Peliknya Titian Karier Perempuan Pemimpin Akademik di AS
Institusi pendidikan mapan dengan sejarah ratusan tahun tidak serta-merta memiliki pengarusutamaan jender. Hambatan ada di mana-mana, mulai dari bias jender sistemik hingga jalur kenaikan karier.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
Menjadi negara adidaya tidak serta-merta menjadikan kesetaraan jender berlangsung baik di Amerika Serikat. Bahkan, perguruan tinggi yang semestinya menjadi bentuk ideal pengarusutamaan jender masih memiliki permasalahan ini. Delapan universitas lama dan paling elite di AS, yang dikenal dengan istilah Liga Ivy (Ivy League) sekarang hampir semuanya memiliki rektor perempuan. Semestinya ini menjadi pemicu kiprah perempuan memimpin dan mengelola institusi pendidikan dengan mengedepankan persepsi kesetaraan dan kepekaan terhadap kelompok marjinal.
Claudine Gay (52) mencetak sejarah pada Desember 2022. Ia resmi memenangi pemilihan rektor Universitas Harvard, salah satu dari delapan perguruan tinggi Liga Ivy. Gay, yang akan resmi menjabat pada Juni 2023, adalah perempuan kulit hitam pertama yang memimpin institusi perguruan tinggi tersebut.
Sebelumnya, putri pasangan imigran dari Haiti ini adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya Harvard. Ia mengampu program studi kajian Afrika-Amerika dan sosiologi. Di fakultas, ia juga merupakan perempuan kulit berwarna pertama yang memegang jabatan dekan. Bahkan, sejatinya Gay adalah perempuan kedua yang memegang tampuk kepemimpinan Harvard. Sebelumnya ada Drew Faust yang menjadi perempuan rektor Harvard pertama untuk periode 2017-2018.
”Konsep menara gading yang elite dan tak terjamah ini sudah kuno. Semua akademisi hidup di tengah masyarakat dan kita harus menjadi bagian seluruh kelompok masyarakat tanpa terkecuali. Harvard harus melayani masyarakat, artinya Harvard harus membuka diri dan menjadi inklusif. Ini adalah masa depan ilmu pengetahuan,” kata Gay ketika memberi sambutan setelah memenangi pemilihan rektor, dikutip harian New York Times edisi Desember 2022.
Per tahun ajaran 2023/2024, enam universitas Liga Ivy dipimpin rektor perempuan. Saat ini, yang sudah memimpin adalah Sian Beilock di Universitas Dartmouth, Martha Pollack di Cornell, Mary Elizabeth Magill di Universitas Pennsylvania, dan Christina Paxson di Brown. Pertengahan tahun 2023, Gay akan dilantik menjadi rektor Harvard dan Minouche Shafik menjadi rektor Columbia. Hanya Princeton dan Yale yang belum pernah dipimpin oleh perempuan.
Saking susahnya perempuan mendobrak langit-langit kaca (glass ceiling), para perempuan akademisi AS menamakan hambatan karier mereka di dunia ini sebagai langit-langit beton (concrete ceiling). Pada tahun 2022, Yayasan Eos dan Asosiasi Perempuan Perguruan Tinggi AS (AAUW) mengeluarkan laporan yang diberi judul ”Scaling the Ivory Tower”(Meniti Menara Gading). Isinya tentang kepemimpinan perempuan di 130 perguruan tinggi elite negara tersebut.
Terungkap, perempuan rektor pertama di AS adalah Judith Rodin yang memimpin Universitas Pennsylvania pada kurun 1994-2004.
Padahal, universitas-universitas elite ini sudah berumur ratusan tahun. Bayangkan, Kolese William dan Mary berdiri pada 1693 dan baru memiliki rektor perempuan tahun 2018. Dartmouth yang berdiri sejak 1769 baru pada tahun 2022 dipimpin perempuan, yakni Sian Beilock.
Ia memaparkan, perempuan tidak bisa menjadi rektor dengan meninggalkan keperempuanannya. ”Fakta bahwa saya adalah rektor, dosen, psikolog, perempuan, istri, dan ibu justru menyumbang berbagai persepsi dalam pengambilan kebijakan di universitas sehingga aspek-aspek yang selama ini tidak digubris bisa menjadi perhatian dan membuat kampus kita semakin manusiawi,” ujar Beilock dalam pidato pengukuhan yang diterbitkan buletin Dartmouth edisi Juli 2022.
Bahkan, perjuangan perempuan memasuki kampus-kampus elite ini banyak yang baru terjadi pada abad ke-21. Universitas Dartmouth baru membuka pendaftaran untuk mahasiswi pada tahun 1972. Universitas Columbia malah paling telat. Kampus ini baru menerima perempuan untuk berkuliah di sana pada tahun 1983.
Laporan Eos dan AAUW mengungkapkan, dari 130 perguruan tinggi elite pada 2022, baru 22 persen yang dipimpin oleh perempuan. Hanya enam institusi yang memiliki pengalaman setidaknya tiga kali dipimpin oleh perempuan, yaitu Universitas California Santa Cruz, Sekolah Tinggi Pascasarjana Universitas Kota New York (CUNY), Universitas Colorado Boulder, Universitas Iowa, Universitas New Hampshire, dan Universitas Wisconsin Madison.
Sebanyak 60 perguruan tinggi sama sekali belum pernah memiliki rektor perempuan. Di samping itu, ada 44 perguruan tinggi dengan jumlah perempuan anggota senat kurang dari 30 persen. Padahal, di 130 perguruan tinggi ini, jumlah perempuan yang meniti pendidikan tinggi justru jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Tercatat 55 persen akademisi dengan pendidikan sarjana strata tiga atau bergelar doktor adalah perempuan. Akan tetapi, ini tidak langsung melancarkan karier mereka.
Hambatan ada di mana-mana, mulai dari bias jender sistemik hingga jalur kenaikan karier. Pada Maret 1999, TheNew York Times menerbitkan cerita 16 perempuan peneliti di Institut Teknologi Massachusetts (MIT). ”Perempuan akademisi selalu disebut luar biasa, bukan karena kami menemukan hal-hal baru, melainkan karena menurut kolega laki-laki, kami hebat bisa berkarya di tengah kewajiban berkeluarga,” tulis artikel tersebut.
Laporan Eos-AAUW mengungkapkan istilah ”penalti anak”, yaitu keadaan saat perempuan akademisi telah memiliki anak dan kariernya melambat. Ini didukung dengan Survei Rektor Perguruan Tinggi AS yang mengungkapkan bahwa 32 persen perempuan akademisi terpaksa mengerem laju kariernya karena harus mengurus keluarga. Untuk laki-laki, ada 16 persen yang menjawab melakukan hal serupa.
Dari segi jalur, 93 persen perempuan berhasil terpilih sebagai rektor melalui jalur tradisional. Artinya, mereka memulai karier dari nol di dunia akademik dan kemudian naik menjadi dekan, wakil rektor, dan rektor. Adapun 73 persen laki-laki rektor memperoleh jabatan tersebut lewat jalur tradisional. Sisa 26 persen bisa menjadi rektor lewat jalur nontradisional yang antara lain karena pengalaman mereka sebagai pejabat pemerintahan, kepala daerah, jenderal di militer, atau bisa juga pemimpin korporasi.
Para responden pun mengaku serba salah. Di satu sisi, ada kasus perempuan yang menduduki posisi pemimpin di dunia akademik dituntut bersikap maskulin. Padahal, ini justru bertentangan dengan prinsip kesetaraan jender yang mengedepankan perhatian pada hal-hal yang memang menjadi kebutuhan perempuan ataupun kelompok marjinal sehingga menjadikan dunia akademik inklusif. Sebaliknya, ada perempuan pemimpin yang berkepribadian tegas, tetapi diserang karena dianggap tidak feminin. Padahal, mereka mengambil keputusan serupa dengan laki-laki kolega mereka.
”Perempuan menjadi rektor bukan sekadar kosmetik, melainkan harus bermakna bagi pengembangan kampus dengan pengarusutamaan jender. Hal ini memang dimulai dengan keanggotaan senat akademik yang seimbang antara laki-laki dan perempuan,” kata Julietta Garcia, mantan Rektor Universitas Texas Brownsville, dikutip dalam laporan Eos-AAUW.