Taiwan Tak Akan Berdiam Diri Hadapi China
”Membalas” kunjungan Pelosi, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen berencana bertemu dengan Ketua DPR AS Kevin McCarthy di AS dalam beberapa pekan mendatang.
TAIPEI, SELASA —Taiwan tidak akan diam saja dan membiarkan China memprovokasi serta mencari alasan terus-menerus untuk mengirimkan pasukan ke Taiwan. Jika pemerintahan Partai Komunis China masih saja menekan, Taiwan sudah siap melawan meski tetap akan mengedepankan pendekatan damai dan rasional.
Pernyataan keras dari Taiwan ini keluar setelah China menegaskan Taiwan adalah ”garis merah utama” yang tidak boleh dilanggar dalam hubungan China dan Amerika Serikat. Selama tiga tahun terakhir, China gencar secara diplomatik dan militer menekan agar Taiwan menerima kedaulatan China. Ini karena China berpandangan Taiwan adalah bagian dari wilayahnya sendiri.
”China menggunakan alasan apa pun untuk mengirim pasukan. Silakan saja, militer Taiwan siap untuk berperang. Jika China bergerak lagi, tugas angkatan bersenjata adalah berperang. Tetapi, kami akan tetap mengambil pendekatan damai dan rasional,” kata Menteri Pertahanan Taiwan Chiu Kuo-cheng, Selasa (7/3/2023).
Baca juga : Mengukur Potensi Dampak Konflik China–Taiwan
China mengadakan latihan perang di dekat wilayah Taiwan pada Agustus 2022 untuk memprotes kunjungan mantan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taipei, ibu kota Taiwan. ”Membalas” kunjungan Pelosi, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen berencana bertemu dengan Ketua DPR AS Kevin McCarthy di AS dalam beberapa pekan mendatang. Namun, Chiu mengatakan belum mengetahui rencana pertemuan Tsai dan McCarthy karena Pemerintah Taiwan belum mengumumkan secara resmi. AS pun belum mengumumkannya.
Di Beijing, Menteri Luar Negeri China Qin Gang menegaskan, tidak masuk akal bagi pejabat AS untuk mengatakan Taiwan bukan urusan internal China. Masalah Taiwan adalah inti dari kepentingan utama China dan isu ini melandasi hubungan politik China-AS. China akan terus mengupayakan reunifikasi damai dengan Taiwan dan China berhak mengambil semua tindakan yang dirasa perlu untuk mewujudkan itu.
”Tidak seorang pun boleh meremehkan tekad kuat dan kemampuan besar pemerintah dan rakyat China untuk menjaga kedaulatan nasional dan integritas wilayah. Penyelesaian masalah Taiwan adalah masalah rakyat China dan negara lain tidak berhak ikut campur,” kata Qin dalam konferensi pers pertama sebagai menlu pada saat sesi parlemen tahunan di Beijing.
Baca juga : China Berjuang sampai Akhir untuk Cegah Kemerdekaan Taiwan
Pemerintah Taiwan membantah klaim teritorial China meski telah berulang kali menawarkan pembicaraan dengan China. Taiwan juga menegaskan bahwa hanya rakyat Taiwan yang bisa memutuskan masa depan mereka sendiri.
Salah satu sumber kantor berita Reuters menyebutkan, jika pertemuan AS dan Taiwan dilanjutkan—kemungkinan besar pada April mendatang—tidak tertutup kemungkinan akan ada kunjungan balasan McCarthy ke Taiwan. Ini akan membuat kedua belah pihak gelisah karena kunjungan itu dikhawatirkan justru akan meningkatkan ketegangan di Selat Taiwan. Pasalnya, Taiwan juga sedang menyiapkan proses pemilihan presiden pada awal tahun depan.
Serang AS
Dalam konpres pertamanya, Qin bertubi-tubi ”menyerang” AS. Ia menuding krisis Ukraina tampaknya didorong oleh ”tangan tidak terlihat” yang membuat konflik semakin sengit dan berlangsung lama. ”Tangan tidak terlihat” itu memanfaatkan krisis Ukraina untuk memenuhi agenda geopolitik tertentu. Padahal, seharusnya proses dialog yang dimulai sesegera mungkin karena konflik, sanksi, dan tekanan tidak akan menyelesaikan masalah.
Qin kembali menegaskan, Beijing tidak akan memasok persenjataan ke kedua belah pihak yang berkonflik di Ukraina. Ini untuk menjawab peringatan keras dari AS mengenai konsekuensi berat yang akan dihadapi China jika membantu Rusia. ”China bukan pihak berkepentingan dalam krisis ini dan belum memberikan senjata kepada kedua pihak. Jadi, atas dasar apa China disalahkan lalu dikenai sanksi dan didera ancaman? Ini benar-benar tidak dapat diterima,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Qin juga menegaskan, krisis seperti di Ukraina itu tidak boleh terjadi atau terulang di kawasan Asia. China mengkhawatirkan pergerakan AS di Indo-Pasifik yang seperti hendak membentuk ”kelompok eksklusif” yang merugikan kepentingan negara-negara di kawasan. Jika AS hendak mengepung China, upaya itu dipastikan gagal.
Qin menilai kebijakan AS untuk China sudah menyimpang dari jalur rasional dan sehat. Jika AS tidak mengubah kebijakan atau strateginya dalam berhubungan dengan China, dikhawatirkan akan terjadi konflik dan konfrontasi. ”Ini pertaruhan yang sembrono dengan taruhan kepentingan fundamental kedua bangsa, bahkan masa depan umat manusia,” ujarnya.
Baca juga : Transaksi Penjualan Senjata AS ke Taiwan Mulus
Bahasa Qin yang keras itu membantah prediksi banyak orang bahwa China akan meninggalkan diplomasi yang agresif seperti yang selama ini dilakukan ”prajurit serigala”. Semula China diharapkan akan berwajah lebih moderat mengingat berbagai persoalan yang melingkupinya, mulai dari isu Taiwan, hak asasi manusia, perdagangan dan teknologi, hingga invasi Rusia ke Ukraina. Untuk isu Taiwan, Qin bersuara lebih tegas.
”Mengapa AS meminta China untuk tidak memberikan senjata ke Rusia, sementara AS menjual senjata terus ke Taiwan?” kata Qin, sambil menegaskan China tetap bersikap netral dalam konflik Ukraina, tetapi tetap menjalin ”persahabatan tanpa batas” dengan Rusia. (REUTERS/AP)