaimana dilansir dalam What Is "Three Represents" CPC Theory? di laman china.org.cn
Wang juga otak di balik ”Harmonious Society” di era Hu Jintao yang diperkenalkan pada 2004. Ini sebuah konsep yang menanggapi ketidakpuasan sosial yang meningkat dan bertujuan menyampaikan gagasan tentang penyelesaian ”kontradiksi” di antara berbagai kelompok dan kelas. Moto itu mendorong pembangunan berkelanjutan diikuti eksistensi masyarakat yang harmonis. Moto Harmonious Society, sebagaimana dikutip dari China Media Project, menjadi identik dengan penindasan suara rakyat atas nama tatanan sosial bersama.
Baca juga : China Tata Jalan Menuju Era Baru lewat Kongres Partai Komunis
Wang juga ada di balik aneka moto pembangunan di era Presiden Xi seperti ”China Dream”, ”Common Prosperity”, kampanye antikorupsi, ”Belt and Road Initiative”, kebijakan luar negeri yang lebih menyerang, dan ”Xi Jinping Thought for the New Era of Socialism With Chinese Special Characteristics”. ”Semua slogan besar, dari Jiang ke Hu hingga Xi, tampaknya datang dari Wang Huning,” kata Willy Lam, staf senior dari The Jamestown Foundation di Washington (Reuters, 11 Desember 2022).
China Daily, 13 Maret 2023, menuliskan pandangan Wang yang mengatakan pentingnya solidaritas untuk menyatukan kekuatan demi meraih rejuvenasi nasional. ”China sekarang berada pada titik krusial dan dalam dunia yang mengalami perubahan yang belum pernah terjadi dalam seabad terakhir. Kini kita sangat perlu membangun konsensus dan memperkuat solidaritas,” kata Wang saat penutupan sesi pertama Komite Nasional dalam Chinese People’s Political Consultative Conference (CPPCC) Ke-14 di Beijing.
Ucapannya ini adalah pembalutan atas sentralisme yang tegas lewat otoritarianisme. Namun, seperti kata Huntington, gaya setiap negara itu sangat khas berkat kekhasan budayanya, belum tentu berlaku umum. (AFP/AP/Reuters)