Apa yang terjadi di Sudan tidak akan berhenti di Sudan. semakin lama pertempuran berlangsung, semakin memungkinkan terjadinya intervensi eksternal,
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·3 menit baca
Perang saudara yang berkobar di Sudan sejak 15 April 2023 menegaskan kenyataan pahit peperangan di berbagai belahan dunia. Perang semakin kompleks dan konsekuensinya melintasi jauh dari batas-batas negara.
Laporan The Economist pada Rabu (19/4/2023), menyebutkan, perang saudara di Sudan menggarisbawahi bencana global yang kurang mendapat perhatian, yakni bertambah lamanya durasi perang. Sejak merdeka tahun 1956, Sudan sering didera perang sipil. Pertempuran pada pekan lalu bahkan disebut hanya sebagai permulaan dari perang saudara skala penuh.
“Rata-rata konflik (perang saudara) yang terjadi pada pertengahan 1980-an berlangsung sekitar 13 tahun. Pada 2021, angkanya naik menjadi 20 tahun. Antara tahun 2001 dan 2010, secara kasar lima negara mengalami dua atau lebih konflik berturut-turut dalam setahun. Sekarang 15 negara. Sejak 1991, ada peningkatan hingga 12 kali lipat dalam proporsi perang sipil yang melibatkan pasukan asing,” demikian The Economist.
Di Sudan, dua pihak yang berseteru memiliki ribuan prajurit, dukungan asing, kekayaan mineral, dan sumber daya lain yang bisa melindungi mereka dari sanksi-sanksi komunitas internasional. Kantor berita Associated Press menyebutnya sebagai resep jitu untuk semakin memperpanjang durasi konflik. Itulah faktor-faktor yang telah menghancurkan negara-negara di Timur Tengah dan Afrika, dari Lebanon dan Suriah hingga Libya dan Etiopia.
Perang saudara yang berlangsung lama atau keterbelahan negara-negara Arab dan Afrika ke dalam wilayah kekuasaan yang saling berseteru sangat mungkin terjadi akibat konflik di Sudan. Alex De Waal, pakar Sudan pada Tufts University, menuliskan, pertempuran sengit di Sudan sejak pekan lalu bisa dilihat sebagai ronde pertama perang sipil dan berisiko meluas.
“Jika tidak cepat diakhiri, konflik akan menjadi permainan multilevel dengan aktor-aktor regional dan internasional yang mengejar kepentingan mereka, menggunakan uang, suplai persenjataan, dan kemungkinan pasukan mereka atau pasukan proksi,” sebutnya.
Sudan merupakan negara terluas ketiga di Afrika dan dibelah Sungai Nil, berbagi airnya dengan Mesir dan Etiopia. Sudan berbatasan dengan lima negara, yakni Libya, Chad, Republik Afrika Tengah, Eritrea, dan Sudan Selatan. Hampir semua negara itu terjerumus dalam konflik internal masing-masing dengan kelompok-kelompok pemberontak.
“Apa yang terjadi di Sudan tidak akan berhenti di Sudan. Chad dan Sudan Selatan berisiko mendapatkan limpahan langsung. Namun, semakin lama pertempuran berlangsung, semakin memungkinkan terjadinya intervensi eksternal,” ujar Alan Boswell dari International Crisis Group, seperti dikutip Associated Press.
Sementara negara-negara yang ingin menjadi mediator, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Mesir, negara-negara Teluk, Uni Afrika, dan blok delapan negara Afrika timur (IGAD) justru bisa memperumit upaya perdamaian. “Mediator eksternal berisiko menjadikan situasi seperti kemacetan lalu lintas tanpa polisi yang mengaturnya,” ungkap De Waal.
Yang menyedihkan, perang saudara terjadi sebagian besar di negara-negara miskin. Hampir semua perang saudara juga mengguncang negara-negara dengan pemerintahan yang korup di mana kekuasaan menjadi jalan tercepat menuju kekayaan. Banyaknya kelompok yang bersaing di negara itu mengharuskan semua pihak dipuaskan jika ingin perdamaian tetap terjaga.
Turut memperparah perang saudara ini adalah faktor perubahan iklim. Tidak secara langsung menyebabkan perang, tetapi perubahan iklim membuat konflik internal semakin mungkin terjadi. Di Mali, tercatat ada 70 perang saudara karena perebutan tanah dan hak merumput karena kekeringan.