China Melambat Lagi, Indonesia Bisa Terimbas
Mayoritas impor China berupa bahan baku. Jika kegiatan manufakturnya melambat, impor bahan baku akan berkurang pula. Dampaknya, potensi pasar ekspor Indonesia akan berkurang pula.
BEIJING, SENIN — Perekonomian China kembali menunjukkan indikasi pelambatan selama dua bulan berturut-turut. Pelambatan itu buruk bagi Indonesia dan berbagai negara lain di dunia.
Pengumuman Biro Statistik Nasional (NBS) China pada Minggu (30/4/2023) mengindikasikan pelambatan itu. Indeks pembelian oleh manajer (PMI) sektor manufaktur China pada April 2023 hanya 49,2. Pada Maret 2023, nilainya masih 51,6.
Sementara menurut Caixin, lembaga riset ekonomi di China, PMI manufaktur China pada Maret 2023 malah di 50. Adapun pada Februari 2023, PMI manufaktur China 51,6. Angka PMI di atas 50 menunjukkan pertumbuhan dan di bawah 50 mengindikasikan pelambatan.
”Laporan PMI ini menunjukkan indikasi campur aduk dan menandakan pemulihan pascapandemi mulai kekurangan tenaga sehingga perlu dukungan kebijakan,” kata Zhou Hao, ekonom pada lembaga pialang akuisisi Guotai Junan International.
Baca juga : Ekonomi China Tumbuh, RI Genjot Ekspor Lewat RCEP
Penurunan PMI manufaktur terdampak oleh pelemahan pertumbuhan global. Sementara di dalam negeri, penurunan PMI terutama terimbas oleh keputusan konsumen tetap meningkatkan tabungan sembari terus menunda belanja. ”Rendahnya permintaan pasar dan dampak lonjakan pemulihan yang terlampau cepat di kuartal pertama adalah sebagian penyebab kontraksi pada April,” kata analis statistik senior NB Zhao Qinghe.
Tekanan ekspor
Lembaga investasi Nomura memprediksi, tekanan pada industri orientasi ekspor China akan terus terjadi. Sebab, masih ada penurunan pasar teknologi, pengetatan di tengah guncangan pasar keuangan, dan memburuknya hubungan dagang Amerika Serikat dengan China. ”Penurunan ekspor akan terus menghambat investasi manufaktur dan penyerapan tenaga kerja,” demikian dicantumkan dalam catatan Nomura kepada para investornya.
Ekonom NBS Zhu Hong juga menyoroti soal perang dagang. AS terus meningkatkan sanksi pada sektor teknologi China. Padahal, teknologi merupakan salah satu industri pemberi nilai tambah tinggi. Di sisi lain, industri itu juga sangat terkait dengan rantai pasok global. Rangkaian sanksi AS dan sekutunya mengganggu rantai pasok dan pasar ekspor industri teknologi China.
Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengingatkan bahaya pelambatan China. Dampaknya tidak hanya akan dirasakan di China. China menyerap hingga 30 persen ekspor Asia dan setidaknya 10 persen ekspor benua-benua lain. Bagi Indonesia, China menyerap hingga 23 persen ekspor.
Mayoritas impor China berupa bahan baku. Jika kegiatan manufakturnya melambat, impor bahan baku akan berkurang. Dampaknya, potensi pasar ekspor Indonesia akan berkurang pula.
Dalam laporan pada April 2023, IMF sudah mengingatkan potensi pelambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu faktornya, penurunan pasar ekspor.
Sementara lembaga riset S&P lebih dulu mengingatkan indikasi pelambatan manufaktur China. Di Pelabuhan Shanghai dan Shenzen, jumlah kontainer kosong hampir mencapai rekor tertinggi. Peti kemas itu tidak kunjung terisi barang ekspor dari China ke berbagai negara lain. Kondisi itu terjadi kala perekonomian China disebut mulai kembali pulih pada 2023.
”Pelambatan ekonomi China dampak penundaan kondisi struktural yang terjadi sejak sebelum pandemi melanda. Keterbatasan pertumbuhannya sudah terlihat selama puluhan tahun dan ekonom sudah mengingatkan China akan kesulitan tumbuh luar biasa,” tulis mitra pendiri pada lembaga kajian pasar Rhodium Group, Daniel Rosen, di Foreign Affairs.
Baca juga : Sinyal Pemulihan Ekonomi China Jadi Peluang bagi RI
Meski tetap tumbuh, tarafnya akan lebih rendah dibandingkan dekade sebelumnya. IMF menaksir, pertumbuhan China tidak akan sampai 4 persen pada 2024. Sebelum pandemi, China bisa tumbuh di atas 10 persen lalu terus melambat sampai sekarang. ”Potensi pertumbuhan jangka panjang bergantung pada demografi, investasi modal, dan produktivitas,” lanjut Rosen.
Pada ketiga faktor itu, China hanya mungkin memacu di investasi. Tidak hanya menurun jumlahnya, penduduk China juga semakin menua. Salah satu imbasnya, produktivitas pekerja di China berkurang. Penurunan penduduk membuat China akan kekurangan pekerja usia produktif. Di sisi lain, penduduk berusia lanjut terus bertambah.
Simpanan dan belanja
Penurunan aktivitas manufaktur membuat China akan semakin kesulitan memutus lingkaran setan belanja dan simpanan. Dalam kondisi ketidakpastian, konsumen akan cenderung meningkatkan simpanan dan menunda belanja. Hal itu bagian dari persiapan menghadapi kondisi yang bisa jadi lebih buruk.
Padahal, pertumbuhan perekonomian terhambat jika konsumen mengerem belanja dan investasi. Saat perekonomian melambat, upah pun sulit naik. Di China, manufaktur menyerap 18 persen tenaga kerja.
Sejak pandemi, dana simpanan warga di China terus meningkat. Bank Rakyat China mencatat, simpanan warga menembus 17,9 triliun yuan atau 2,5 triliun dollar AS pada 2022. Tidak hanya besar jumlahnya, kecepatan pertambahannya juga amat tinggi. Sepanjang 2022, simpanan warga bertambah 9,9 triliun yuan. Hingga 60 persen pemilik dana di perkotaan memprioritaskan simpanan. Hanya 16 persen mempertimbangkan menambah investasi.
Padahal, belanja dan investasi warga menjadi salah satu mesin penggerak perekonomian China. Sayangnya, kedua hal itu sulit dilakukan.
Peningkatan belanja hanya mungkin terjadi bila konsumen kelas menengah menilai jumlah penghasilan yang bisa dibelanjakan naik. NBS mencatat penurunan jumlah penghasilan yang bisa dibelanjakan 20 persen teratas. Pada 2023, jumlahnya hanya 10 persen dari 2022.
Selain itu, pemilik dana masih sangat hati-hati berinvestasi karena rangkaian skandal properti. Selama bertahun-tahun, properti menjadi salah satu penyerap utama investor China. Sayangnya, kegagalan penyelesaian berbagai proyek dan kesulitan keuangan membuat investor menjauhi berbagai emiten properti. Karena itu, pemilik dana cenderung memilih meningkatkan tabungan.
Baca juga : Dampak Ganda Pembukaan Ekonomi China bagi Pasar Global
Dari sisi moneter, Beijing mengindikasikan akan membatasi pasokan uang ke pasar. Pertumbuhan pasokan uang 2023 terindikasi akan lebih rendah dibandingkan 2023. Beijing akan menyelaraskan pasokan uang dengan target pertumbuhan. Pada Maret 2023, kabinet China telah mengumumkan target pertumbuhan 5 persen pada 2023. (AFP/REUTERS)