China menyodorkan modernisasi gaya baru. Penekanannya pada penghormatan terhadap karakteristik dan ciri khas masing-masing negara, bukan pada model tunggal.
Oleh
AGNES THEODORA dari Beijing, China
·4 menit baca
SHANGHAI, KOMPAS – China membantah anggapan yang berkembang bahwa negara adidaya itu sedang menantang tatanan dunia lama melalui cara-cara kekerasan dan paksaan. Beijing menyatakan tidak berniat terlibat kompetisi perebutan kekuasaan dengan negara-negara Barat yang selama ini mendominasi konstelasi global.
Menteri Luar Negeri China Qin Gang mengatakan, akhir-akhir ini muncul retorika yang menuduh China hendak menantang tatanan dunia melalui unjuk kekerasan, paksaan, dan konflik. Kesan itu menguat dengan menguatnya ketegangan seputar isu independensi Taiwan. China dianggap sedang mendisrupsi stabilitas serta perdamaian di Selat Taiwan.
“Tudingan seperti itu bertentangan dengan akal sehat hubungan internasional. Itu logika yang absurd dan konsekuensinya sangat berbahaya,” kata Qin Gang saat membuka Lanting Forum di Shanghai, China, Jumat (21/4/2023).
Forum yang dihadiri 300 peserta dari perwakilan pemerintah, pelaku bisnis, akademisi, dan organisasi internasional itu mengambil tema “Modernisasi China dan Dunia”. Selama satu hari penuh, ajang itu mendiskusikan konsep modernisasi ala China, tawaran China untuk mendorong pembangunan dunia yang lebih merata, serta solusi untuk menstabilkan relasi China dengan Amerika Serikat (AS) dan negara barat lainnya.
Sebagai salah satu negara pendiri Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan negara pertama yang menandatangani Piagam PBB, Qin Gang menegaskan, China mengemban tanggung jawab besar untuk menjaga otoritas PBB, perdamaian dunia, serta menegakkan tatanan global.
Ia mengatakan, selama ini, China punya rekam jejak yang bersih, alias selalu patuh pada hukum internasional, norma hubungan internasional, dan prinsip Piagam PBB.
“Kami tidak butuh diingatkan oleh negara lain soal itu. Orang yang rasional bisa menilai sendiri siapa sebenarnya yang sedang mengeksploitasi dan mendisrupsi tatanan global, serta melakukan hegemoni dan perundungan terhadap negara lain,” kata Qin.
Apa yang dilakukan China saat ini, Qin melanjutkan, sebatas untuk menjaga kedaulatan teritorialnya. Beijing mengklaim Taiwan adalah bagian dari China. Posisi itu tidak akan berubah. Beijing pun tidak akan ragu menempuh segala cara untuk melawan pihak-pihak yang menyepelekan kedaulatan China. “Mereka yang bermain dengan api terkait isu Taiwan hanya akan mencelakakan dirinya sendiri,” katanya.
Situasi di Selat Taiwan belakangan memang semakin tegang, khususnya pascakunjungan Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen ke AS, awal April 2023. Dalam kesempatan itu, ia bertemu dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat AS Kevin McCarthy.
Orang yang rasional bisa menilai sendiri siapa sebenarnya yang sedang mengeksploitasi dan mendisrupsi tatanan global, serta melakukan hegemoni dan perundungan terhadap negara lain.
Menyusul kunjungan itu, China menggelar latihan militer di sekitar Taiwan. Latihan melibatkan matra udara, laut, dan darat. Spekulasi pun berkembang bahwa perang akan pecah di Selat Taiwan pada 2027.
Anggapan bahwa China hendak menantang dominasi barat dan membentuk tatanan dunia baru juga muncul pascakunjungan Presiden China Xi Jinping ke Moskwa, Rusia, akhir bulan lalu. Dalam kunjungan tiga hari itu, kedua pemimpin negara sepakat memperkuat kerja sama dan hubungan persahabatan dalam menyambut era yang baru.
Tidak berniat
Lebih lanjut, Qin Gang turut menyoroti posisi China dalam konstelasi global saat ini. Tawaran modernisasi gaya China kepada dunia, ia berpendapat, bukan upaya untuk menantang narasi lama tatanan dunia yang selama ini berpusat pada negara-negara barat.
Konsep modernisasi ala China yang dimaksud menitikberatkan pada karakteristik dan ciri khas unik dari tiap negara. Modernisasi gaya baru itu tidak mengacu pada satu model modernisasi ala barat yang selama ini menjadi cerminan “negara maju”.
Modernisasi gaya baru itu tidak mengacu pada satu model modernisasi ala barat yang selama ini menjadi cerminan “negara maju”.
China beranggapan, tidak ada model modernisasi tunggal untuk semua negara. Setiap negara bisa mencapai modernisasi, selama cara yang ditempuh sesuai dengan kondisi dan kebutuhan warga masing-masing.
Beberapa inisiatif yang ditawarkan China kepada dunia dalam konteks itu antara lain, Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative), Prakarsa Peradaban Global (Global Civilization Initiative), Inisiatif Keamanan Global (Global Security Initiative), dan Inisiatif Pembangunan Global (Global Development Initiative).
Modernisasi, ujar Qin Gang, bukan hanya milik segelintir negara maju. Setiap negara berhak menjalani modernisasi dengan ciri khas, gaya dan konteksnya masing-masing.
“China tidak berniat terlibat dalam kompetisi perebutan kekuasaan. Kami hanya ingin membela kepentingan kami serta hak warga dunia untuk hidup lebih baik,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden New Development Bank, yang juga mantan Presiden Brasil, Dilma Rousseff mengatakan, negara-negara bumi bagian selatan alias “Global South” selama ini hanya meniru model modernisasi yang diterapkan negara-negara maju.
Namun, modernisasi gaya lama itu sejauh ini terbukti tidak berhasil membawa kesejahteraan. Bahkan kenyataannya, kesenjangan antara negara-negara maju dan berkembang makin parah.
Ia menilai, modernisasi ala China menawarkan pilihan baru yang dapat memperkuat globalisasi dan multilateralisme. Dalam konteks pertumbuhan ekonomi, proposal China bahkan dapat memperkuat arsitektur keuangan global baru yang lebih inklusif dan tidak sekadar bergantung pada kedigdayaan dollar AS.
“Di dunia yang saat ini dirundung krisis, dari krisis iklim, konflik geopolitik, disrupsi rantai pasok, dan gerakan antiglobalisasi, modernisasi gaya baru ini semakin penting untuk menjembatani kesenjangan antara bumi bagian selatan dan utara, serta membangun dunia yang lebih multipolar,” katanya.