Pasar Incar Bank-bank Rapuh, Otoritas Moneter Siaga Tingkat Tinggi
Otoritas moneter di AS dan Eropa sedang siaga tinggi. Mereka mencium ulah investor menggoyang bank-bank yang dipersepsikan rapuh dengan gerakan pasar lewat instrumen ”credit default swap”.
Pasar sedang mengincar bank-bank yang dipersepsikan rapuh. Tindakan seperti itu turut membuat sistem perbankan Amerika Serikat dan Eropa mirip lautan ranjau dengan ledakan yang sewaktu-waktu bisa muncul. Oleh karena itu, otoritas moneter AS dan Eropa sedang siaga tinggi karena taruhannya adalah krisis ekonomi.
Gubernur Bank Sentral Inggris (BoE) Andrew Bailey, Selasa (28/3/2023) di London, mengatakan, para investor sedang mencari titik lemah perbankan. Pasar masih mengkhawatirkan krisis perbankan yang justru membuat situasi makin berat.
Baca juga : Perbankan AS dalam Posisi Sangat Berbahaya, Perbankan Asia Aman (Bagian 1)
Andrea Enria, Ketua Dewan Pengawasan Bank Sentral Eropa (ECB), di Frankfurt, mengatakan, gerakan pasar lewat instrumen credit default swap (CDS) dengan hanya bermodalkan jutaan dollar AS sudah bisa menggoyang bank beraset triliunan dollar AS. Gerakan ini turut meracuni pergerakan harga saham bank dan mendorong aliran deposito keluar dari perbankan (The Financial Times, 28 Maret 2023).
CDS adalah produk investasi yang dipakai untuk bertaruh, antara lain atas kejatuhan saham-saham bank yang dipersepsikan rapuh. Lewat instrumen ini, petaruh akan mendapatkan untung lewat harga yang turun. Ini kebalikan dari petaruh yang memasang taruhan harga naik, di mana jika harga naik, petaruh akan dapat untung. Aksi taruhan atas harga yang menurun kini sedang marak di AS dan Eropa.
”Saya kira ada gerakan-gerakan di pasar, jika Anda siap mendengarnya, yang sedang menguji perusahaan-perusahaan kita,” lanjut Bailey di hadapan parlemen Inggris. Bailey mengatakan, posisi perbankan Inggris sekarang ini kuat dan tidak melihat potensi krisis seperti 2008. Akan tetapi, dengan ujian dari pasar, krisis baru perbankan bisa muncul. ”Kita harus waspada tingkat tinggi. Kita sedang berada pada periode genting, tegang dan penuh kesiagaan,” kata Bailey.
Kebangkrutan cepat
Bailey menambahkan, dalam situasi seperti itu, krisis satu bank bisa membuat bank tersebut berubah mendadak dalam waktu cepat, seperti yang menimpa Silicon Valley Bank (SVB). Bank AS ini bangkrut dalam waktu cepat, termasuk karena penarikan deposito dan juga taruhan kejatuhan harga saham dan obligasinya lewat instrumen CDS.
”Berdasarkan pengalaman saya dalam 30 tahun terakhir, kejatuhan SVB adalah kejatuhan tercepat sejak kebangkrutan Barings Bank pada 1995. Tempo kebangkrutan dua bank ini sangat mirip,” lanjut Bailey. SVB bangkrut pada 10 Maret 2023 dan Barings Bangkrut pada 1995 karena taruhan di pasar uang oleh pedagangnya sendiri, Nick Leeson.
Jose Manuel Campa, Kepala European Banking Authority, kepada harian Jerman, Handelsblatt, Senin (27/3/2023), mengatakan, perbankan Eropa tetap rapuh. ”Risiko dalam sistem keuangan tetap tinggi,” katanya. Hal serupa pun mendera AS. Dua kawasan ini sedang dalam keadaan siaga.
Risiko dalam sistem keuangan tetap tinggi.
Ed Clissof, chief strategist dari Ned Davis Research, Saratosa, Florida, juga mengatakan bahwa pergerakan di pasar sekarang ini terlalu dinamis dan cepat. Indeks divisi bank di bursa S&P 500 terbukti telah anjlok 16 persen pada 28 Maret sejak 8 Maret. Ini kejatuhan indeks yang tergolong cepat.
Paul Donovan, ekonom senior dari UBS Global Wealth Management, mengatakan, dinamika di sektor keuangan yang bergerak cepat ini adalah juga efek media sosial, perbankan daring (CNBC, 27 Maret 2023). Kasus kebangkrutan SVB dan Credit Suisse juga berlangsung cepat, termasuk karena peradaran informasi buruk tentang dua bank yang mengalir begitu cepat. Hasil analisis JPMorgan menyebutkan, posisi bank-bank sekarang ini sangat bergantung pada keyakinan para investor maupun kekuatan internal dan manajemen bank untuk menjawab keraguan pasar.
Meyakinkan pasar
Kali ini yang dicecar pasar adalah Deutsche Bank (DB) asal Jerman. Taruhan dengan instrument CDS juga berlaku untuk DB sebagaimana menimpa SVB dan Credit Suisse. Taruhan tetap berlaku meski otoritas Swiss turut menolong UBS dalam membeli Credit Suise. Upaya AS menolong First Citizens Bank dalam membeli SVB tetap tidak mencegah kekhawatiran, walau berhasil sedikitnya meredakan pasar.
Pemerintahan di AS dan Eropa meyakinkan pasar bahwa situasi terkendali. Kanselir Jerman Olaf Scholz, saat berada di Brussels, Jumat (24/3/2023), menyatakan, DB telah direorganisisasi dan memperbaiki diri menjadi bank yang bisa meraih keuntungan. Ia menegaskan, ”Tidak ada alasan untuk berspekulasi.”
Nyatanya, harga saham DB tetap jatuh dari kisaran 12 dollar AS pada awal Maret menjadi kisaran 9 dollar AS. Dalam masa puncaknya, harga saham DB pernah mencapai 140 dollar AS.
Baca juga : Deutsche Bank Jadi Perhatian, Pasar Makin Tak Percaya pada Kesehatan Bank AS-Eropa
Tindakan otoritas meyakinkan pasar tidak menjadi jaminan. Bank-bank itu akan diserang jika dianggap rawan. Situs CNBC, 24 Maret, menuliskan, kekhawatiran pasar soal DB adalah eksposur pinjaman bank tersebut ke real estat AS yang dinilai rapuh dan aktivitas DB dalam transaksi derivatif.
Harian Australia, The Financial Review, 28 Maret, menuliskan penuturan mantan Ketua DB Australia Maurice Newman bahwa DB dapat hukuman karena pernah abai soal kultur perusahaan yang akhirnya mengorbankan kekuatan keuangan. Newman mengatakan, DB berubah dari sebuah bank komersial yang solid menjadi bank investasi.
Perubahan kultur ini menggeser nilai teutonic (kukuh) menjadi transaksional, yakni uang dan bonus tidak dikontrol baik. Ada staf yang mendapatkan bonus karena banyaknya transaksi tanpa mengindahkan apakah transaksi itu menguntungkan atau tidak bagi bank. Kegiatan bank investasi di bawah CEO sekarang ini, Christian Sewing, sudah turun drastis. Pialang Citi mengatakan, DB tidak memiliki masalah secara keuangan.
Akar masalah
Newman mengatakan pula bahwa taburan uang murah berjumlah besar akibat kucuran dana dari Bank Sentral AS (The Fed) dan ECB bertahun-tahun telah membuat membuat lembaga keuangan AS dan Eropa ceroboh. Uang murah telah dimainkan dalam produk-produk keuangan yang sangat spekulatif. Hal ini tidak menjadi ancaman saat taburan uang murah masih beredar banyak.
Masalah muncul ketika uang-uang murah itu ditarik dan menyebabkan suku bunga naik. Kemudian dana-dana masuk ke bank kini juga harus dibayar, termasuk pokok dan suku bunganya yang sudah tinggi sekarang.
Hal ini diperburuk lagi dengan kendali atas perbankan yang melonggar. AS, misalnya, pada 2018 telah mengubah Dodd-Frank Act, yang sempat mengetatkan kegiatan perbankan menjadi longgar. Dalam pertemuan dengan Komite Perbankan Senat AS, Michael Barr, Gubernur The Fed yang menangani pengawasan perbankan, menyebutkan, kebangkrutan SVB disebabkan kesalahan manajemen dengan tidak mengindahkan risiko bisnis.
Efek lanjutan
Efek lanjutan dari gonjang-ganjing perbankan di AS dan Eropa sekarang ini adalah pengetatan aliran uang di dalam sistem keuangan trans-Atlantik. Presiden Federal Reserve Minneapolis Neel Kashkari, Minggu (26/3), menyebutkan, kini aliran dana mengering ke bank yang dipersepsikan lemah. Hal ini akan menyebabkan likuiditas perbankan menurun secara umum.
Situasi tidak baik ini masih diperburuk dengan melesunya sektor perumahan AS yang menyedot banyak pinjaman perbankan. Situasi buruk ini masih ditambah lagi dengan posisi keuangan perbankan AS yang merugi karena kenaikan suku bunga.
”Kombinasi dari semua itu adalah potensi keraguan lebih lanjut pada sektor perbankan,” kata Kashkari. Ia menambahkan, situasi terbaru ini menguatkan lagi potensi resesi. ”Ya, kita dibuat terbayang kembali akan potensi resesi,” kata Kashkari. (AP/AFP/REUTERS)