Arab Saudi dan AS Evakuasi Diplomat dan Warganya dari Sudan
Sejumlah negara telah mengevakuasi warga negara mereka dari Sudan. Amerika Serikat menyusul langkah Arab Saudi memulangkan misi diplomatik mereka dari Khartoum.
KHARTOUM, MINGGU – Gelombang evakuasi para diplomat dan warga negara asing dari Sudan terus mengalir sejak Sabtu (22/4/2023). Kementerian Luar Negeri Arab Saudi, Sabtu lalu mengumumkan, berhasil memulangkan 91 warga Saudi bersama dengan sejumlah warga dari negara lain, diantaranya Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Mesir, Tunisia, Pakistan, India, Bulgaria, Bangladesh, Filipina, Kanada, dan Burkina Faso.
Total sebanyak 150 orang - termasuk diplomat dan pejabat asing – yang dievakuasi dari Sudan tiba di Jeddah. Mereka merupakan gelombang pertama warga sipil yang dievakuasi dari tengah pertempuran di Sudan. Negara-negara lain juga Bersiap untuk mengevakuasi warga mereka.
Baca juga: Indonesia Matangkan Persiapan Evakuasi, Korea Selatan Kirim Hercules Dekati Sudan
Sementara itu pada Minggu (24/4/2023), salah satu faksi yang bertikai di Sudan, Pasukan Pendukung Cepat (RSF), mengatakan mereka telah berkoordinasi dengan pasukan Amerika Serikat untuk mengevakuasi pada diplomat dan staf Kedutaan Besar AS di Khartoum. Proses evakuasi tersebut, sebut sejumlah media AS, telah dilakukan.
“Hari ini atas perintah saya, militer AS menggelar operasi untuk menjemput pegawai pemerintah AS dari Khartoum,” ujarnya sebagaimana disiarkan dalam pernyataan tertulis Gedung Putih. Ia berterima kasih kepada Arab Saudi, Djibouti, dan Etiopia dalam upaya evakuasi itu.
Setidaknya 70 orang terdiri dari diplomat dan staf kedutaan diterbangkan dari zona pendaratan di area Kedutaan Besar AS di Khartoum ke lokasi yang belum dijelaskan. Departemen Luar Negeri AS pun untuk sementara menangguhkan operasi di kedutaan karena situasi keamanan Sudan yang buruk. Tidak jelas kapan Kedubes AS di Khartoum akan kembali berfungsi.
Tidak ada indikasi AS mengevakuasi warga sipilnya di Sudan. Sejak awal, Departemen Luar Negeri AS memang mengindikasikan tidak mampu melakukan itu. Warga sipil diminta mengupayakan sendiri evakuasinya dari Sudan.
Departemen Pertahanan AS tidak menyanggah, evakuasi dilakukan dari Etiopia. Komando Operasi AS di Africa menjadi penanggung jawab operasi itu. Dalam pernyataan pada Minggu pagi waktu Khartoum, RSF mengklaim AS berkoordinasi dengan mereka untuk evakuasi itu.
"Komando Pasukan Dukungan Cepat telah berkoordinasi dengan Misi Pasukan AS yang terdiri dari enam pesawat, untuk mengevakuasi diplomat dan keluarga mereka pada Minggu pagi," kata RSF melalui tweet mereka. Mereka pun berjanji untuk bekerja sama dengan semua misi diplomatik demi memastikan evakuasi yang aman bagi warga asing.
RSF juga berjanji membantu negara lain yang mau mengevakuasi warganya dari Sudan. “Kami akan berkoordinasi dengan berbagai misi diplomatik untuk memastikan keselamatan warga berbagai negara untuk pulang ke berbagai negara masing-masing,” demikian pernyataan RSF sebagaimana dikutip Aljazeera.
RSF mengklaim akan membuka semua bandara di Sudan untuk menggelar proses evakuasi itu. Namun sejauh ini belum ada verifikasi bandara mana saya yang ada di bawah kontrol RSF. Bandara utama Sudan sementara ini ditutup.
Baca juga: Evakuasi WNI dari Sudan Terus Diupayakan
Perebutan kontrol kekuasaan di Sudan – antara RSF melawan kubu militer Sudan – telah menyebabkan negeri itu jatuh kembali dalam kemelut perang saudara. Pihak militer dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattal al-Burhan, sementara itu RSF yang didominasi oleh Janjaweed – kelompok milisi bersenjata yang umumnya berasal dari suku Arab nomaden di Sudan – bergerak di bawah komando Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau akrab dipanggil Hemedti. Di era pemerintahan Presiden Sudan Omar al-Bashir, milisi itu dikerahkan Sudan untuk meredakan pemberontakan di Darfur.
Arab Saudi
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengatakan, proses evakuasi warga mereka dan sejumlah warga negara lain dilakukan oleh Angkatan Laut Kerajaan Arab Saudi. Mereka didukung oleh unsur-unsur lain dari Angkatan Bersenjata Kerajaan.
Al-Ekhbariya yang dikelola oleh pemerintah Saudi merilis beberapa video kapal perang kerajaan yang tengah mendekati pelabuhan Jeddah pada Sabtu. Setelah turun dari kapal, para diplomat dan warga yang dievakuasi disambut oleh sejumlah pejabat dan tentara.
Menurut Al-Ekhbariya, sebelum diangkut dengan kapal perang menuju Jeddah, mereka diangkut dari zona perang menggunakan konvoi kendaraan menuju Port Sudan. Proses evakuasi itu merupakan proses evakuasi warga sipil pertama dan dari Sudan.
Sejumlah negara, seperti AS, Inggris, Perancis, dan China juga telah berencana untuk menerbangkan warga mereka keluar dari Khartoum menggunakan pesawat militer. Pihak militer Sudan mengatakan, Burhan telah dihubungi oleh sejumlah pemimpin negara untuk menjamin keamanan dan “memfasilitasi” evakuasi warga dan misi diplomatik negara-negara itu.
Konflik
Burhan dan Dagalo sejatinya adalah mitra saat kudeta tahun 2021. Mereka menggulingkan pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Abdalla Hamdok. Sejak itu, Sudan kerap diwarnai oleh unjuk rasa pro-demokrasi dan pro-militer. Transisi politik di Sudan – sejak jatuhnya Presiden Omar al-Bashir pada April 2019 – pun lantas tak tentu arah.
Baca juga: Saat Para Jenderal Berseteru
Hingga akhirnya pada 15 April lalu Burhan menyerang pos-pos RSF untuk menegaskan kontrolnya atas Sudan. Perselisihan Burhan dan Dagalo berpusat pada rencana integrasi RSF ke dalam tentara regular. Integrasi itu menjadi syarat utama untuk kesepakatan yang bertujuan memulihkan transisi demokrasi Sudan.
Di sisi lain, Dagalo juga menyalahkan Burhan dan pasukannya soal gencatan senjata yang tidak kunjung terwujud. Pada Jumat dini hari, RSF kembali mengumumkan gencatan untuk menghormati Idul Fitri. Bersama sejumlah negara di Afrika dan Timur Tengah, Sudan merayakan Idul Fitri pada Jumat. “Saya tidak masalah dengan gencatan senjata. Burhan dan pasukannya tidak mampu menghormati kesepakatan ini,” kata dia kepada televisi Al Arabiya.
Sejak konflik meletus lebih dari 400 orang tewas dan ribuan lainnya terluka. Diantara korban tewas terdapat lima pekerja misi kemanusiaan. Kelompok dokter lintas batas atau Doctors Without Borders (MSF) di kota El Fasher mengatakan petugas medis mereka "kewalahan" dengan jumlah pasien luka tembak, banyak dari mereka adalah anak-anak.
Pasokan listrik dan makanan pun terganggu. Kedua pihak mengabaikan gencatan senjata 24 jam yang ditetapkan untuk menghormati perayaan Idul Fitri. Program Pangan Dunia mengatakan, kekerasan itu dapat menjerumuskan jutaan orang lagi ke dalam kelaparan di negara yang sepertiga dari populasi membutuhkan bantuan.
Indonesia
Melihat situasi yang memburuk itu, sejumlah negara termasuk Indonesia mendorong adanya jeda kemanusiaan. Langkah itu diperlukan untuk membuka koridor aman untuk evakuasi warga sipil dan memberi ruang bagi pekerja kemanusiaan untuk bergerak.
Kedutaan Besar RI di Khartoum mencatat 1.209 WNI di Sudan. Sebagian besar mahasiswa atau pelajar dan tinggal di Khartoum. Sampai Minggu siang, Indonesia belum bisa memastikan kapan evakuasi bisa dilakukan. Jajaran Kemlu dan instansi terkait sedang mematangkan rencana evakuasi dari sana.
Evakuasi dari Sudan terjadi berselang hampir 14 bulan sejak evakuasi dari Ukraina dilakukan. Pada Januari-Februari 2022, Indonesia mengevakuasi tidak sampai 200 orang dari Ukraina.
Sejumlah diplomat di Khartoum menyebut, evakuasi massal warga asing diduga akan dilakukan pada Senin atau Selasa. Mayoritas warga asing akan diangkut dengan kapal dari Pelabuhan Sudan. Pelabuhan di tepi Laut Merah itu antara lain paling dekat dengan Pelabuhan Jeddah, Arab Saudi. Sejak ratusan tahun lalu, pelabuhan itu salah satu titik penghubung Sudan dengan Arab Saudi.
Dari Khartoum pada situasi normal, butuh waktu setidaknya 14 jam berkendara untuk mencapai Pelabuhan Sudan. Dengan pertempuran yang sedang berlangsung, butuh waktu lebih lama untuk perjalanan dari Khartoum ke Pelabuhan Sudan. RSF mengklaim berkomitmen mematuhi gencatan senjata bila hal itu diumumkan secara resmi.
Dagalo mengatakan, dia telah membahas krisis di Sudan dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa Antonio Guterres. (AP/AFP/Reuters)