Para pejabat AS terbiasa menyelesaikan berbagai persoalan dengan tuntutan dan ultimatum selama periode kutub tunggal berlangsung.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
AP PHOTO/ANDREW HARNIK
Presiden Amerika Serikat Joe Biden berjalan menuju Air Force One di Bandar Udara Internasional OHare di Chicago, Rabu (11/5/2022). Selepas kunjungan di Chicago, Biden menuju Washington untuk menggelar Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-AS.
Akhir tatanan global yang berpusat pada kutub tunggal atau unipolar adalah keniscayaan seiring perkembangan kemampuan berbagai negara. Sebagian gembira dengan hal itu, sebagian lagi merasa cemas dan berusaha menghambat perubahan tersebut selama mungkin.
Panglima Komando Operasi Amerika Serikat di Indo-Pasifik Laksamana John Aquilino memang menyebut, AS tidak pernah bermaksud menangkal kemajuan negara lain. Ada tempat di tatanan global bagi setiap negara yang mau patuh pada aturan. ”Ikuti seperti lainnya,” katanya dalam IISS Special Lecture, di Singapura, Kamis (16/3/2023).
Namun, sebagian pihak tidak setuju dengan Aquilino. Pengajar Ilmu Hubungan Internasional pada Harvard University, Stephen Walt, mengatakan, AS telah menghabiskan puluhan tahun untuk mempertahankan tatanan unipolar. Ia pun mengakui mendukung gagasan fokus strategi Washington adalah menjaga keunggulan AS selama mungkin. Hal itu berarti mempertahankan tatanan global dengan kutub tunggal. Kutub itu adalah AS.
Strategi nasional AS yang dirumuskan sejak 1991, baik pada era pemerintahan Demokrat maupun Republikan, jelas bertujuan menjaga keunggulan AS. Tujuan utama itu dipertahankan meski para perumusnya tahu bahwa tatanan global berkutub tunggal akan berakhir.
Hal itu antara lain tecermin pada kebijakan AS terhadap Rusia dan China. Para pejabat AS, juga sebagian sekutunya, mengakui tujuan menyokong Ukraina adalah membuat Rusia lemah agar tidak membuat masalah di masa depan. AS juga berusaha menghambat lompatan teknologi China dengan melarang ekspor berbagai teknologi ke Amerika.
AFP/MANDEL NGAN
Foto yang diambil pada 15 November 2021 ini memperlihatkan Presiden AS Joe Biden di Ruang Roosevelt, Gedung Putih, Washington DC, AS, bertemu secara virtual dengan Presiden China Xi Jinping di Beijing, China.
Walt mengatakan, para pejabat AS terbiasa menyelesaikan berbagai persoalan dengan tuntutan dan ultimatum selama periode kutub tunggal berlangsung. Jika tidak dituruti, tekanan akan ditingkatkan dengan sanksi, serangan militer atau ekonomi, hingga penggulingan pemerintahan di negara lain. Washington terbiasa menggunakan kebijakan ”ambil atau tinggalkan”.
Sekutu dan akademisi AS tidak selalu setuju dengan hal itu. Mantan Kanselir Jerman Gerhard Schroeder berulang kali mengingatkan bahaya tatanan global yang berpusat di satu kutub. Mantan Menteri Luar Negeri Perancis Hubert Védrine pernah menyebut, inti kebijakan luas negeri Perancis adalah menghasilkan tatanan global multikutub. Berlin dan Paris adalah sekutu penting Washington di Eropa.
Sementara di kalangan akademisi AS, paling tidak ada dua perbedaan gagasan di antara para ilmuwan. Guru besar Ilmu Hubungan Internasional AS Hans Morgenthau (1904-1980) yakin tatanan multikutub akan sulit mencegah perang.
Pakar yang lebih muda, seperti John Mearsheimer, berpendapat, justru dunia akan lebih stabil jika tatanannya lebih dari satu kutub. Kekuatan besar yang saling berseberangan tahu bahwa mereka tidak bisa bertindak semaunya. Ada kekuatan lain yang siap memberikan konsekuensi atas tindakan serampangan kekuatan lain.
AP/GREGORIO BORGIA
Para pemimpin G20 berfoto di depan Trevi Fountain dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Roma, Italia, 31 Oktober 2021.
Rusia sedang merasakan hal itu setelah menyerang Ukraina. AS dan sekutu serta mitranya mengeroyok Rusia. Meski dampaknya lebih buruk bagi sekutu dan mitra AS, perang di Ukraina jelas memangkas kemampuan Rusia. Walakin, tidak berarti Rusia akan kehilangan status sebagai kekuatan besar. Limpahan sumber daya alam dan cadangan ribuan hulu ledak nuklir tetap akan membuat Moskwa menjadi kekuatan penting di tatanan global.
Tak hanya Rusia, kendali kekuatan lain juga sedang dirasakan China. Keputusan AS dan sekutunya mengerahkan aset militernya ke Asia Tenggara membuat perundungan oleh China terhadap negara kawasan bisa diredam. AS dan sekutunya akan menemukan alasan bertindak keras kepada China jika China sampai melanggar batas di Laut China Selatan.
Di sisi lain, AS juga merasakan pengaruhnya terus menurun di berbagai kawasan. Negara-negara kecil di Asia, Afrika, dan Kepulauan Pasifik kini tidak lagi begitu saja diam jika ada manuver AS. Mereka akan dengan mudah berbalik ke Beijing atau Moskwa.
AS, China, atau Rusia tidak mampu mencegah perkembangan ini. Beijing, Moskwa, Washington harus belajar menerima fakta tatanan yang berubah. Tatanan baru, menurut Walt, bisa menjadi menakutkan bagi negara yang terbiasa merasa lebih unggul dibandingkan dengan negara yang lain.